Oleh Julkifli Marbun
Mandailing Mart: Trend Sosial
Tulisan ini sebenarnya bukan lah sebuah artikel ekonomi perihal Mandailing Mart. Tapi hanya mengenai sebuah trend social yang menggejala. Mandailing Mart yang dimaksud adalah gejala kecenderungan sosial masyarakat Mandailing dalam menggeluti usaha kelontong kecil, mirip sebuah mart atau minimarket, yang menguasasi kelompok kecil dan menengah masyarakat di Jakarta atau mungkin di Indonesia.
Seperti halnya komunitas Tegal yang sangat terkenal itu yang banyak menggeluti rumah makan dari Tegal alias warung tegal yang disingkat 'warteg' yang dapat dikatakan menjadi tulang punggung masyarakat kecil di Jakarta. Kelompok komunitas Tegal ini, mengambil persan sosial yang sangat penting dengan menyediakan salah satu profesi yang ikut serta dalam membangun masyarakat Ibukota dan kota-kota lain di Indonesia dengan makanan dan rumah makan dengan harga yang relatif murah. Dengan dibandingkan misalnya dengan rumah makan Padang, yang dikelola oleh orang-orang Padang dan lain sebagainya.
Demikian halnya dengan orang Mandailing. Namun spesialisasi mereka ini terletak pada barang kelontong atau sembako. Sebagaimana warteg, toko-toko sembako milik orang-orang Mandailing di Indonesia bukanlah tanpa pesaing. Sebut saj misalnya, toko grosir milik toke Cina, Alfa Mart, Super Market dan lain sebagainya. Namun bagai mana mereka survive???
Itulah pertanyaan yang sering penulis lontarkan kepada mereka-mereka yang terlibat dengan usaha ini. Dari beberapa tanya jawab dengan orang-orang Mandailing dapat disimpulkan beberapa hal:
Soal Survive:
Toko-toko sembako yang dikelola oleh orang-orang Mandailing tersebut menyediakan barang-barang dengan harga yang murah. Sehingga banyak pelanggan yang datang. Resikonya, memang, adalah si pemilik toko harus sangat bersabar dengan untung yang sangat kecil dari setiap item barang yang dijualnya. Dengan demikian, walaupun harus bersaing dengan toko-toko grosil milik pemodal besar, mereka tetap survive dan dapat bertahan dengan pelanggan-pelanggan tetap mereka.
Toko-toko sembako milik para mandailing tersebut, mempunyai persatuan alias koperasi yang sangat kuat yang menjadi sumber permodalan dan sekaligus sumber supplai barang-barang dengan harga yang sangat murah. Dengan demikian, mereka yang terlibat dengan usaha ini dapat mendapat kemudahan mendapat permodalan dan supplai barang yang sedang tren dan lagi murah.
Melalui paguyuban dan koperasi tersebut, setiap anggota dapat sharing informasi mengenai lokasi-lokasi strategis untuk membuka toko sembako. Sehingga setiap anggota yang sudah eksis dapat memperluas jaringan tokonya atau koperasi dapat menyarankan dan mengarahkan anggota barunya untuk membuka toko alias berinvestasi di daerah tersebut.
Target-target lokasi mereka adalah daerah perumahan yang belum memiliki toko sembako dan kelontong yang lengkap, atau perumahan yang baru buka, atau perkampungan yang masih belum memiliki toko-toko atau perumahan yang sudah banyak toko-tokonya namun masih terbuka peluang untuk bersaing.
Setiap toko selalu mengadakan perjumpaan secara berkala sehingga mereka dapat saling membantu mengatasi masalah masing-masing. Misalnya, apabila satu item barang tidak laku di suatu tempat mereka akan segera melemparkannya ke tempat yang masih laku penjualannya.
Modal yang dibutuhkan sangat variatif. Karena ini merupakan usaha kecil, konsentrasi modal dalam kisaran 10-30 juta tergantung tempat dan kondisi.
Adanya atau tersedianya sumber daya manusia yang sangat membludak. Orang-orang Mandailing, yakni generasi mudanya, merupakan kalangan perantau yang menjamin tersedianya SDM untuk menopang usaha ini. Mereka-mereka yang masih baru merantau dari Tanah Mandailing akan sangat berguna sebagai petugas magang di toko-toko tersebut, sehingga pemilik toko dapat mempekerjakan pekerja dengan gaji yang ekonomis.
Pihak paguyuban dan Koperasi sangat membantu dalam pengurusan perijinan dan pendirian toko sembako kecil sehingga menghemat kost dan biaya yang harus dikeluarkan oleh investor kecil tersebut. Di samping itu para anggota juga saling menjaga keselamatan dan keamanan anggota masing-masing dari pihak-pihak yang menjadi penyakit sosial seperti maling, pencuri, preman dan pejabat yang korup. Dengan demikian para toko sembako ini sangat disegani di tempat perkampungan-perkapungan tersebut.
Satu titik keistimewaan dari kelompok Mandailing yang sebagian besar bermarga Nasution, Lubis, Daulay, Rangkuti dll ini adalah kemampuan mereka dalam beradaptasi dengan sosial di Indonesia. Banyak para pemilik toko sembako tersebut juga diangkat oleh masyarakat setempat sebagai pemimpin agama, imam, khatib dan lain sebagainya di mesjid-mesjid setempat. Dengan demikian posisi mereka sebagai saudagar mendapat dukungan dari masyarakat.
Bila dilihat dari segi sejarah, paguyuban saudagar Mandailing ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sejak abad pertengahan (abad 15-16), orang-orang Mandailing telah terlibat dalam persatuan perdagangan yang terealisir ke dalam kelompok-kelompok pedagang. Marga harahap misalnya merupakan kelompokm pedagang kuda (sebagai ternak dan alat transportasi) sejak dahulu kala. Dapat dipastikan bahwa seluruh tanah Batak pernah dikuasasi oleh perdagangan kuda kelompok komunitas ini.
Marga Hasibuan, Pulungan, Nasution misalnya merupakan kelompok pedaganga emas yang menguasasi perdagangan akasesoris perhiasan emas di seluruh tanah Batak. Setiap onan di tanah Batak pasti terdapat sebuah kios atau toko perhiasan emas dan barang berharga lainnya dari kelompok marga ini.Seperti halnya marga Hutagalung dan Marpaung dengan perdagangan kelontong mereka yang menghubungkan setiap huta-huta yang terpencil dari daerah-daerah pedalaman tanah Batak. Semuanya merupakan latar belakang dari bentuk tren sosial seperti ini.
Namun, profesi seperti Mandailing Mart ini seharusnya mendapat dukungan dari pihak-pihak terkait. Termasuk pemerintah, pemilik modal dari orang-orang Mandailing, kelompok pemerhati masalah-masalah sosial dan lain sebagainya. Karena sebagaimana sebuah tren, profesi ini dapat saja tidak dapat bertahan karena pertukaran dan perputaran zaman. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sekarang ini orang-orang Mandailing sudah banyak yang teremansipasi. Kelompok Mandailing tidak saja terlibat dalam sektor yang sekarang ini. Beberapa di antaranya sudah menduduki posisi-posisi puncak di Indonesia. Sebagai pengusaha ternama, politikus, petinggi militer, pejabat dan lain sebagainya.
Sektor-sektor usaha orang-orang Mandailing juga sudah mencakup sebuah skala yang lebih besar. Sepeti misalnya pertambangan, kontraktor bangunan, keuangan, jasa dan lain sebagainya. Namun, walaupun begitu, Mandailing Mart, sebagai sebuah lahan profesi bagi kalangan menengah ke bawah harus tetap dipertahan dan dikembangkan agar dapat bersaing dengan kelompok-kelompok sejenisnya dari komunitas yang lain.Kelompok menengah ke bawah yang kuat dan solid akan membantu ketahanan sistem sosial dan budaya sebuah kelompok masyarakat. Sehingga kita tidak usah heran mengapa kelompok Mandailing dapat berusah berdiri sendiri di kancah peradaban Indonesia dengan sistem budaya dan identitas sendiri.