Sunday, June 10, 2007

Kisah Jurnalis Anti Kolonialisme Di Sumatera Timur: Dari Soetan Koemala Boelan Sampai Parada Harahap

Parada Harahap (third from right) and friends
Parada Harahap (tiga dari kanan) dan teman-temannya.
Kisah Jurnalis Anti Kolonialisme Di Sumatera Timur: Dari Soetan Koemala Boelan Sampai Parada Harahap

Seorang teman penulis yang tinggal di Jakarta, suatu saat ketika berkunjung ke Medan, pernah berkata demikian: “Kota Medan ini bener-bener buas, wild-wild city,”ujarnya, sembari menekankan kata “wild” dengan suara baritonnya. Lalu ia mulai bicara soal kesemrawutan mobil-mobil yang lalu lalang di jalan raya dengan suara klakson melengking-lengking, soal para preman yang dikenal suka bertindak sadis, soal sopir taksi yang seenaknya mengepulkan asap rokok, sementara AC mobil rusak dan udara dalam taksi pengap dan panas, sampai ke make up sejumlah koran yang dinilainya berantakan. Nah, soal jurnalisme Medan, teman penulis menambah satu komentar lagi: “Wartawannya juga brengsek-brengsek!” Namun segera ditambahkan olehnya: “Padahal Sumatera Timur dulu dikenal memiliki riwayat jurnalisme yang bermutu. Terutama ketika pers di sini masih hidup di bawah kolonialisme Belanda. Banyak wartawan ternama justru lahir dari bumi Sumatera Timur!” Teman saya kemudian menyebut sederet tokoh pers, seperti Parada Harahap, Mohammad Said, Ani Idrus, Adam Malik dan Adinegoro. Pendapat terakhir teman penulis tersebut, cukup menyejukan hati yang sejatinya sudah mulai kemrungsung. Tapi pendapat teman penulis tersebut memang tidak semuanya salah. Terutama mengenai cerita kebesaran jurnalis Sumatera Timur di masa lampau.

Kaoem Boemipoetra Terdidik

Riwayat jurnalisme di Sumatera Timur memang tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di belahan wilayah lain dari negeri ini. Terutama jika dikaitkan dengan peran kesejarahan para jurnalis, yang dalam kurun waktu dan kondisi ruang yang nyaris sama, tengah menghadapi berbagai tantangan. Suatu kurun waktu yang antara lain ditandai oleh adanya energi dari kebanyakan “kaoem boemi poetra” yang tengah menggelegak berusaha melepaskan diri dari cengkraman kekuasaan kolonialisme Belanda pada awal-awal abad ke-19. Sudah banyak studi yang mengulas tentang sejarah pers di Indonesia, baik yang ditulis para sarjana asing maupun para sarjana kita sendiri, yang selalu memberikan ruang untuk mengkonstruksi sebuah episode sejarah yang menceritakan sepak terjang para jurnalis dalam melawan kekejaman kolonialisme. Lewat-lewat tulisan yang bernada provokatif yang dimuat di surat kabar-surat kabar, para jurnalis menggelorakan semangat untuk menentang kesewenangan para pejabat kolonial Belanda yang kerap diistilahkan sebagai “kaoem penghisap boemiputra”.Sebagai golongan terdidik, para jurnalis pada waktu itu sebenarnya mewakili apa yang disebut sebagai “cendekiawan bebas”. Mereka umumnya mengenyam pendidikan tinggi, mengemban tanggungjawab kemasyarakatan, serta bersikap radikal dan bebas dalam memandang kondisi masyarakat dan negara tempat mereka hidup (Satrio Arismunandar: 1996). Mereka umumnya juga datang dari kelas menengah pribumi yang merupakan produk dari sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda. Fungsi awal dari sekolah-sekolah Belanda tersebut sebenarnya untuk menghasilkan tenaga-tenaga ambteenar pribumi untuk mengisi mesin birokrasi kolonial. Hal tersebut tidak terpisah dari kebijakan Politik Etis yang diperkenalkan pemerintah Kolonial Belanda sejak tahun 1901. Sebagaimana diketahui, Politik Etis menitikberatkan pada tiga bidang utama, yaitu pendidikan (educatie), pemindahan penduduk (emigratie), dan pengairan (irriegatie). Salah satu hasil dari politik etis, terutama dalam bidang pendidikan yaitu terbentuknya kelompok-kelompok sosial yang dikenal dengan sebutan golongan elite modern atau golongan Priyayi Baru (Neo Priyayi). Golongan ini, karena status sosial dan tingkat pendidikan yang dimiliki, di satu sisi tetap mewarisi beberapa perangkat kebudayaan elite tradisional, tetapi di sisi lain mempunyai pandangan, cita-cita, dan nilai-nilai baru terhadap realitas dan perubahan sosial yang diharapkan. Cita-cita golongan elite modern itu, dalam konteks zamannya berkisar pada konsep “kemadjoean”. Untuk mencapai “kemadjoean” itu, mereka mengusakan proses penyadaran sosial dan pendidikan bagi anggota masyarakat kebanyakan (Andi Suwirta: 2000)Golongan elit modern yang terdidik inilah yang kemudian menjadi agen pembaru dan pelopor pergerakan nasional di Indonesia pada awal abad ke-20. Dalam memperjuangkan cita-cita nasionalnya itu, yaitu memajukan dan menyejahterakan masyarakat, mereka menggunakan modus operandi baru dengan cara membentuk organisasi modern dan pers sebagai salah satu sarana komunikasinya. (Andi Suwirta: 2000)Namun tidak sedikit kalangan kelas menengah terdidik tersebut kemudian malah memilih berkarier di bidang jurnalistik dan mendirikan organisasi-organisasi pergerakan yang kegiatannya justru untuk menentang kaum yang telah mendidik mereka tersebut. Dalam perspektif kolonial, mungkin golongan ini mewakili pepatah “pagar makan tanaman”. Namun dalam perspektif “kaum terperentah”, jelas mereka adalah pahlawan. Nah, golongan priyayi baru yang telah berkenalan dengan gagasan-gagasan besar tentang demokrasi, soal liberalisme, nasionalisme sampai persamaan derajat manusia di muka bumi tersebut, menjadikan pengetahuan tersebut sebagai “senjata” untuk melawan nilai-nilai anti barat yang justru secara paradoksal dipraktekkan kaum yang “menggurui” tersebut. Salah satu lulusan sekolah Belanda yang malah balik melawan pemerintah Hindia Belanda, yang sudah sangat dikenal adalah Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Salah seorang wartawan yang oleh Pramudya Ananta Toer dijuluki sebagai “Sang Pemula”, yang mengenalkan arti pers nasional. Setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah dasar Belanda dan menjadi eleve STOVIA selama 6 bulan, R.M. Tirto Adhi Soerjo menolak menjadi ambteenar. Walau ia pernah tiga kali mendapat tawaran dari pemerintah kolonial. Tirto Adhi Soerjo justru memilih menjadi redaktur kepala dan penanggungjawab surat kabar Pembrita Betawi. Tahun 1907, Tirto Adhi Soerjo bahkan menerbitkan surat kabar sendiri. Namanya Medan Prijaji, yang dipandang sebagai surat kabar nasional pertama yang dimiliki kaum “terperentah” dan dikelola oleh tenaga-tenaga “terperentah” pula.Tirto Adhi Soerjo adalah sedikit dari kalangan kelas menengah baru yang lahir dari Politik Etis pemerintah kolonial Belanda, yang bertujuan untuk meningkatkan martabat kaum bumiputra. Namun demikian tidak sedikit juga jurnalis pejuang yang memiliki latar belakang pendidikan menengah ke bawah, bahkan boleh dibilang rendah. Misalnya Mas Marco Kartodikromo, pendiri Inlandsche Journalisten Bond (IJB), pemimpin redaksi Doenia Bergerak, yang hanya tamat sekolah “ongko loro” (Tweede Klasse) dan sekolah dasar swasta berbahasa Belanda di Purworejo, Jawa Tengah. Marco dikenal sebagai jurnalis yang bersikap sangat kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya Marco kerap terkena pers delik dan beberapa kali dipenjarakan. Pada tahun 1915, untuk pertama kalinya Marco berkenalan dengan penjara gara-gara empat artikel yang dimuat di Doenia Bergerak yang dianggap sebagai delik pers. Marco diperiksa oleh Officier van Justitie Semarang di kantor Asisten Residen Solo pada 26 Januari 1915 dan dijatatuhi hukuman penjara sembilan bulan di Semarang (Koeslah Ananta Toer: 2002).Salah satu sajak Mas Marco yang sangat menggelorakan semangat jurnalis untuk melawan kolonialisme adalah seperti berikut ini: /Djadi djournalist djaman sekarang/Berani dihoekoem dan diboeang/Karena dia orang jang mesti menendang/Semoea barang jang malang melintang/Djournalist haroes berani mati/Bekerdja boeat membanting diri/Sebab dia hendak melindoengi/Fehak jang lemah dan diisap/Tahun 1927 Marco dibuang ke Boven Digoel, sampai ajal menjemputnya pada tahun 1932. Boven Digoel adalah kamp pembuangan massal yang terletak di pedalaman Papua, yang didirikan pemerintah kolonial Belanda setelah meletusnya pemberontakan komunis di Jawa tahun 1926. Dalam catatan sejarah, cukup banyak para jurnalis yang dibuang ke Boven Digoel, diantaranya adalah: Gondhojoewono, Soediono Djojoprajitno, S. Darsono, Tjempono, Oesman Gelar Soetan Keadilan, Ali Arham, Urbanus Pardede, Neroes Ginting Soeka, A.C. Salim dsb. Karenanya sejarawan Sartono Kartodiharjo, mengibaratkan pers dan pergerakan nasional bagaikan kembar siam. Namun agak disayangkan, berbagai kajian tentang peran jurnalis(me) dalam mengobarkan api kebencian terhadap praktek-praktek kolonialisme Belanda di berbagai wilayah di tanah air masih sangat terbatas sekali dilakukan. Kalau tidak dibilang masih sangat Jawa minded. Pengamat dan praktisi pers serta kaum sejarawan, biasanya merujuk pada berbagai hasil studi, baik dalam bentuk makalah, artikel ilmiah atau buku yang membahas kiprah R.M. Tirto Adhi Soerjo dan Mas Marcokartodikromo. Atau kiprah Mohammad Hatta dengan Daulat Rakjat-nya, atau Semaun dengan Sinar Hindia-nya di Semarang.Lalu bagaimana dengan peran jurnalis(me) di Sumatera Timur sendiri, yang menurut teman saya sekarang sudah “brengsek-brengsek” tersebut? Barangkali tidak terlalu banyak studi atau karya akademik yang dihasilkan para sarjana, pengamat pers atau sejarawan terhadap perjuangan melawan kolonialisme Belanda yang dilakukan para pejuang pena tersebut. Hanya almarhum H. Mohammad Said, pendiri surat kabar Waspada, yang sekaligus dikenal sebagai cendekiawan otodidak yang secara serius mencoba mengeloborasi masalah tersebut. Salah satu studi pustaka yang memiliki bobot akademik, pernah dihasilkan almarhum Mohammad Said, yaitu ketika beliau melakukan kajian terhadap serial laporan jurnalistik yang ditulis Soetan Koemala Boelan sepanjang periode (1927-1932) di harian Pewarta Deli. Studi yang dilakukan Mohammad Said menunjukkan bahwa di Sumatera Timur (baca: Sumatera Utara), pada awal-awal abad ke-19 juga memiliki apa yang dikategorikan sebagai jurnalis(me) pejuang.

Soetan Koemala Boelan: Multatuli dari Tapanuli?

Sebagaimana disebut sebelumnya, kelahiran Medan Prijaji sendiri tak lepas dari cita-cita para anak negeri untuk menciptakan kemajuan bagi kaum “boemipoetra” yang waktu itu sangat menderita dibawah kolonialisme Belanda. Hanya berselang sekitar tiga tahun setelah kelahiran Medan Prijajir, di Sumatera Timur pada tahun 1910 terbit sebuah surat kabar Pewarta Deli. Sebuah surat kabar yang juga dapat dikategorikan sebagai koran pertama yang dimiliki sepenuhnya oleh kaum “boemipoetra” yang bersifat nasional. Pemimpin Redaksinya waktu itu dijabat oleh Radja Endar Moeda, yang sebelumnya telah menerbitkan dan memimpin surat kabar Tapian Na Oeli sejak tahun 1906 di Sibolga (Tapanuli Selatan). Sekitar sembilan tahun kemudian (1919) di Tarutung, Tapanuli terbit juga Soeara Batak yang dipimpin oleh M.H. Manullang. Selain itu di Medan kemudian juga terbit beberapa surat kabar yang dijadikan sarana propaganda untuk melawan praktek-praktek kolonialisme perkebunan, terutama yang diperankan oleh kekuatan modal swasta yang diundang pemerintah kolonial Belanda.Radja Endar Moeda memperoleh julukan sebagai Raja Surat Kabar Sumatera, karena selain merupakan orang pertama Sumatera yang memiliki percetakan surat kabar (1905), dia juga menjadi redaksi, pemimpin redaksi, bahkan pendiri dan pemilik berbagai suratkabar yang terbit di Padang, Sibolga, Medan dan Aceh. Kiprah Dja Endar Moeda dalam bidang pers antara lain: editor correspondent Soeloeh Peladjar yang terbit di Probolinggo (1887), pemimpin redaksi Majalah Insulinde (1900), redaksi Alam Minangkabaoe (1904) beraksara gundul dengan penyebarannya di Sumatera Barat dan Tapanuli Selatan, redaksi Pertja Barat di Padang (1905), mendirikan dua suratkabar di Aceh, Pemberita Atjeh dan Bintang Aceh (1906), pada tahun 1908 menerbitkan tiga surat kabar Warta Berita, Minangkabau dan Pewarta Deli. (Basyaral Hamidy Harahap: 2001). Sewaktu Pewarta Deli dipimpin oleh Soetan Parlindoengan (sejak 1911), Pewarta Deli edisi 16 Oktober menerbitkan sebuah tulisan buah karya seorang anggota redaktur yang menggunakan nama Flora. Tulisan tersebut berjudul “Kerajaan Mandolnati”. Gaya penulisan Flora tak ubahnya seorang penulis cerita fiksi yang menggunakan gaya bertutur “aku” sebagai subyek pecerita. Hal ini bisa dipahami mengingat perkembangan jurnalisik pada awal-awall abad ke-19 masih belum semaju seperti sekaran ini. Tulisan Flora dibuka dengan kalimat demikian: “Sebelumnya aku ceritakan bagaimana aku punya mimpi dari menjadinya periyai kerajaan Mandolnati…….”Tulisan “Kerajaan Mandolnati” membahas soal praktek kolonialisme pemerintah Belanda, yang dilukiskan sebagai pemerintahan yang mendiskriminasi penguasa dan rakyat yang “terperentah” dengan menerapkan dua undang-undang yang berbeda. Walau menurut Flora sumber hukumnya sama. Namun dalam prakteknya, hukum itu digunakan untuk mengadili seberat-seberatnya buat rakyat pribumi, sedangkan untuk golongan masyarakat yang meproduksi hukum tersebut (para pejabat dan orang-orang Belanda), hukum digunakan untuk meringankan mereka. Lihat kutipan narasi teks tulisan Flora berikut ini: /Orang yang pegang wetnya kerajaan, ditentukan mesti bangsa Mandolnati/Bangsa ini paling sombong dan jemawa/ Pengadilan yang keluar dari satu wet ada lebih halus dan enteng dan itulah yang terpakai untuk bangsanya yang pegang wet/Wet yang nomor dua ditentukan buat anak negerinya; itu wet jauh sekali dia punya perbedaan dari wet yang pertama, dan itulah yang dipergunakan buat kasih hukuman orang yang terperintah, yang tadinya dipandang seperti kerbau/Apa yang dipermasalahkan Flora pada tahun 1911, walau telah melintasi mesin waktu hampir satu abad kemudian, namun apa yang dirasakan dan dialaminya tidak jauh berbeda kondisi di tanah air pasca kedaulatan negara RI, bahkan hingga saat ini. Keadilan hukum masih merupakan barang mewah bagi orang-orang kecil yang melanggar hukum, walaupun para pejabat partai, pejabat politik dan pedagang hukum selalu memprogandakan hukum untuk semua orang. Namun pada kenyataannya, bagi “orang-orang besar” yang mengkorupsi uang negara, hukum bisa ditekuk-tekuk sesuai kebutuhan mereka. Ungkapan yang paling pas untuk menggambarkan apa yang digugat Flora pada abad ke-19, dewasa ini terwakili oleh ungkapan: maling ayam diganjar hukuman 3 tahun, sementara maling negara dibiarkan bebas berkeliaran di luar penjara! Bahkan bergeming kedudukan politiknya!Hanya berselang seminggu, tulisan Flora mendapat reaksi keras dari Sumatra Post tanggal 23 Oktober 1912. Sumatera Post adalah surat kabar yang dimodali oleh seorang pengusaha Belanda. Orientasi pemberitaan Sumatera Post adalah menjadi suara para kapitalis perkebunan Belanda yang waktu itu tengah merintis usaha perkebunan tembakau pada tanah-tanah grant Sultan Deli di Sumatera Timur. Tidak heran jika koran-koran milik pengusaha Belanda tersebut kemudian lebih dikenal sebagai koran tembakau.Sumatera Post menuduh bahwa Flora telah menghasut rakyat Hindia Belanda untuk membenci pemerintah Belanda. Menurut Sumatra Post, tulisan Flora tidak bermutu dan hanya menanamkan ide-ide perlawanan secara membabi buta.Dalam tulisan tersebut, Flora juga mengkritik soal rakyat Sumatera Timur yang waktu itu tidak bisa memegang jabatan pada jabatan-jabatan yang biasa dipegang orang Belanda walau mereka sudah sekolah setinggi mungkin. Diploma yang diraih dari sekolah tinggi, juga tak berhubungan dengan tingkat gaji yang diterimanya. Akibatnya Flora menganggap diploma tersebut seperti daun kayu yang tidak ada nilainya. Sementara anak pensiunan seorang serdadu Belanda yang suka mabuk-mabukkan, malah memperoleh gaji yang besar dari pemerintah Belanda: /Si Polan cuma di keluaran sekolah rendah dan diplomanya pun diplima kecil saja, tapi lantaran dia anak dari bangsanya yang memegang wet, haknya ada 1.000 kali lebih besar dari bangsanya rakyat Mandolnati yang berasal baik dan yang keluaran sekolah tinggi/Tulisan Flora juga mengkritik pedas tentang praktek ABS (Asal Bapak Senang), tentang jilat-menjilat kepada atasan. Bahkan Flora menelanjangi praktek lady escort (menyuguhkan perempuan malam), sebagai bentuk semir kepada pejabat atasan agar pegawai pribumi bisa lekas naik pangkat. Flora juga mengecam keras perilaku para priyayi pribumi di Sumatera Timur yang gila pangkat dan menggunakan pangkatnya untuk menakut-nakuti rakyat. Siapa sebenarnya Flora itu? Ternyata Flora adalah nama samaran dari Soetan Koemala Boelan, seorang Kepala Kuria (Negeri), Raja Panusunan dari masyarakat Tamiang, Tapanuli Selatan. Sepanjang periode 1915-1932, walau sudah menjabat sebagai kepala kuria, yang secara struktur bertanggungjawab kepada seorang kontrolir Belanda di Mandailing, Soetan Koemala Boelan tetap melakukan aktivitas jurnalistiknya, terutama untuk mengkritik kebijakan kerja rodi dan pungutan pajak yang sangat memberatkan rakyat Tapanuli Selatan waktu itu. Soetan Koemala Boelan menuliskan apa yang dilihat, dirasakan dan dikeluhkan rakyat Tapanuli Selatan dengan mengirimkan tulisannya secara berseri ke surat kabar Pewarta Deli yang terbit di Medan, namun pada waktu itu sudah beredar sampai ke Tapanuli. Sebelum menjabat sebagai kuria di Tamiang, tahun1915, waktu itu ia sudah berusia 27 tahun, Soetan Koemala Boelan tinggal di Medan, bekerja sebagai commies pada kantor keresidenan Sumatera Timur. Selama tinggal di Medan, Soetan Koemala Boelan banyak bergaul dengan para aktivis pergerakan dan kalangan pers. Ia berkenalan dengan Soetan Parlindoengan, pemimpin redaksi Pewarta Deli. Soetan Koemala Boelan akhirnya menjadi anggota redaksi Pewarta Deli dan sering menulis tajuk rencana yang dimuat di halaman depan. Ketika menjadi kepala kuria di Tamiang tahun 1915, Soetan Koemala Boelan diberi tiga tugas pokok oleh kontrolir Grondijs, yang memegang kekuasaan di Mandailing. Pertama, memungut pajak (belasting) dari rakyat, kedua menindak siapa saja yang pekarangannya kotor dan ketiga, melebarkan jalan-jalan sempit lewat kerja paksa atau rodi.Ada sebanyak 11 laporan berseri yang ditulis Soetan Koemala Boelan di surat kabar Pewarta Deli sejak tanggal 28 Februari - Juni 1917. Isinya tentang hasil penyelidikan Komisaris Gubernemen Hindia Belanda, J.H. Liefrinck ke Tapanuli Selatan terhadap pelaksanaan sistem kerja rodi, pungutan belasting (pajak) serta meletusnya perlawanan rakyat di onderfdeeling Barus tahun 1916, yang menewaskan Civiel Gezaghebber, onderafdeeling tanah tinggi Toba. Namun dalam laporan berserinya itu, Soetan Koemala Boelan, lebih banyak menulis soal keluhan rakyat Tapanuli Selatan tentang diberlakukannya sistem kerja rodi dan pengenaan pajak yang memberatkan rakyat. Sebagaimana diketahui ketika tahun 1824 kekuasaan kolonialisme Belanda mencengkram wilayah Sumatera Barat dan Tapanuli, pemerintah Hindia Belanda mulai melaksanakan kebijakan kultur stelsel (tanam paksa). Setiap rakyat diwajibkan untuk menanam kopi. Selain itu setiap daerah baru di Tapanuli yang berhasil ditaklukkan pemerintah Hindia Belanda, kemudian diberlakukan kebijakan baru untuk menunjang kepentingan ekonomi pemerintah kolonial Belanda. Ada tiga ciri utama kebijakan baru itu. Pertama, pajak langsung diberlakukan (Lance Castles: 2001). Pengenaan pajak langsung ini terutama dipicu karena menjelang akhir abad ke-19 industri kopi mengalami penurunan. Karena doktrin ekonomi yang berlaku waktu itu menyerahkan pengembangan industri perkebunan kepada para pengusaha, maka kemudian munculah kebijakan pemungutan pajak langsung dari rakyat. Kedua, program pekerjaan umum yang penuh semangat, terutama pembangunan jalan-jalan, harus dilaksanakan. Tenaga rodi harus disediakan oleh penduduk setempat. Ketiga, pemerintah daerah yang terdiri dari pejabat pribumi yang digaji dan dapat dipindah-pindahkan dibentuk. Akibat kebijakan pemerintah kolonial Belanda tersebut, Tapanuli kemudian dikenal sebagai daerah terbelakang dan banyak penyakit malaria berkembang. (Lance Castles:2001).Penderitaan rakyat Tapanuli itulah yang membangkitkan naluri jurnalistik Soetan Koemala Boelan untuk mengangkat cerita duka rakyat Tapanuli, khususnya yang berada di wilayah kekuasaannya. Perjuangan pena Soetan Koemala Boelan menemukan momennya ketika pemerintah Hindia Belanda di Jakarta membentuk Komisi Liefrinck yang bertugas untuk melakukan penyelidikan atas kebijakan rodi dan pemungutan pajak di Tapanuli. Secara berkala, Soetan Koemala Boelan melaporkan hasil penyelidikan Liefrinck ke sejumlah desa di Tapanuli. Tak hanya melaporkan pandangan mata antara rakyat yang mengadu ke Liefrinck, dalam tulisan-tulisannya Soetan Koemala Boelan juga melontarkan kritik-kritik pedasnya terhadap pemerintah kolonial Belanda yang menjadi atasannya itu. Dalam laporan pertama yang menyorot kunjungan Liefrinck Kota Nopan, yang dimuat di Pewarta Deli tanggal 28 Februari 1917, Soetan Koemala Boelan secara meyakinkan berhasil mendeskripsikan penderitaan masyarakat lewat teks seperti berikut: /Diantara orang banyak itu banyak perempuan-perempuan, dan orang-orang tua/Sebelumnya diperiksa keadaan mereka itu, tahulah kita bahwa mereka sangat miskinnya, yaitu daripada menilik pakaiannya yang sudah robek-robek dan sangat kumuh sekali, apalagi kalau dilihat mukanya, pucat dan kurus yang memakai tongkat, napasnya sesak, dadanya turun naik, tidak kurang hilir mudik di tengah pasar, sambil batuk dan mendahak sepanjang jalan/Soetan Koemala Boelan memakai gaya narasi ketika menggambarkan penderitaan masyarakat di Kota Nopan akibat diberlakukannya kebijakan pengenaan pajak dan rodi yang telah memiskinkan masyarakat. Lewat teknik narasi yang memberikan informasi detil keadaan masyarakat yang dilukiskan “mukanya pucat “dadanya turun-naik” dan sambil “batuk dan berdahak” sepanjang jalan, Soetan Koemala Boelan berhasil memindahkan potret penderitaan masyarakat Kota Nopan ke dalam laporan jurnalistiknya. Ini sekaligus menunjukkan bakat ketajaman pena Soetan Koemala Boelan sebagai seorang jurnalis yang mempunyai empati terhadap penderitaan masyarakatnya.Kritik-kritik Soetan Koemala Boelan terus dilanjutkan dalam laporan jurnalistik lainnya. Pada tulisan yang dimuat tanggal 21 dan 23 Maret 1917 di Pewarta Deli, Soetan Koemala Boelan masih konsisten menyoroti penderitaan rakyat Tapanuli Selatan, khususnya di Muara Siponggi, yang saat itu banyak melarikan diri ke hutan untuk menghindari wajib rodi dan takut ditangkap tentara Belanda karena tidak mampu membayar pajak: /Tetapi sesudah belasting dan rodi bertambah keras di Mandailing, orang-orang Muara Siponggi sudah banyak yang lari ke kampungnya, dan pada hari hari pasaran pun, tidak seberapa orang laki-laki-laki yang berani datang ke pekan, takut ditangkap oleh pemerintah dari sebab ketinggalan belasting atau rodi/Sebagai seorang kepala kuria, Soetan Kemala Boelan tampaknya memang mengetahui keberadaan rakyatnya. Barangkali kelebihan inilah yang membuat tulisan-tulisannya kaya dengan berbagai detil informasi. Hal ini yang tampaknya membedakan dengan cara kerja jurnalis sekarang yang umumnya sering berperan seperti pejabat yang tengah melakukan safari pembangunan ke desa-desa.Pada tulisan yang sama, Soetan Koemala Boelan juga mengisahkan seorang janda bernama Kain, dari kampung Botung Lombang kepala kuria Tamiang, tempat dimana Soetan Koemala Boelan bertugas sebagai kepala kuria. Kain menyerahkan sehelai bilyet belasting 1916 yang mengharuskannya untuk membayar pajak sebesar f 2, kepada Liefrinck, sang pejabat yang tengah melakukan penyelidikan tersebut. Kain menerangkan bahwa ia tidak mempunyai harta benda yang bernilai di rumahnya. Bahkan ia juga tidak memiliki mata pencaharian yang tetap, sementara ia juga harus menanggung biaya hidup untuk tiga orang anak-anaknya. Oleh karenanya ia memprotes kenapa seorang perempuan janda seperti dirinya masih harus dikenakan pajak sebesar f 2 itu.Karena Kain merupakan warga Tamiang, maka kepada Soetan Koemala Boelan Liefrinck langsung meminta agar Soetan Koemala Boelan menjelaskan perkara Kain tersebut. Soetan Kemala Boelan selaku kepala kuria menjelaskan bahwa kewenangan untuk menetapkan pajak bukan berada di tangan kepala kuria, tapi ada pada kontrolir. Tentang pajak bagi kaum janda dan mereka yang tidak memiliki mata pencaharian tetap, Soetan Koemala Boelan sebenarnya sudah mengusulkan kepada kontrolir Grondijs agar tidak dibebani pajak. Namun usulnya itu tak ditanggapi atasannya. Bahkan Soetan Koemala Boelan menyebutkan bahwa di Tamiang sebenarnya ada 21 janda perempuan seperti Kain yang diusulkan untuk tak dikenakan pajak. Namun kontrolir Grondijs menampik usulannnya karena nama-nama perempuan tersebut sudah terlanjut masuk dalam daftar kohir: /Controleur bilang dengan mondeling, bahwa nama-nama perempuan itu tidak bisa dihapuskan lagi dari dalam kohier belasting, sebab kohier sudah siap, hanya tinggal meminta definitief dari Resident saja lagi/ Dan Tuan controleur bilang, lain tahun ditimbang, kalau betul-betul perempuan-perempuan itu keberata/Soetan Koemala Boelan nampaknya memanfaatkan sekaligus laporannya di Pewarta Deli untuk menjelaskan sikapnya selaku kepala kuria terhadap kebijakan pemungutan pajak bagi para janda yang ada di wilayah kekuasaannya. Dalam laporan jurnalistiknya, Soetan Koemala Boelan menerangkan bahwa ia sebenarnya sudah melakukan perlawanan terhadap atasannya, controlir Grondijs, bahkan terhadap para janda, yang di Tamiang waktu itu berjumlah 21 orang, termasuk Kain, mereka seharusnya tidak dikenakan pajak. Namun keberatan Soetan Koemala Boelan yang diajukan dalam bentuk surat, diabaikan oleh controlir Grondijs.Pada bagian lain laporannya di Pewarta Deli, Soetan Koemala Boelan juga menceritakan kisah seseorang yang mengadu ke Liefrinck akibat tidak bisa membayar pajak. Oleh kontrolir Grondijs, bersama puluhan orang lain yang juga tak mampu membayar pajak, orang-orang itu kemudian diikat tangannya dengan tali. Yang mengikat adalah para serdadu Belanda atas suruhan kontrolir Grondijs. Sesudah diikat, mereka kemudian disuruh mengelilingi pasar Muara Siponggi dengan dikawal pasukan berkuda yang membawa senjata: /Sesudah tangan kami diikat, lalu dibawa melancong hilir mudik di pasar Muara Siponggi, diiringkan oleh prajurit yang memakai senjata, seolah-olah kami orang sudah berbuat dosa yang besar/Sesungguhnya, kami lalai membayar belasting, bukan karena dengan maksud melawan atau enggan menurut perintah, tetapi cuma karena kemiskinan dan ketiadaan juga/Soetan Koemala Boelan dalam laporan-laporan jurnalistiknya juga banyak menceritakan tentang penderitaan rakyat akibat pemberlakuan sistem kerja rodi. Misalnya kisah seorang yang harus melakukan kerja paksa, sementara isterinya di rumah tengah sakit. Akibatnya dalam bekerja konsentrasi orang itu buyar. Namun mandor yang mengawasi kerjanya tak mau tahu dengan keadaan tersebut. Orang tersebut dianiya karena dianggap tidak becus dalam bekerja: “Karena itu ia disepak dan ditinju oleh mandor, kemudian dia dihukum oleh mandor, kemudian dia dihukum oleh Magistraat sebab lalai dan melawan.”Sistem kerja rodi menurut Soetan Koemala Boelan memang hanya menimbulkan kemelaratan bagi rakyat. Akibat tenaga mereka dicurahkan untuk mengerjakan proyek-proyek di bawah dinas B.O.W (Burgerlijke Openbare Warken, dinas pekerjaan umumnya pemerintah kolonial Belanda), banyak sawah dan ladang milik rakyat menjadi terlantar.Sementara dalam melaksanakan kerja rodi, rakyat juga harus membawa bekal makan sendiri karena jatah dari BOW sudah dihapuskan. Rakyat juga harus membawa persediaan uang untuk membelai lauk-pauk mereka dan menyewa pondok. Masih soal kerja paksa, Soetan Koemala Boelan juga mengungkapkan kasus yang dialami seorang Kepala kampung Gunung Tua, dari Kuria Manambin. Menurut kepala kampung tersebut, peraturan kerja rodi yang sudah ditetapkan pemerintah Hindia Belanda adalah 52 hari kerja dalam setahun, namun dalam prakteknya bisa mencapai 90 hari. Selain itu, para pekerja rodi juga berasal dari kampung yang cukup jauh, dan mereka menempuh perjalanan dengan kaki. Akibatnya untuk mencapai tempat rodi, dibutuhkan perjalanan waktu sampai 2 hari dari kampung.Dalam laporannya di Pewarta Deli 4 Mei 1917, Soetan Koemala Boelan menuliskan dialog antara Liefrinck dengan seorang nenek yang tengah melakukan kerja rodi di Tano Gombung. Umur nenek itu sendiri diperkirakan lebih dari 60 tahun, namun masih tetap terkena kewajiban menjalankan kerja rodi. Nenek itu berasal dari kampung Abu, yang untuk sampai ke Tano Gombung jarak yang harus ditempuh adalah sejauh 22 paal (1 paal berkisar 2,5 KM). Atau membutuhkan waktu selama 2 hari. Nenek itu juga mengaku membawa beras dan jagung serta uang f 1 buat membeli tembakau, garam, lombok, ikan asin. Namun menurut nenek itu, bekal f 1 itu tak mencukupi buat membeli ikan dan daging, akibatnya ia hanya makan dengan garam, lombok dan sedikit sayur terong. Mendengar cerita tersebut, Soetan Koemala Boelan kemudian menulis dengan pedas tentang praktek kerja rodi dengan membuat perbandingan sebagai berikut: /Seekor kuda sado di Bakaran Batu (Medan) lebih besar harga makanannya dan ongkos pemeliharaannya dari seorang-orang rodi di Mandailing, sebab kalau penulis tidak lupa, kuda sado di Medan mesti makan rumput paling sedikit harga f 0.30 sehari, makanan padi 2 hati sehari, makan gula, minum bir hitam dan gaji seorang sais seraya merangkap pekerjaan tukang sado f15 sebulan/Kuda sado itu Cuma 6 jam sehari bekerja. Kehidupan bangsaku kurang dari binatang? Terlalu/ Laporan-laporan jurnalistik Soetan Koemala Boelan telah berhasil menelanjangi kesewenang-wenangan penerapan penetapan pajak dan kerja rodi yang banyak membawa kesengsaraan rakyat Tapanuli. Apa yang diungkap Soetan Koemala Boelan lewat tulisan-tulisannya di surat kabar Pewarta Deli, merefleksikan semangat kebangkitan “kaum boemi putra” dalam melawan kesewenangan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kesadaran bahwa pribumi adalah kaum tertindas, dan kulit putih adalah penindas, dalam arus sejarah perjuangan bangsa Indonesia, merupakan nyala pijar yang kelak akan membesar dalam api revolusi melawan Belanda di tahun-tahun 1940-an.Selain memblejeti sistem pungutan pajak dan kerja rodi di Tapanuli Selatan, tulisan-tulisan Soetan Koemala Boelan juga banyak menyoroti soal pembentukan jabatan-jabatan baru pada struktur pemerintah kolonial Belanda pada masa itu. Jabatan Kepala Kuria sebenarnya terkait dengan sturktur adat mnasyarakat Batak.Dengan demikian, buah pena Soetan Koemala Boelan dapat dipandang sebagai pijar api yang memberikan terang bagi perjuangan dalam medan yang lebih luas. Atau dalam istilah sejaran Taufik Abdullah, apa yang dihasilkan para jurnalis waktu itu, merupakan awal bagi sebuah gagasan dari sebuah usaha. Adalah almarhum H. Mohammad Said menyamakan apa yang dilakukan Soetan Koemala Boelan dengan yang dilakukan Multatuli alias Douwes Dekker, pengarang Max Havelaar, yang pernah jadi asisten residen di Lebak, Jawa Barat. Keduanya sama-sama pamong yang mengangkat sumpah jabatan di depan pemerintah Belanda. Dan keduanya juga sama-sama mengkritik kebijakan pemerintah Belanda yang menjadi atasan mereka. Perbedaannya Multatuli menggunakan media cerita fiksi sebagai alat untuk mengkritik pemerintah Belanda, sedangkan Soetan Koemala Boelan menggunakan surat kabar sebagai medan perjuangannya. Perbedaan lainnya dalam cerita fiksinya Multatuli tidak memiliki cita-cita mengusir pemerintah Belanda dari bumi Indonesia, sedangkan tulisan-tulisan Soetan Koemala Boelan secara halus menginginkan terusirnya kolonialis Belanda dari bumi Indonesia, khususnya dari tanah Mandailing.Hal ini misalnya dapat dibaca pada sajak Soetan Koemala Boelan yang terdapat dalam buku hariannya yang ditulis tahun 1920 (Mohammad Said: tanpa tahun): /Didalam pangkat rasanya goyang/Diri dibuat seperti wayang/Pangkat emas dipegang moyang/Kini berubah menjadi loyang/Harapanku rasanya belumlah putus/Anak dan cucu, mari kuutus/Tuntutlah bela, biar meletus/Seranglah musuhku sebagai petus/Siapa musuhku, engkau mengerti/itulah dia pemakan upeti/Tempat ayahmu berbuat bakti/Amoklah dia, sampai wai mati/Teks puisi Soetan Koemala Boelan, secara jelas mengungkapkan perasaannya sebagai kepala kuria yang “goyang” karena “pangkat emas” yang diberikan nenek moyangnya telah berubah menjadi “loyang”. Hal ini disebabkan karena dirinya cuma sekadar “wayang” yang dimainkan oleh sang dalang. Namun demikian, Soetan Koemala Boelan tak putus asa. Ia masih mengharapkan agar anak-anak dan cucu-cucunya dapat mewarisi semangat perjuangan untuk melawan “musuh si pemakan upeti”, bahkan jika perlu “sampai wai mati”.

Pewarta Deli: Surat Kabar Anti Kolonialisme Belanda?

Namun tak hanya Soetan Koemala Boelan yang mengangkat pena untuk mengobarkan api perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Beberapa jurnalis lain, lewat surat kabar Pewarta Deli juga melakukan hal serupa. Beberapa tulisan yang terbit di Pewarta Deli misalnya juga mengupas soal Indie Weerbar, dan terutama sekali tentang dampak negatif dari adanya Peonale Sanctie yang sangat merugikan para koeli kontrak. Termasuk berbagai berbagai kasus penggusuran tanah rakyat yang disewakan untuk perluasan ekspansi kapitalisme perkebunan.Sebagaimana diketahui, Peonale Sanctie merupakan sebuah ordansi yang mengatur hubungan kerja antara para koeli kontrak dengan para tuan kebon, yang sebagian besar merupakan pengusaha Belanda, di daerah perkebunan Sumatera Timur. Ekspansi kapitalisme perkebunan di Sumatera Timur dimulai tahun 1862 ketika seorang pengusaha Belanda, Jacob Nienhuys mengetahui manfaat dari tanah-tanah gunung berapi yang sangat subur untuk usaha perkebunan tembakau. Nienhuys mendesak Sultan Deli agar memberi konsesi penyewaan tanah-tanah tersebut untuk diusahakan sebagai perkebunan tembakau. Ternyata tembakau Deli yang dipakai untuk cerutu di beberapa negara Eropa, dengan cepat menjadi terkenal keseluruh dunia sejak akhir abad ke 19, bahkan hingga sekarang ini. Tidak mengherankan jika tanah Deli waktu itu dikenal sebagai daerah penghasil dollar coklat, khususnya bagi para kapitalis Belanda dan bangsawan Melayu yang bekerjasama dengan para pengusaha Belanda. Oleh Tan Malaka, salah seorang tokoh revolusioner yang pernah menjadi guru pada sebuah sekolah perkebunan milik pengusaha Belanda di Tanjung Morawa, wilayah ini disebut sebagai “tanah penuh emas, surga bagi kelas kapitalis, namun juga tanah penuh keringat dan tangisan dan kematian, neraka bagi proletariat”. (Takashi Shiraishi: 2001).Pada waktu itu, Deli merupakan konglomerasi pemukiman kulit putih yang dikelilingi koloni-koloni Cina dan Jawa, yang umumnya bukan penduduk asli tanah Deli. Selain berhasil menjadikan Deli sebagai daerah perkebunan tembakau, karet dan kelapa sawit, konglomerasi pengusaha Belanda juga berhasil membangun jaringan kereta api yang menghubungkan Langkat, Deli dan Serdang, sebuah jaringan telegram, pelabuhan, irigasi, sarana air bersih dan sekolah-sekolah. Pada abad 19, Medan sudah menjelma sebagai kota perdagangan dan industri perkebunan terkemuka.Pada edisi 18 Desember 1912 misalnya Pewarta Deli menurunkan tulisan yang diberi judul “Nasibnja Koeli Contract di Soematra Timoer”, yang ditulis oleh “Omega”. Tulisan tersebut menyerang tentang eksploitasi yang dilakukan para tuan keboen terhadap para koeli kontrak yang digambarkan sangat menderita akibat memperoleh upah yang sangat rendah: /Kalau tuan-tuan keboen tidak menaruh kasihan pada si koeli, tidak hendak menambah gaji si koeli ataupoen persen ataopoen derma pada si koeli, itulah menjatakan bahwa tuan-tuan keboen amat loba dan temaah benar pada uang, biarlah si koeli jadi mati dan mampus, asal saja mereka itoe bertambah kaja/Tulisan Omega secara jelas mengecam praktek penghisapan tenaga para koeli kontrak oleh para tuan kebon yang hanya berorientasi untuk menumpuk keuntungan. Penulis artikel ini menggunakan nama samaran “Omega”, namun pihak berwenang meyakini bahwa “Omega” sebenarnya Mohammad Sabirin, seorang helper Opium Regie tingkat-I. Tanpa pemeriksaan lebih lanjut, Mohammad Sabirin akhirnya diturunkan pangkatnya menjadi helper Opium Regie tingkat-II, dan dipindahkan ke Pangkalan Brandan. Walau Pewarta Deli sebenarnya sudah menjelaskan bahwa “omega” bukan Sabirin, melainkan Soetan Parlindoengan, Pemimpin Redaksi Pewarta Deli sendiri, namun penjelasan itu tak banyak berarti.Pewarta Deli tanggal 22 Nopember 1916 membuat berita dengan judul “Seorang ambtenaar jang pemaboek?” Berita tersebut mengungkap tentang seorang kontrolir Pangkalan Berandan, Brill yang menyalahgunakan kekuasaannya dengan menyobek surat tanah milik seorang pribumi, untuk memberi jalan bagi seorang kapten Tionghoa untuk memiliki tanah tersebut. Untuk kasus pemuatan berita tersebut, Soetan Parlindoengan dihukum denda sebesar f 250. Selain mengkritik soal Poenale Sanctie, Pewarta Deli dalam edisi-edisi berikutnya juga banyak mengupas persoalan politik yang terjadi saat itu. Tahun 1926/1927 ketika pemberontakkan golongan komunis berhasil digagalkan pemerintah Belanda, banyak tokoh pergerakan komunis dan non komunis yang ditangkap dan dibuang ke Boven Digoel. Efek dari pemberontakkan komunis adalah adanya keinginan pemerintah Belanda untuk melakukan perubahan terhadap administrasi pemerintahannya. Menanggapi rencana ini, Pewarta Deli menulis bahwa jika pemerintah Belanda tidak ingin terjadi pemberontakan lagi, maka mereka harus menempatkan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia pada kedudukan tinggi. “Kalau takut pada komunis, haruslah rakyat dilayani dengan baik dan diperintah dengan jujur” Walau beraliran nasionalis, namun Pewarta Deli tidak menabukan untuk mempekerjakan orang yang berhaluan komunis. Misalnya sejak tahun 1925, Pewarta Deli menerima I.F.M. Chalid Salim aktivis pergerakan yang berhaluan komunis sebagai anggota redaksi. Adik kandung Haji Agus Salim ini terkena hukuman rumah ketika tahun 1925 Belanda melakukan pembersihan terhadap tokoh-tokoh pergerakan komunis. Waktu pembersihan terhadap orang-orang komunis dilakukan Belanda, Chalid Salim tengah aktif sebagai anggota redaksi majalah Proletar. (I.F.M. Chalid Salim:1977). Sebelumnya Chalid Salim juga pernah aktif pada berkala mingguan Halilintar Hindia di Pontianak, Kalimantan Barat.Chalid Salim akhirnya memilih tinggal di Medan, dan memutuskan untuk sementara tidak aktif dari kegiatan partai komunis. Menurut Chalid Salim, hal ini dilakukan karena ayahnya waktu itu menjadi anggota Lanraad (pengadilan rendah) di Medan. Chalid Salim kemudian diikutsertakan sebagai anggota redaksi Pewarta Deli, dengan nama samaran Kacong Betawi. Sebagai aktivis pergerakan, Chalid Salim lewat Pewarta Deli banyak mempublikasikan tulisan-tulisan yang mengecam praktek Poenale Sanctie yang dipandang sangat biadab, tidak manusiawi dan menindas para koeli kontrak.Ketika surat kabar Deli Courant memuat tulisan van der Laan, yang menyarankan agar menangkap semua pemberontak dan menghadapkan mereka semua dihadapan satu peleton penembak, maksudnya dihukum mati, Chalid Salim langsung memprotes dengan membuat tulisan yang menyerang di gagasan van der Laan di Pewarta Deli. Namun akibatnya identitas Chalid Salim terbongkar. Ia kemudian ditahan di penjara kota Medan selama kurang lebih setahun sebelum akhirnya dibuang ke Boven Digoel bersama beberapa aktivis pergerakan lainnya dari Sumatera Timur.

Sekilas Tentang Benih Merdeka dan Sinar Merdeka

Selain Pewarta Deli, ada juga surat kabar lain di Medan yang terbit pada tahun 1916, yaitu Benih Merdeka yang dipimpin oleh Mohammad Samin. Penyertaan kata merdeka dalam Benih Merdeka, merupakan peristiwa yang pertama kali terjadi dalam dunia persuratkabaran di Indonesia. Oleh karena itu Benih Merdeka dapat dikatakan sebagai surat kabar yang mempelopori penggunaan kata merdeka dalam pengggunaan nama surat kabar di Indonesia.Sebagaimana diketahui, pada mulanya (1912) Sarikat Islam (SI) didirikan sebagai organisasi yang menghimpun para pedagang Islam dalam rangka melawan kekuatan dagang orang-orang Cina di Surakarta. Namun dalam perjalanannya, SI kemudian tumbuh menjadi organisasi massa yang kemudian melawan praktek-praktek diskriminasi yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Perkembangan keanggota Sl yang demikian cepat tidak lepas dari peran surat kabar yang menjadi sayap organisasi SI. Sejak tahun 1913, surat kabar seperti Sinar Djawa, Oetoesan Hindia dan Pantjaran Warta, menjadi alat propaganda SI.Di Medan, sejumlah aktivis SI mendirikan surat kabar Benih Merdeka. Surat kabar tersebut pada halaman depannya mencantumkan motto: “orgaan oentoek Menoentoet Keadilan dan Kemerdekaan”. Motto Benih Merdeka tercermin pada berita-berita mereka yang lebih banyak memberitakan soal-soal politik. Soal Poenale Sanctie, Benih Merdeka mengkritiknya sebagai “lebih jahat daripada penjakit pes”.Pada tahun 1918, Mohammad Joenoes (Ketua SI Asahan), yang menggantikan Mohammad Samin, dihadapkan ke sidang Kerapatan Besar Deli. Penyebabnya karena Benih Merdeka tanggal 13 Februari 1918 menurunkan tulisan yang berjudul “Hewan Mengamoek”. Tulisan tersebut berisi sindiran terhadap Sultan Deli yang tengah bersengketa tanah dengan Tengku Hadji Djahir. Akibat pemuatan tulisan tersebut, Joenoes dijatuhi hukuman kurungan 3 bulan. Sebagai surat kabar yang hidup di bawah pengawasan ketat pihak kolonial Belanda, Benih Merdeka tergolong sudah cukup berani dalam memberitakan berbagai praktek penindasan yang dialami oleh rakyat Sumatera Timur, khususnya para kuli kontrak waktu itu. Benih Merdeka tanggal 22 September 1920 misalnya memberitakan kasus pembongkaran paksa terhadap rumah-rumah rakyat, tanaman-tanaman dan pencangkulan lahan-lahan rakyat Mompang, Kota Pinang. Aksi pembongkaran dilakukan oleh controlir Labuhan Bilik, F. Van Konijnenburg yang didampingi Yang Dipertuan Kota Pinang, jaksa, 4 orang polisi bersenjata dan 40 kuli yang dipimpin oleh adminsitratur kebon Normark, Fredrieksen. Tindakan pembongkaran dilakukan untuk kepentingan investor yang hendak membuka lahan untuk perkebunan tembakau.Surat kabar kedua yang mencantumkan kata Merdeka sebagai nama surat kabarnya adalah Sinar Merdeka yang terbit di Padang Sidempuan pada tahun 1919. Pemimpin Redaksinya dijabat oleh Parada Harahap, yang sebelumnya sudah dikenal sebagai salah seorang penulis yang kritis pada surat kabar Pewarta Deli. Sebelum menerbitkan Sinar Medan, Parada Harahap pernah bekerja sebagai kerani pada perkebunan Soengai Dadap, milik H.A.P. Mij pada Kantor Besar Boenoet, Kisaran. Karena dinilai cakap dalam menjalankan pekerjaannya, dalam tempo dua tahun gaji Parada naik dari f 10 menjadi f 100. Dalam bukunya “Pers dan Jurnalistiek” yang sebagian merupakan autobiographie-nya, Parada menuturkan antara lain bahwa: “suatu hal yang menarik hati administrateur, adalah kerasnya ingatan saya. Hafal di kepala saya nama-nama dan tempo kontractnya 3000 koeli laki-laki dan perempuan.” (Soebagijo I.N : 1981).Walau menempati posisi yang menguntungkan secara ekonomi, namun Parada tidak bisa menutupi mata hatinya tentang penderitaan para koeli kontrak. Oleh karena itu pada suatu waktu Parada mengirimkan surat pembaca yang berisi tentang nasib para koeli kontrak tersebut ke Pewarta Deli, surat kabar yang ia langgani. Namun Parada tidak menduga kalau surat itu oleh pihak redaktur Pewarta Deli dijadikan tajuk karangan dengan inisial P. Sejak itu Parada menjadi terpicu untuk aktif menulis di Pewarta Deli.Pada masa yang bersamaan surat kabar Soematra Post tengah gencar-gencarnya memberitakan tentang kejadian-kejadian penikaman terhadap para tuan kebon Belanda oleh para koeli kontrak. Para koeli menggunakan menggunakan sarung untuk menyembunyikan pisau belati. Pemerintah Belanda kemudian membuat Piso-Belati Ordonantie, yang isinya melarang para koeli kontrak membawa pisau belati. Setelah membaca tulisan Soematra Post, Para lalu mengirimkan artikel ke Benih Merdeka dengan judul “Pisau Belati contra Somambee”.Dalam tulisannya, Parada mempermasalah para tuan besar onderneming dan pembantu-pembantunya yang orang Belanda, yang sering membawa tongkat kemana-mana. Padahal dalam tongkat itu disimpan pisau yang lancip ujungnya. “Mengapa mereka diperbolehkan, sedangkan kuli-kuli dilarang membawa senjata?”katanya. Tulisan Parada menjadi bahan perbincangan yang cukup ramai, khususnya di kalangan orang-orang Belanda di mana Parada bekerja. Apalagi ketika mereka kemudian mengetahui bahwa Parada yang menulis soal tersebut. Akibatnya Parada merasa tak betah bekerja di perkebunan Soengai Dadap. Ia kemudian memutuskan berhenti dan pindah ke Medan. Pada tanggal 16 November 1918, ia membentuk ormas yang menghimpun para krani kebon dengan nama Estate Klerken Bond”. Para menerbitkan majalah De Cranie yang membawa suara para krani kebon bangsa sendiri. Namun tidak lama Parada kemudian pindah ke Tapanuli, dan menjadi pemimpin redaksi mingguan berbahasa Batak Poestaha. Sembari memimpin mingguan tersebut, Parada berhasil meyakinkan Mangaradja Bangun Batari, Direktur N.V. Partopan Tapanoeli untuk menerbitkan surat kabar berbasasa Indonesia yang kemudian diberi nama Sinar Merdeka.Pemilihan nama Sinar Merdeka (Tribuana Said: 1988) menurut Parada Harahap tidak bisa dipisahkan dari misi koran tersebut, yaitu sebagai cahaya kemerdekaan yang diidam-idamkan oleh rakyat Hindia Belanda waktu itu. Dalam penerbitan perdana Sinar Merdeka 8 Agustus 1919, Parada Harahap antara lain menulis: ?….. Nama s.ch (surat kabar) kita Sinar Merdeka, artinja Tjahajanja Kemerdekaan, sengaja kami ambil sebagai peringatan dan idam-idaman dari kaoem ra’jat Hindia/Tuan-tuan pembatja tentoe ma’loem bahwa tjita-tjita jang paling besar daripada kaoemnja ra’jat Hindia, jalah kemerdekaan bangsa dan negrinja, sehingga beberapa perhimpoenan besar ketjil dari kaoem kita telah lama beroepaja dengan sekoeat-kooeatnja boeat mentjapai kemerdekaan itoe. Insja Allah melihat gelagatnya dan bajangnja hasil pergerakan kaoem kita itoe rasanja bersinarlah soedah, alamat fadjar akan terbit jang diharap lama-lama men(dja)di Matahari Sedjati…../ Begitu edisi perdana Sinar Merdeka terbit (3 Agustus 1919), Parada Harahap langsung membongkar soal ketidakberesan yang diketahui terjadi di daerahnya. Salah satu kasus yang ditulisnya adalah tentang perilaku seorang mantri polisi, Sutan Naparas di Sipirok dan kontrolir van de Meulen di Padang Sidempuan, yang kerap menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki. Sutan Naparas diketahui suka main tangkap dan tahan terhadap seseorang tanpa mau mengusut lebih lanjut apakah orang itu bersalah atau tidak.Dan jika orang yang ditahan ingin segera dibebaskan, maka Sutan Naparas melalui opas penjaga bui memeras orang tersebut untuk menyerahkan uang sebesar f15. Parada Harahap menyampaikan penyelewengan kekuasaan mantri polisi tersebut kepada kontrolir van de Meulen. Tapi rupanya van Meulen tidak mau melayani kedatangan Parada Harahap yang dipandang sebagai orang desa.Oleh karena itu begitu Sinar Merdeka terbit, Parada Harahap langsung menulis kasus tersebut dengan judul “Film Di Sipirok”. Dalam tulisannya, Parada Harahap menghantam kesombongan van Meulen yang disebutnya “tidak lebih mulia dari seorang babu menjaga anak-anak”. Parada Harahap juga mengkritik van Meulen, karena untuk bertemu dengannya ia harus menunggu sampai 2 jam. “Tidak obah seperti paal, tidak berharga”. Akibat tulisan itu, Parada harus meringkuk selama 2 hari dalam tahanan.Selama kurang lebih 2 tahun memimpin Sinar Merdeka, Parada Harahap telah menghadapi sebanyak 12 pers delik. Tidak mengherankan jika di masa itu, Parada Harahap kemudian dikenal sebagai “Raja Pers Delik”. Namun tahun 1922, Parada Harahap kemudian hijrah ke Jakarta dan tahun 1926 ia kemudian menerbitkan surat kabar Bintang Timoer yang terkenal itu.

Mangaraja Hezkiel Manullang dan Soeara Batak

Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda lewat media jurnalisme juga terjadi di Tarutung. Tokohnya MH Manullang. Pada tahun 1919, ia menjadi pimpinan redaksi sekaligus editor surat kabar Soara Batak. Bertindak sebagai penerbit adalah perkumpulan HKB (Hatopan Keristen Batak). MH Manullang selain menjabat sebagai pimpinan redaksi Soara Batak, juga dikenal sebagai salah seorang pemimpin rakyat di Tarutung. Soera Batak lahir sebagai reaksi terhadap rencana pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1916 telah menyetujui untuk menyerahkan konsesi perkebunan besar asing di wilayah Tapanuli Utara. M.H. Manulang tidak menginginkan tanah-tanah yang masih kosong di Tapanuli Utara untuk “di-tanah Deli-kan kepada para pemodal asing.Perasaan anti kolonialisme M.H. Manullang sangat tajam sebagaimana dapat dilihat pada kupasan berikut: “Saudara-saudara kita jang menjadi koeli selamanja hidoep sebagai kerbau pedati dan kerbau badjak, kena hantam poekoel, tjoetji maki dan berbagai siksaan kaoem planters (toean-toean keboen) sedjak dari ketjil sampai chef-nja semoe memandang sebagai perkakas jang tidak berperasaan boleh dipengapakan sadja”. (H. Mohammad Said:1978). Gaya tulisan M.H. Manullang memang bisa dibilang provokatif untuk ukuran masa itu. Barangkali ini juga sekaligus juga cerminan dari tipologi masyarakat Batak yang kalau bicara biasanya lugas tanpa tedeng aling-aling.Ketika Soara Batak pertama kali terbit, surat kabar ini juga sudah langsung menyatakan solidaritasnya dan menyindir pedas penangkapan dan penahanan terhadap Parada Harahap. Sebagaimana diketahui, Parada Harahap dikenal sebagai raja delik pers dari Sumatera Utara. Ini berkaitan dengan tulisan-tulisan Parada yang banyak terkena pers delik akibat kecaman-kecamannya terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sewaktu tinggal di Sibolga dan memimpin harian Sinar Merdeka, Parada terkena sebanyak 12 kali pers delik. Sebelum terjun ke jurnalistik, Parada pernah bekerja sebagai kerani pada perkebunan Soengai Dadap, milik H.A.P. Mij pada Kantor Besar Boenoet, Kisaran. Karena dinilai cakap dalam menjalankan pekerjaannya, dalam tempo dua tahun gaji Parada naik dari f 10 menjadi f 100. Itu artinya naik hampir 10 kali lipat!Dalam bukunya “Pers dan Jurnalistiek” yang sebagian merupakan autobiographie-nya, Parada menuturkan antara lain bahwa: “suatu hal yang menarik hati administrateur, adalah kerasnya ingatan saya. Hafal di kepala saya nama-nama dan tempo kontractnya 3000 koeli laki-laki dan perempuan.”Walau menempati posisi yang menguntungkan secara ekonomi, namun Parada tidak bisa menutupi mata hatinya tentang penderitaan para koeli kontrak. Oleh karena itu pada suatu waktu Parada mengirimkan surat pembaca yang berisi tentang nasib para koeli kontrak tersebut ke Pewarta Deli, surat kabar yang ia langgani. Namun Parada tidak menduga kalau surat itu oleh pihak redaktur Pewarta Deli dijadikan tajuk karangan dengan inisial P. Sejak itu Parada menjadi terpicu untuk aktif menulis di Pewarta Deli. Pada 3 Agustus 1919, Parada Harahap menerbitkan surat kabar Sinar Merdeka di Sibolga. Tahun 1922 Parada Harahap kemudian hijrah ke Jakarta dan tahun 1926 ia kemudian menerbitkan surat kabar Bintang Timoer yang terkenal itu.Soara Batak menulis: “Kandang koeda assitent resident lebih cantik dari boei”. Dalam edisi perdananya, Manullang juga menulis sebuah manifesto, yang mencerminkan sikap anti kolonial sekaligus tumbuhnya kesadaran akan rasa nasionalismenya, yang kerap dicampurbaurkan dengan bangsa Tapanuli: /Sebagaimana masa kini merupakan masa perubahan, pergerakan dan konflik yang ditujukan untuk mencapai hak-hak asasi manusia, persamaan hak, hak nasional, perkumpulan-perkumpulan muncul di mana-mana yang tujuannya untuk mencapai kemerdekaan dan kehidupan yang baik; perkumpulan-perkumpulan bangsa kita bermunculan bak jamur musim hujan. Dalam perjalanan waktu, bahwa bangsaku, bangsa Batak, telah mulai mengerti arti solidaritas, bukankah begit?/ ….. Saudara-saudaraku!/ Lihatlah tanah kita yang disewakan oleh Guiernur Jenderal kepada para kapitalis karena kita tidak mengerjakannya/ Tanah kita itu …. menghasilkan untung besar; semua pemegang saham Eropa dan Amerika dengan gembira membagi-bagi keuntungan yang berlipat ganda…….” (Lance Castle: 2001)Pada bulan Desember 1920, Manullang terkena delik pers ketika Soara Batak memuat tulisan tentang konsesi “Pansoer Batu”. Pansoer Batu adalah areal tanah seluas 1.020 bau yang hendak disewakan (erfacht) kepada pengusaha perkebunan Eropa. Namun masyarakat Pansoer Batu menolak menyewakan tanah mereka dan tetap menanami tanah tersebut. Akibatnya sebanyak 12 orang pemimpin rakyat ditahan selama 12 hari dan disuruh membayar denda f 10 karena dituduh sebagai dalang yang mempengaruhi rakyat Pansoer-batoe melawan kebijakan pemerintah Belanda. Sebelum terkena pers delik pada surat kabar yang dipimpinnya, M.H. Manullang juga pernah menulis kasus Pansoer Batu pada surat kabar Poestaha, yang terbit di Padang Sidempuan. Pada Poestaha edisi 4 Juli 1919, M.H. Manullang menulis: “Teman-teman Batak! Dengan sangat menyesal saya memberitahukan kepada Saudara-saudara: tanah di Pansurbatu di subdistrik Tarutung telah dicuri oleh pengisap darah (kapitalis bermata putih). Ada ribuan pohon kemenyan dan ratusan bau lahan yang ditanami padi, milik saudara-saudara kita, tetapi pemerintah di Tapanuli tidak melarangnya … sekarang kita mengetahui bahwa pemerintah hanyalah bersandiwara.” (Lance Castle: 2001)Manullang sendiri akhirnya dihadapkan ke raad van justisi (Pengadilan Tinggi) Padang. Sesudah perkarasanya diproses selama kurang lebih setahun oleh raad van justisi, Manullang kemudian diputuskan untuk menjalani hukuman kurungan selama setahun di penjara Cipinang, Jakarta. Pengganti Manullang adalah Soetan Soemoeroeng, yang juga dikenal memiliki sikap anti kolonialis Belanda. Sama halnya dengan Manullang, Soemoeroeng juga terkena delik pers, ketika Soara Batak pada terbitan 2 dan 6 Juni mengupas soal konsesi Sioebanoeban dan Pansoer Batoe. Soemoerong kemudian disidang oleh Pengadilan Kerapatan Besar Tarutung pada tanggal 7 Februari 1924. Kemudian diputuskan bahwa Soemoeroeng dihukum 1,5 tahun penjara karena dinggap telah melanggar pasal 207 dan 145 KUHP Hindia Belanda, yaitu memberi rasa malu dan menerbitkan bibit kebencian antara rakyat dan pemerintah.Tanggal 5 Juni 1924, Residen Sibolga memperteguh putusan rapat, dan setelah grasi Soemoeroeng ditolak Gubernur Jendral Hinda Belanda, maka pada tanggal 27 Oktober Soemoeroeng dibawa ke Sibolga untuk menjalani hukumannya. Akibatnya Soeara Batak tidak terbit lagi. MH Manullang sendiri sekeluar dari penjara Cipinang pada tahun 1924, kemudian menerbitkan koran baru bernama Persamaan. Kemudian ketika pindah ke Sibolga Persamaan diubah namanya menjadi Pertjatoeran. Semangat anti kolonialisme M.H. Manullang rupanya tak pudar walau ia sempat mendekam selama setahun di penjara. Pertjaturan edisi 9 Juli 1925 (Soebagijo I.N: 1981) misalnya dalam tajuknya di hamalan muka menulis: /Dr. Adam memukul wanita Tiong Hoa, tetapi oleh Pengadilan dinyatakan bebas/Seorang jonggos memegang tangan seorang noni, tanpa meninggalkan bekas apa-apa; kecuali hanya disangka hendak berbuat kurang baik terhadap noni itu, dijatuhi hukuman 8 bulan penjara/Korupsi yang dilakukan pejabat kulit putih sampai puluhan bahkan ratusan ribu gulden, hukumannya hanya separo dari apa yang tercantumkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana/ Seorang Kepala negeri menyelewengkan seratus gulden diganjar hukuman sekian tahun/Dimanakah keadilan, persamaan dan kemanusiaan yang disebut undang-undang akan berlaku sama rata dalam keadilan?/

Jurnalis(me) Buah Politik Etis

Apa yang dilakukan Soetan Koemala Boelan, MH Manullang, Moehammd Joenoes, Parada Harahap, Soetan Soemoeroeng dll., lewat aktivitas jurnalisme mereka dalam melawan kolonialisme Belanda, pada dasarnya tidak lepas dari kondisi objektif dunia pergerakan elit politik di tanah air waktu itu. Apa yang dilakukan Soetan Koemala Boelan dan MH. Manullang lewat tulisan-tulisannya di harian Pewarta Del dan Soeara Batak, pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan dari kebijakan Politik Etis yang diperkenalkan pemerintah Kolonial Belanda sendiri sejak tahun 1901. Golongan elit modern yang terdidik inilah yang kemudian menjadi agen pembaru dan pelopor pergerakan nasional di Indonesia pada awal abad ke-20. Dalam memperjuangkan cita-cita nasionalnya itu, yaitu memajukan dan menyejahterakan masyarakat, mereka menggunakan modus operandi baru dengan cara membentuk organisasi modern dan pers sebagai salah satu sarana komunikasinya.(Andi Suwirta: 2000)Karenanya ideologi jurnalis(me) abad ke-19 adalah ideologi kemerdekaan dan cita-cita mendidik masyarakat ke arah sikap merdeka yang didukung oleh kekuatan jurnalis merangkap pejuang, meski dengan minimnya standar kemampuan dan keterampilan, baik teknis maupun pengetahuan profesionalisme jurnalistik. Standar ideologi perjuangan anti-kolonial itulah standar profesi pers perjuangan tersebut (Hotman M Siahaan dan Tjahjo Purnowo W: 1993)Tidak mengherankan jika teks-teks berita atau tulisan yang dibuat mereka jika dinilai dengan menggunakan standar jurnalistik sekarang ini nilainya mungkin akan merah semuanya. Namun pada waktu itu, kesadaran untuk memenuhi standar jurnalistik yang objektif barangkali memang bisa diabaikan. Pertama, karena perkembangan ilmu jurnalistik sendiri waktu itu belum berkembang seperti sekarang ini, kedua juga karena adanya kesadaran bahwa surat kabar pada waktu itu memang hanya sekadar alat bantu terhadap perjuangan untuk melawan praktek-praktek kekejaman kolonialisme Belanda. Teks-teks berita atau tulisan jurnalisme yang dihasilkan para jurnalis abad ke-19, secara substansial dan teknikalitas, tak jauh berbeda dengan teks-teks yang dihasilkan pers mahasiswa ketika hidup di zaman rezim Soeharto. Pada era itu pers mahasiswa digunakan sebagai pamflet atau propaganda yang isinya melulu menyerang kediktatoran rezim Soeharto. Teks-teks jurnalis abad 19 sama dengan teks-teks jurnalisme yang dihasilkan para aktivis Ornop yang tengah mengadvokasi masyarakat marjinal yang menjadi korban ketidakadilan struktural.Etos kerja yang mendasari kiprah para jurnalis waktu itu adalah spirit untuk membela masyarakat yang lemah, marjinal dan tak berdaya di hadapan kekuasaan kolonialisme Belanda.Jurnalis pada waktu itu menjadi bagian dari perjuangan bangsa yang tengah gandrung akan ide-ide kemerdekaan, persamaan derajat, nasionalisme dan anti eksploitasi manusia atas manusia. Tak sedikit dari mereka yang terkena pers delik bikinan pemerintah kolonial Belanda karena tulisan-tulisan mereka yang dikategorikan “menghasut”, “menjelek-jelekkan pemerintah Belanda” atau “menyebarkan kebencian.” Kalau tak didenda sekian gulden, mereka terkena kurungan penjara. Bisa dalam hitungan hari, minggu, namun juga bisa dalam hitungan tahun. Bahkan ada yang sampai dibuang ke Boven Digoel seperti Chalid Salim dari Pewarta Deli, Xarim MS (Sinar Hindia), Urbanus Pardede (Sinar Kita) dan Nerus Ginting (Sendjata Batak),Medan pada abad ke-19 memang pernah menghasilkan jurnalis sekelas Parada Harahap, Dja Endra Moeda, H.M. Manullang, Mangaradja Ihoetan, Mohammad Joenoes atau Flora alias Soetan Koemala Boelan dll. Etos kerja yang mewarnai para jurnalis waktu itu adalah kesadaran untuk menentang kejahatan kolonialisme Belanda yang kemudian terus berlanjut pada jaman perjuangan menegakkan kedaulatan negara RI dari rongrongan cengkraman Belanda di tahun1940-an.

Sebuah Renungan

Namun cerita heroisme jurnalis(me) Sumatera Utara abad-19 kini tinggal sebagai memori kolektif rakyat semata. Etos kerja jurnalis(me) Medan saat ini sangat terpengaruh dengan pepatah yang populer di kalangan warga Medan: ‘hepeng do na mangatur dunia on”. Semangat berjurnalisme bukan lagi diabdikan untuk melawan berbagai praktek penindasan dari kekuasaan negara, ekonomi atau kekuasaan komunalisme yang menyengsarakan rakyat, sebagaimana dilakukan jurnalis abad ke-19, tetapi lebih untuk memperkaya diri. Karenanya hampir setiap kasus yang berkaitan dengan jurnalis(me) di Medan selesai karena adanya “uang damai”. Berbagai kasus kekerasan yang menimpa jurnalis, baik yang dilakukan pejabat eksekutif, anggota satgas partai politik atau bahkan oleh satpam, walau sudah diberitakan secara gegap gempita dan memperoleh dukungan dari berbagai pihak, namun umumnya berakhir di meja perundingan sang pejabat atau di sebuah meja restoran mewah di Medan. Sudah tentu dibalik itu ada “uang damai” untuk menebus harga kekerasan yang dialami jurnalis.

Apakah ini menandakan bahwa telah terjadi keterputusan sejarah antara jurnalis(me) Medan abad-19 dengan jurnalis(me) abad-20? Seperti apa sebenarnya wajah jurnalis(me) Medan pasca kolonialisme Belanda? Barangkali dalam kesempatan berbeda, penulis bisa menuliskannya.

Tulisan ini dimuat di harian Analisa, Medan
(10, 11 dan 13 Februari 2004)