Saturday, June 9, 2007

Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman


Sekapur Sirih (Kutipan/Petikan)

Tubu unte, tubu dohot durina
Tubu jolma, tubu dohot adatna

Bertahun-tahun bahkan sebelum proses penulisan buku ini, ungkapan patik-patik ni paradaton yang sarat kearifan dan pengalaman eksistensial para leluhur tersebut menjadi mata air inspiratif bagi saya. Lintasan kenangan masa lalu, dinamika kenyataan hari ini, resam pengalaman hidup, dan renungan tentang masa depan yang nisbi, tak urung melahirkan serangkaian pertanyaan: “Benarkah manusia dilahirkan bersama adatnya? Apakah hakekat adat bagi suatu masyarakat? Apa yang terjadi jika masyarakat kehilangan akar budaya? Mengapa adat budaya perlu dipertahankan?”.

Sebagai seorang Mandailing, yang dibesarkan oleh lingkungan masyarakat adat, dan kemudian menempa hidup di luar kampung halaman, bagi saya pertanyaan tersebut lebih terasa sebagai gugatan terhadap pemahaman yang dimiliki tentang adat dan budaya Mandailing. Dan, sejauhmana pula tanggungjawab yang ditunaikan dalam upaya memelihara dan melestarikannya. Hal ini terutama yang mendorong saya menghimpun beberagai informasi lisan, tulisan dan pengalaman langsung tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan adat dan budaya Mandailing. Hingga akhirnya, jadilah buku ini.

Tentu saja, buku sederhana ini yang merupakan pengembangan dari buku “Uraian Singkat Tentang Adat Mandailing Serta Tata Cara Perkawinannya” yang diterbitkan pada tahun 1993, tidaklah berpretensi menjawab pelbagai pertanyaan pelik di atas. Jawaban yang utuh dan lengkap saya serahkan pada pembaca. Dengan segala kerendahan hati, saya hanya ingin berbagai butir pengetahuan. Mengenalkan, bagi yang awa,, terutama kaum muda Mandailing, dan sekaligus membuka wacana diskusi bagi para pakar, pemerhati dan pemuka adat, guna menggali lebih jauh tentang berbagai dimensi adat dan budaya Mandailing yang selama ini belum banyak dibahas.

Terbatasnya literature, membuat penulisan buku ini tidaklah mudah. Diperlukan waktu belasan tahun dan kemauan keras yang tiada henti, sehingga buku ini sampai dihadapan pembaca. Lebih dari itu, saran-saran dan harapan dari berbagai pihak yang “menuntut” saya untuk mendokumentasikan berbagai hal tentang adat dan budaya Mandailing, serta adanya permintaan dari Gubenur Sumatera Utara, T. Rizal Nurdin agarForum Komunikasi Antar Lembaga Adat (FORKALA) Sumatera Utara menerbitkan buku-buku berkenaan dengan adat dan budaya dari etnik-etnik yang mendiami Propinsi Sumatera Utara, merupakan motivasi yang tak terkira besarnya.

Selain bersumber dari penelitian dan pengalam empiris saya sendiri, yang terlibat langsung mengikuti berbagai upacara adat Mandailing di berbagai tempat dan situasi, sebagian bahan tulisan didasarkan atas penuturan lisan yang saya peroleh dari pemangku adat yaitu kakek kami, Haji Muhammad Husin gelar Patuan Kumala Pandapotan (yang menjadi Kepala Kuria Pidoli Dolok sampai tahun 1943), dan ayah saya sendiri, Adam Nasution gelar Baginda Mulia Parlaungan (yang menjadi Kepala Kuria Pidoli Dolok dari tahun 1943 sampai 1946). Demikian pula dari kakek saya dari pihak ibu, yaitu Haji Husin gelar Mangaraja Panusunan dari putra beliau Patuan Singengu Paruhuman (Kepala Kuria Singengu sampai tahun 1946).

Bahan tulisan saya peroleh dari Ibunda saya, Zahara Lubis gelar Namora Na Margolang, lewat penuturan dan praktik yang beliau terapkan dalam menyelenggarakan berbagai upacara adat. Tentulah, kepada mereka, pertama-tama saya patut menyampaikan terima kasih atas segala pengetahuan tentang khazanah budaya Mandailing yang mereka ajarkan dan wariskan kepada saya.

Saya juga berhutang budi kepada para pengetua adat dari beberapa penjuru Mandailing, yang melalui beberapa diskusi panjang, perdebatan, dan wawancara intensif dengan mereka, telah memberikan banyak masukan berharga guna melengkapi substansi buku ini. Diskusi dilakukan di beberapa tempat, selain dengan Namora Natoras di kampong saya sendiri, Pidoli Dolok, juga dilakukan di Medan, Mandailing dan Padang Sidimpuan. Terima kasih dan penghargaan saya sampaikan diantaranya kepada Ali Sutan Nasution gelar Sutan Kumala Bulan dari Panyabungan Jae, B.S. Parlaungan Tamanah Lubis, SH gelar Sutan Alogo Panusunan dari Tamiang, Drs. Syahmerdan Lubis gelar Baginda Raja Muda dari Saba dolok, Gandi Hasibuan gelar Mangaraja Parlindungan dari Simangamat Mandailing, Agam Lubis gelar Mangaraja Sata dari Roburan, Zulkarnain Nasution gelar Sutan Parlaungan dari Panyabuangan Tonga, Porkas Nasution gelar Mangaraja Bangun Pandapotan dari Maga, Burhanuddin Lubis gelar Sutan Suangkupon dari Hutapungkut Tonga, Saleh Nasution gelar Sutan Kumala Bumi dari Mompang, Ali Sutan Nasution gelar Tongku Diatas Parlindungan, Zakaria Dalimunthe, Akil Lubis gelar Saidi Raja, dan Sutan Naparas.

Untuk perbandingan materi pada beberapa bagian buku ini, dilakukan penelitian melalui wawancara dengan beberapa pengetua adat di daerah Angkola, yaitu dengan Baginda Raja dan Sutan Panangaran dari Losungbatu, serta Marah Tigor Harahap gelar Tongku Marah Tigor dari Lembaga Adat Tapanuli Selatan. Diskusi juga saya lalukan dengan beberapa anggota Badan Musyawarah Pemangku Adat Mandailing (BM PAM), antara lain Baginda Raja Maga, Raja Humala, P. Dolok Lubis, SH, gelar Patuan Dolok dan Mangaraja Sotardogor. Atas komentar, saran dan pendapat mereka yang amat berharga, layak saya sampaikan terima kasih yang khusus.

Disamping sumber-sumber lisan, maka untuk membuat buku ini bersifat ilmiah, dilakukan pula studi kepustakaan dengan merujuk pada bahan-bahan tertulis dari pakar-pakar adat yang pernah saya pelajari sewaktu menjadi mahasiswa Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. Studi pustaka dengan mencari, membongkar dan menelusuri lembar demi lembar buku-buku tua dari para ahli hukum saya sampaikan kepada isteri tercinta, Hj. Chadidjah Dalimunthe, SH. M. Hum, yang sesuai dengan profesinya sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, disela-seli kesibukannya, telah membantu saya melakukan banyak hal, mulai dari penelusuran buku-buku teks, memberikan komentar brilian, saran-saran yang konstruktif dan kritik yang bernas, hingga menjadi pembimbing yang cermat perihal tata cara penuulisan ilmiah. Tanpa jerih payahnya, saya berkeyakinan buku ini tak akan pernah sampai di tangan pembaca.

Terima kasih yang tulus wajib pula saya sampaikan kepada Saudara Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH, Guru besar Program Pasca Sarjana USU, yang dengan tulus dan tekun mengkoreksi dan memberikan saran-saran yang penting pada saa buku ini dalam proses penulisan.

5 Oktober 2005
H. Pandapotan Nasution, SH.