Saturday, June 9, 2007

Ulusan Buku: Permukiman Suku Batak Mandailing


Rinai yang Membasahi di Kemarau Panjang
Oleh Bosman Batubara

***
Judul Buku : PERMUKIMAN SUKU BATAK MANDAILING
Penerbit : Gadjah Mada University Press
Pengarang : Cut Nuraini
Cetakan : pertama, September 2004
Tebal : xvi+162 halaman

***
Kali pertama melihat buku ini terpajang di salah satu rak pada toko buku di salah satu sudut Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, kala itu pula terasa ada “sesuatu yang menggelegak” dalam diri. Judul buku yang sexy, dengan ukuran font yang pas serta warna yang hidup, menyebabkan ia mudah dibaca. Diksi yang sederhana, membuatnya dengan cepat dapat dipahami. “Sesuatu yang menggelegak” itu terasa semakin liat manakala melihat gambar yang terpasang pada sampul buku. Gambar rumah tradisonal Mandailing yang khas dengan “tarup ijuk”-nya, rumah panggung dengan kolong berpagar bambu yang biasanya dijadikan kandang ternak peliharaan seperti ayam. Atau kalau tidak dipagar, kolong rumah panggung sering pula dipakai oleh anak-anak kecil, menghabiskan detik-detik bahagia mereka, dengan bermain ayunan dari selendang yang disimpulkan sedemikian rupa pada kayu-kayu penyangga lantai.

Ada dua kemungkinan penyebab terbentuknya “sesuatu yang menggelegak” dalam diri. Pertama, kerinduan terhadap kampung halaman setelah sekian tahun berada di rantau orang. Manusiawi. Semua perantau akan bergejolak hidrolika tubuhnya, manakala memorinya tentang kampung halaman terusik oleh suatu hal. Tidak menarik untuk dibahas. Kedua, pertalian emosi yang langsung menggumpal membetuk rasa ingin tahu yang sangat tersebut kemungkinan terjadi karena langkanya buku semacam ini. Kelangkaan pustaka tentang Mandailing sangat mengkhawatirkan, karena selain penting bagi orang-orang Mandailing yang hidup di rantau sebagai suatu bentuk “romantisme” terhadap tanah kelahiran, juga sebagai perkamen sejarah dan percobaan lewat “ilmu pengetahuan” untuk mengenali tanah Mandailing sebagai salah satu entitas di tengah persilangan budaya yang semakin me-mundial.

Dengan latar belakang seperti itu, maka tulisan ini berniat mengeksplorasi buku yang berjudul “Permukiman Suku Batak Mandailing” yang merupakan penyederhanaan tesis penulisnya sebagai prasyarat menyelesaikan studi Strata 2-nya di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Seperti yang tertulis pada bagian ucapan terima kasih,: “karya ini mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang konsep-konsep yang mendasari terbentuknya struktur tata-bangunan di Alaman Bolak Selangseutang yang terdapat di permukiman suku Batak Mandailing, Sumatera Utara”. Buku ini berisi tentang pelbagai hal yang berhubungan dengan Alaman Bolak Selangseutang (halaman luas di depan rumah raja, berikutnya untuk memudahkan penyebutan akan disingkat menjadi ABS) terutama ditinjau dari perspektif arsitektural. Jelas bahwa tema yang diambil oleh sang penulis sangat “menggigit”, terutama selain karena belum adanya karya ilmiah yang mengangkat tema ini, juga mengingat keberadaan ABS bagi masyarakat Mandailing yang bukan hanya sekedar mengemban fungsi arsitektur dan tata ruang eksterior belaka, tetapi juga mengemban fungsi sosial. Bagi masyarakat Mandailing sewaktu akan mendirikan huta (kampung), maka yang pertama kali ditentukan adalah posisis ABS. ABS menjadi tempat berlangsungnya semua kegiatan adat (h.29), dan keberadaannya juga menjadi bukti bahwa huta tersebut telah “diadatkan” dan memiliki raja. Fungsi sosial lain misalnya, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mandailing, ketika terjadi suatu perkelahian sesama penduduk atau dengan pendatang, maka orang yang sudah memasuki ABS tidak boleh diganggu lagi, meski ia ada di pihak yang bersalah sekalipun.

Dengan konsepsi demikian, buku ini kemudian membahas sistem adat, sistem pemerintahan, sistem kepercayaan, arsitektur tradisonal, dan sejarah huta adat dan ABS di tanah Mandailing.
Sistem sosial masyarakat Mandailing, Dalian Na Tolu, mutlak dipahami terlebih dahulu. Karena tanpa memahami Dalian Na Tolu orang tidak akan pernah bisa memahami bagaimana orang Mandailing berkehidupan. Sebagian orang, dalam memaknai sistem Dalian Na Tolu, sering mengacu kepada konsepsi yang terdapat di masyarakat Batak Toba, dimana Dalian Na Tolu (hanya) diterjemahkan secara denotatif ke bahasa Indonesia menjadi “Tiga Tungku Sejerangan”. Sebenarnya secara tersirat Dalian Na Tolu mengandung konsep sebagai tumpuan, oleh sebab itu Dalian Na Tolu lebih tepat di-Bahasa Indonesia-kan menjadi: “Tumpuan Yang Tiga”, (Z. Pangaduan Lubis, http://www.mandailing.org/).

Ketiga “dalian” termaksud, pertama, Kahanggi, adalah kelompok keluarga semarga atau yang mempunyai garis keturunan yang sama satu dengan lainnya di dalam sebuah huta dan merupakan bona bulu atau pendiri kampung. Kahanggi terdiri atas 3 bagian besar yang biasanya disebut namora-mora huta, yaitu suhut, hombar suhut, dan kahanggi pareban. Kedua, Anak boru. Diartikan sebagai kelompok keluarga yang dapat, atau yang mengambil istri dari pihak suhut. Anak boru juga berarti keluarga penerima perempuan. Dan ketiga, Mora, merupakan kelompok keluarga pemberi anak perempuan (h.23).

Pertanyaan—persisnya dugaan—bagi orang yang membaca buku ini bermula, manakala buku ini membahas tentang pola tatanan kampung di tanah Mandailing (h.15). Dalam hal ini, penulisnya mengilustrasikan permukiman masyarakat Mandailing sebagai struktur konsentris yang berlapis-lapis, dengan pada bagian inti terdapat kompleks bangunan adat berupa bangunan hunian kerabat raja. Lapisan berikutnya berurutan ke arah luar lingkaran (sentripugal), berupa bangunan-bangunan yang dihuni oleh mora, kahanggi, anakboru, dan masyarakat biasa.

Mencermati ilustrasi konsentris ini, mengingatkan kita ke struktur yang sama pada kerjaan-kerajaan di pulau Jawa dan hubungannya dengan konsepsi kekuasaan pada pada pangkal-mula abad XIX, misalnya, Pakualaman di Yogyakarta yang berdiri pada tahun 1812 (Lombard; 2000, 66). Benarkah kedua struktur konsentris—dan karenanya juga konsepsi kekuasaannya—ini sama?

Di pulau Jawa, istana raja dan para pembesar yang terletak di pusat-pusat kota, terpisah secara tegas dari pemukiman rakyat (kawula) oleh tembok istana yang menjulang tinggi, antara 3-6 m. Dalam kosmologi Jawa, raja merupakan poros dunia, pusat dari segala konstelasi sosial, dan merupakan “tangan Tuhan di bumi”. Karenanya kawula harus menjadi pelayan bagi raja. Tak jadi soal, andaikan sang raja memiliki selir yang banyak di keputren sekalipun, itu sesuatu yang wajar, karena ia adalah “titisan dewa”. Tatanama raja-raja Jawa yang “wah” turut menegaskan posisi raja sebagai “tangan Tuhan di bumi”. Untuk Pakualaman misalnya, sang raja “titisan dewa” bergelar Paku Alam (berarti “yang menahan dunia”), atau Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat bergelar Hamengku Buwana (berarti: “pemangku dunia”). Dengan segala fenomena itu, dalam arti tertentu, masyarakat agraris Jawa sangat “totaliter’ (Lombard; 2000, 130).

Untuk kasus di tanah Mandailing, raja bukanlah seorang feodal, tetapi seorang yang dituakan diantara keluarga pendiri kampung. Atau “yang utama diantara yang sama”. Raja merupakan “sesepuh yang didahulukan selangkah dan ditinggalkan seranting’. Raja tidak memerintah secara otokrat, tetapi dengan demokrat, sesuai dengan hasil mufakat antara pengetua kampung yang disebut Namora Natoras (h.25). Selain itu Raja juga menjadi “Haruaya Parsilauangan Banir Paronding-ondingan” (secara harfiah kira-kira berarti: “Kayu besar-rimbun tempat berteduh akar pipih tempat berlindung-bersandar”, atau jika dibalut dengan bungkus terjemahan bebas menjadi: “raja sebagai pengayom rakyatnya, adil dan pengasih”).

Dengan ilustrasi konsentris seperti yang ditampilkan pada buku buah karya Arsitek jebolan Institut Teknologi Medan (ITM) ini, kesan yang tertangkap pembaca adalah adanya kesamaan dengan struktur konsentris pada kerajaan-kerajaan di pulau Jawa. Senyatanya, sistem Dalian Na Tolu, apalagi jika mengacu kepada pengertian yang dituliskan oleh Z. Pangaduan Lubis di atas tadi, adalah sebuah sistem yang sinergi. Logikanya, sebuah tungku dengan tiga kaki, manakala salah satu kakinya alpa, maka tungku termaksud tidak akan berfungsi lagi. Seperti jejaring makanan pada suatu ekosistem, ketika satu anggotanya alpa, maka terputuslah jejaring makanan. Dengan begitu, ilustrasi pada halaman 16 tersebut tidak mampu mengapresiasi segala makna yang tersirat dalam sistem sosial Dalian Na Tolu, konon mengapresiasi, yang terjadi malah cenderung pembiasan.

Kelemahan lain yang terdapat pada buku ini adalah, pemaknaan terhadap arsitektur itu sendiri. Berarsitektur bukan hanya permasalahan dialog dengan ruang, tetapi juga merupakan rekaman temporal kebudayaan yang mewakilinya. Kenyataannya, buku ini sering meluputkan permasalahan temporalitas kasus yang dibahasnya. Sebagai contoh, disebutkan bahwa seiring dengan masuknya Islam ke Tapanuli Selatan yang berbatasan dengan Sumatera Barat, maka berubah pulalah upacara pendirian Bagas Godang (istana). Perubahan yang dimaksud antara lain, harus dilaksanakan dengan penambahan azan pada saat pendirian tiang utama jabu bona. Pada tiang tidak diikatkan lagi kain adat (ulos), tetapi diganti dengan kain berwarna merah putih yang bertuliskan kalimat Syahadat (h.31). Demikian juga dengan Mesjid yang menjadi salah satu bangunan yang wajib hadir dalam suatu huta (h. 91). Tapi, buku ini tidak membahas kapan peristiwa tersebut terjadi. Secara pasti memang belum diketahui kapan persisnya Islam masuk ke tanah Mandailing, tetapi secara nisbi sebelum kaum padri masuk ke tanah Mandailing menjelang tahun 1820, beberapa pemimpin Mandailing telah beragama Islam (Castles; 2001, 14). Dengan demikian, dapat disimpulkan salah satu perubahan penting ini terjadi pada sekitar penghujung abad XVIII sampai pangkal-mula abad XIX. Atau kasus lain, ketika membahas sejarah desa-desa yang menjadi tempat penelitian—ada 12 desa—buku ini tidak mencantumkan kapan sebuah desa berdiri. Perhitungan relatif sebenarnya bisa dilakukan dengan cara memperkirakan jumlah generasi yang sudah mendiami desa. Dengan menetapkan rerata usia hidup satu generasi, maka umur desa dapat ditentukan. Atau ketika membahas perubahan elemen-elemen utama dalam Alaman Bolak (h.66), seperti balai desa, Koperasi Unit Desa, gudang, dan rumah kontroleur, lagi-lagi buku ini meluputkan permasalahan temporal.

Pada pembahasan tentang macam arah dan penunjuk arah pada masyarakat Mandailing, buku ini “gagal” menjelaskannya. Berdasarkan arah aliran sungai yang terdapat di desa-desa penelitian, maka buku ini membagi daerah kampung menjadi tiga bagian, yaitu; pertama, jae. Diartikan sebagai daerah yang terletak di hilir sungai. Kedua, julu, merupakan daerah yang terletak di hulu sungai, dan tonga, adalah daerah yang terletak di tengah-tengah huta (h. 33). Pada kasus ini ada kesalahan pemahaman dalam buku ini. Jae dan julu (juga dolok dan lombang) dimaknai sebagai suatu area. Padahal, jae dan julu hanya penunjuk arah. Fungsinya sama seperti utara, timur, barat dan selatan pada mata angin. Kesalahan ini dapat didiagnosa dengan melakukan “ujicoba kebahasaan”. Ketika orang Mandailing dalam keseharian mengatakan akan pergi ke jae, maka sebenarnya dia tidak mengacu ke suatu tempat yang absolut, melainkan suatu arah dengan tempat yang relatif. Misalkan ia sudah sampai ke jae yang di maksud, katakanlah sebagai tempat “A”, maka dari tempat “A” ini ia masih bisa pergi ke jae lagi, menghilir sungai. Artinya, di jae-nya jae, masih ada jae. Analogi yang sama dapat dicangkokkan untuk kasus julu, dolok dan lombang.

Kesalahan persepsi ini—yang kemudian mengakibatkan kesalahan konsepsi—terlihat benderang pada bagian interpretasi dalam buku. Jae dan julu dituliskan sebagai “tempat-tempat yang layak sebagai lokasi Alaman Bolak”, (h.98). Artinya, jae dan julu dimaknai sebagai suatu tempat, bukan penunjuk arah. Jae dan julu juga sangat kondisional sesuai dengan arah aliran sungai yang, kalau ia di daerah yang pegunungan, menurut hukum alam, selalu saja bergerak menjauh dari puncak-puncak gunung (pola aliran radial), dengan demikian usaha perbandingan jae dan julu dengan arah mata angin yang bersendikan kutub-kutub magnet bumi (h.88), menjadi hambar.

Permasalahan lain terdapat pada peta hasil survei persebaran desa-desa di kecamatan Kotanopan (h.8). Desa Tolang ditempatkan satu ruas jalan dengan Desa Manambin. Seharusnya Desa Tolang berada satu ruas jalan dengan Desa Hutagodang, persisnya diantara Desa Hutagodang dan Hutapungkut Julu. Kemungkinan besar kesalahan ini terjadi ketika penulisnya mengandalkan data hasil wawancara dengan informan sewaktu meneliti sejarah Desa Tolang (h.157). Pada bagian ini disebutkan ketika beberapa anggota masyarakat di Desa Tolang berdebat memperebutkan wilayah sebagai daerah kekuasaan, “perdebatan ini tidak kunjung selesai sehingga diputuskan untuk mencari bantuan orang ketiga dari desa lain yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Maka utusan dari desa ini (maksudnya Desa Tolang—pen.) mendatangi huta Manambin …”. Dengan keterangan semacam itu, maka akan sangat mudah diasumsikan bahwa Desa Tolang berdekatan dengan Desa Manambin. Hal tersebut memang benar, karena dua Desa termaksud hanya dibatasi oleh beberapa tor (bukit?), tetapi terpisah oleh persimpangan jalan yang berbeda.

Dalam masalah penerjemahan istilah dari Bahasa Mandailing ke Bahasa Indonesia juga mengandung, sekaligus mengundang, perdebatan. Seperti ketika mem-Bahasa Indonesia-kan “tapian naso marlinta” (h. 29-30), dalam buku ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “tepian atau daerah yang tidak didiami oleh lintah (hewan melata)”, padahal kita tahu selain melata, lintah juga “menghisap darah”, dan efek “menghisap darah” ini “gagal” ditangkap—untuk kemudian diwartakan ke pembaca—oleh sang penerjemah. Kasus lain (h.34), sewaktu menerjemahkan kata “pamispisan” menjadi “merupakan area samping rumah”. Sependek pemikiran penulis, kata “pamispisan”, lebih tepat diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi “pelimbahan”. Mengambil contoh pada gambar rumah di sampul depan buku, pamispisan juga bisa berada di bagian depan rumah. Permasalahan pengalihbahasaan istilah ini sangat penting, karena alam pikiran orang Mandailing sudah termanfatkan dalam kata-kata yang digunakan. Kegagalan menerjemahkan istilah, berarti pula kegagalan memahami alam pikiran pemakai istilah. Apalagi kata-kata tersebut, terutama kata “pamispisan”, memegang peranan sentral ketika buku ini membahas konsep alaman pada bagian-bagian berikutnya.

Ketika membahas tentang struktur tata bangunan yang terdapat di sekitar Alaman Bolak (h.69), eksplorasi tentang fungsi-fungsi sosial parik—didefinisikan sebagai area yang terletak di pudi atau belakang rumah—dalam pola berhadapan dan berlapis, tidak tersentuh sama sekali. Dalam keseharian masyarakat Mandailing yang patrilinial, parik memegang peranan yang sangat strategis. Umak-umak (kaum Ibu) sering saling bertukar ceritera melalui jendela belakang rumah bila kebetulan parik yang membatasi rumah memungkinkan untuk itu. Parik juga sering menjadi area untuk manduda bulunggadung (artinya: “menumbuk daun ubi”. “Daun ubi tumbuk” adalah sayur favorit orang Mandailing, karena selain mudah didapat, rasanya lezat) di lesung. Sewaktu proses manduda bulunggadung ini berlangsung, biasanya umak-umak juga saling bertukar ceritera.

Menyangkut sistem kepercayaan, boleh dikata buku ini dengan gegabah telah meluputkan pengetahuan orang Mandailing. Seperti ketika membahas sungai (h.84), “dalam hal ini masyarakat Mandailing menganggap air atau sungai tersebut sesuatu yang mulia sehingga makam harus jauh dari air”, tidak dibahas lebih lanjut mengapa air atau sungai “menjadi sesuatu yang mulia”. Tidak tertutup kemungkinan makam dibuat jauh dari air untuk menghindari kemungkinan hanyut (erosi) yang akan menimpa makam para leluhur oleh aliran sungai, dan juga untuk menjaga kebersihan sungai dari kemungkinan pencemaran bau busuk bangkai orang yang telah mati, karena pada masa lalu sungai juga merupakan sumber air minum utama.

Demikian juga bentuk rumah panggung, selain karena konsep banua yang mengasumsikan bagian bawah rumah sebagai banua partoru (dunia bawah), yang dianggap sebagai tempat manusia yang telah mati sehingga menjadi daerah yang nista atau kotor (h.26), perlu juga dipikirkan, bahwa sebagian besar desa-desa di tanah Mandailing berdekatan dengan tubuh sungai, maka pilihan rumah panggung merupakan suatu rekayasa pemanfaatan ruang sebagai upaya untuk meminimalisir dampak banjir sungai. Dari perspektif geologi, tanah Mandailing terletak pada dan di sekitar patahan Bukit Barisan, suatu patahan dengan gerak menganan yang sangat dinamis pada sepanjang pulau Sumatera, sehingga menjadi zona lemah yang rawan gempa bumi. Konstruksi rumah panggung seperti yang terdapat pada sampul depan buku ini, dengan alas batu kerempeng pada tiang utama, merupakan suatu konstruksi teknik kebal gempabumi, sekaligus sebagai pencegah kelembaban memasuki tiang.

Terlepas dari segala “kekurangan” yang terdapat dalam buku ini, satu hal harus diakui: dalam buku ini membanjir data primer hasil temuan penulisnya. Dengan demikian, apalagi jikalau dimungkinkan adanya edisi revisi, dapat dipastikan bahwa buku ini akan menjadi “buku sumber” untuk waktu yang lama. Terlebih mengingat langkanya penelitian lapangan tentang pola kehidupan masyarakat Mandailing. Tak pelak, buku ini seolah bak “rinai yang membasahi di kemarau panjang”. Pamungkasnya: penulis sendiri tidak punya kata lagi untuk mengunci tulisan ini, kecuali dengan menyatakan bahwa sejujurnya sebagai orang Mandailing, membaca buku ini terasa ada “sesuatu yang tercuri dari diri”.***

Bosman Batubara
Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi FT-UGM
Orang Mandailing yang sedang sekolah di Jurusan Teknik Geologi FT-UGM, Yogyakarta. Staf peneliti pada lembaga kajian dan Riset Lafadl Yogyakarta.