Sunday, June 10, 2007

Contradictio in Terminis: Kritik Atas Perbankan Syariah


Sumber: Saidi, Zaim. 2003. "Contradictio In Terminis: Kritik Atas Perbankan Syariah". Jurnal Ekonomi Syariah Muamalah, Vol. 2, No. 2, Yogyakarta: Shariah Economics Forum Universitas Gadjah Mada.

CONTRADICTIO IN TERMINIS: KRITIK ATAS PERBANKAN SYARIAH

Zaim Saidi

Penulis bekerja di Lembaga Studi danImpelementasi Ekonomi Alternatif (ADINA) Jakarta

Abstrak

The shariah banking has been growing for about five decades. It viewed to give a solution for riba which is always a problem to moslems.The critics on shariah banking are still little. Even one of the critics said that shariah banking is not Islamic The system of shariah banking is not entirely free from riba. This paper gives some arguments that riba is not only viewed in the scope of interest, but also in its banking system generally, which has function as money and credit creator. It is why the shariah banking is contradiction in terminis. Beside that in shariah banking system, have some hesitant practices if we face it with shariah principle. First is about the conflict of interest, the second is the deny of the essential goal of muamalah that is certainty and the fair of transaction, and the third is the de facto of credit making and the adherent of time value of money principle.

Sistem yang saat ini kita kenali sebagai perbankan syariah telah berkembang di dunia Islam selama sekitar setengah abad. Meskipun demikian pesatnya perkembangan ini baru dirasakan di Indonesia dalam kurun sepuluh tahun terakhir, ketika hubungan pemerintah Orde Baru dan Islam mengalami masa “bulan madu”. Dipelopori pada 1992 dengan pendirian Bank Muamalat, bank syariah pertama yang direstui penguasa di negeri ini, perbankan syariah di Indonesia kini telah menghadirkan sejumlah bank syariah, bank konvensional1 yang membuka cabang syariah, maupun ratusan “turunannya” berupa BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah) maupun BMT (Baitul Mal wa Tamwil) di seantero negeri2 .

Meskipun aset totalnya masih relatif kecil dibandingkan dengan perbankan nonsyariah perkembangan perbankan syariah di Indonesia mendapat dukungan dan sambutan luas dari berbagai pihak3 . Perbanakn syariah secara umum telah dianggap memberikan solusi atas persoalan riba bagi umat Islam. Kalau ada, tinjauan kritis atas praktek perbankan syariah ini relatif sangat sedikit. Salah satu kritik ini,misalnya, diajukan oleh Umar Vadillo dalam buknya The End of Economics (1991). Kritik ini digemakan di Malaysia oleh Abdur-Razzaq Lubis dalam bukunya Tidak Islamnya Bank Islam4 . Dalam kalimat terakhir buknya Vadillo menulis, “’Bank Islam’ adalah kuda Troya yang disusupkan ke dalam Dar al-Islam”. Dengan kata lain Vadillo ingin menyatakan bahwa perbankan syariah tidak saja bukan solusi bagi kebutuhan akan sistem pengelolaan sumber daya finansial yang sesuai dengan syariah melainkan bahkan merupakan sebentuk pengkhianatan atau musuh dalam selimut.

Tulisan ini mencoba melakukan kritik serupa atas praktek perbankan syariah dari beberapa titik pandang. Sebagai pijakan paling mendasar bagi argumen yang dibangun di sini adalah pengertian dari konsepsi riba. Hipotesis yang ingin dibuktikan oleh tulisan ini adalah bahwa sistem perbankan syariah bukanlah sistem yang bebas riba, meskipun boleh jadi tampaknya telah melepaskan diri dari bunga (interest). Dengan kata lain, tulisan ini berargumentasi, riba bukan sekadar bunga (interest) an sich melainkan sistem perbankan itu sendiri secara keseluruhan. Konsekuensinya sepanjang sistem yang dipraktekkan oleh perbankan syariah belum lepas atau berbeda dari sistem perbankan umumnya maka kehalalannya sangat diragukan5 .

Konsepsi Absolut tentang Riba

Riba mempunyai batasan yang luas. Rasulallah Saw menyebutkan adanya tujuh puluh bentuk riba (Hosein, 1997), dan bunga bank (interest) hanya salah satunya. Riba prinsipnya berarti “tambahan”. Imran N Hosein mendefinisikannya sebagai “penambahan pokok, dengan beban pada kekayaan pihak lain, dengan cara-cara yang batil dan dusta” (Hosein, 1997, catatan 11, hal.14). Secara lebih sederhana Khalid menyebutnya sebagai “mendapatkan sesuatu dari ketiadaan” (have something out of nothing) (Khalid, 2002a), ini sesuai dengan makna literal riba yang artinya “menambahkan”.

Mengenai batasan seperti di atas tampaknya tidak ada perdebatan, artinya tidak ada lagi persoalan, di kalangan umat Islam6 . Demikian pula tentang keharaman riba, tidak ada perdebatan, karena ketentuan syariah tentang riba tampaknya telah cukup jelas dan tegas. Yang jadi persoalan adalah pemaknaan, atau penafsiran, atas hakekat dari “menambahkan” tersebuit dalam konteks sistem kehidupan – khususnya perekonomian modern. Namun, patut dicatat bahwa ketika Al Quran menyebutkan motivasi ini, sebagai pembeda antara dagang yang halal dan riba yang haram, adalah dalam satu nafas. Antara keduanya, dalam sistem kehidupan modern, terbukti saling meniadakan: ketika riba dihalalkan maka perdagangan (seolah) diharamkan, karena perdagangan tidak lagi bisa berjalan dengan baik.

Meski batasan literalnya sederhana riba sesungguhnya mempunyai bentuk-bentuk yang luas, sebelumnya telah disebutkan adanya tujuh puluh bentuk riba. Namun demikian, umumnya umat Islam (bahkan para ulamanya) di Indonesia, memahami riba hanya dalam kaitannya dengan bunga bank (interest). Pemahaman yang sangat sempit ini jelas menyesatkan. Akibatnya upaya memerangi riba pun terbatas sekali hanya kepada upaya menghulangkan bunga bank. Bahkan dalam pandangan yang sudah sempit ini diperkabur lagi dengan konsep relativitas, besar kecilnya tingkat bunga tersebut. Maka, timbullah kontraversi, tentang bunga yang riba dan yang bukan, yang haram dan yang masih halal. Akibat lebih jauh lagi dari pandangan sempit ini telah membuat kita kehilangan kejernihan dalam memahami riba sebagai suatu sistem, yang memerlukan perubahan sistemik pula.

Untuk itu penegasan makna “mendapatkan sesuatu dari ketiadaan” dari riba perlu dilakukan. Di sini akan coba dibuktikan bahwa riba adalah konsepsi yang absolut sifatnya, bukan sesuatu yang relatif. Berapa pun penambahan itu dilakukan adalah riba, bukan pada kecil atau besarnya penambahan tersebut. Pembuktian ini akan mudah dilakukan dengan formulasi matematis berikut ini.

Dalam rumusan matemastis dapat digambarkan bahwa penambahan dari Rp 10.000 menjadi Rp 11.000 ataupun menjadi Rp 10.100, sebagai bentuk riba, tidaklah berbeda. Keduanya riba, meskipun yang pertama dengan penambahan Rp 1000 atau 10% sedangkan yang kedua dengan penambahan Rp 100 atau 1%. Pengertian ini akan semakin tajam dapat dipahami bila dimulai dari titik awal 0. Kita menambahkan dengan bilangan 1, 2, 100, maupun 10.000, atas sesuatu yang semula tidak ada (0) akan menghasilkan nilai tak terhingga. Formula matematisnya adalah 1/0 = 2/0=100/0=10.000/0= ~% (tak terhingga persen). Dari angka 0 di sini hanyalah simbol dari titik awal penambahan, yang dapat digantikan dengan angka berapa pun (Rp 10.000 di atas atau angka lainnya).

Jelaslah bahwa riba merupakan konsep yang berpengertian absolut, bukan relatif. Maka membedakan antara tambahan yang “tidak lazim” dan “yang lazim”, untuk mengatakan tambahan itu riba atau bukan, dengan melihat besar-kecilnya angka persentase penambahan adari nilai pokoknya adalah keliru. Sebab, dalam konsep absoluty, menambahkan dari 0 menjadi 1 atau dari 10.000 menjadi 10.001 bermakna sama, dalam prosentase, menghasilkan nilai ~% (tak terhingga persen). Sepanjang dilakukan dengan cara batil, atau tanpa upaya apa pun, keduanya bermakna sama: “menambahkan sesuatu dari ketiadaan”.

Dengan pengertian konsepsi riba di atas maka akan dengan mudah kita pahami bahwa uang kertas adalah salah satu bentuk riba. Uang kertas adalah kertas dengan gambar tertentu dengan nilai nominal ditentukan secara arbitrer oleh negara lewat keputusan politik. Kalau negara (Bank Sentral) memutuskan menuliskan angka Rp 1000 maka selembar kertas itu bernilai 1000, kalau gambarnya dan angkanya diganti menjadi Rp 100.000 nilainya menjadi 100.000. Kita, sebagai warga negara, kemudian dipaksa untuk mengakui nilai tersebut dan menggunakannya sebagai alat tukar yang sah karena undang-undang. “Barang siapa meniru, memalsukan, atau menolak uang tersebut”, lantas dianggap melawan negara. Sebaliknya, negara, dengan kekuasaan politik dan hukumnya berhak untuk terus mencetak dan mengedarkan, dan menentukan nilai, berapa pun yang negara (baca: para politisi dan birokrat negara) suka.

Di sini bukan kewenangan Bank Sentral an sich yang dipersoalkan. Yang jadi persoalan adalah, dalam konteks batasan riba di atas, membubuhkan angka, yang berarti memberikan nilai, pada selembar kertas menjadi jauh di atas nilai zat (intrinsik)-nya adalah “menambahkan sesuatu dari ketiadaan”. Untuk mencetak dan memproduksi mata uang kertas Rp 100.000, misalnya, boleh jadi hanya diperlukan biaya Rp 5.000. Selisihnya, Rp 95.000, adalah tambahannya, bila dihitung dari titik 0. Dalam formula matematis penambahan nilai ini akan selalu menghasilkan tambahan ~%. Maka, penciptaan uang flat oleh negara, dan turunannya oleh perbankan, dengan cara semata-mata mencetak angka-angka di atas sehelai kertas atau bahkan dengan mengetikkan simbol berupa byte dalam layar komputer adalah “menambahkan sesuatu dari ketiadaan”. Bukankah menjadi jelas bahwa uang kertas adalah sebentuk riba? Dan oleh karenanya haram hukumnya?

Gambaran praktis sistem ribawi dari uang kertas akan menjadi lebih jelas dan lengkap bila dipahami juga “mesin penggeraknya” yaitu perbankan. Selain uang kertas dua unsur pokok dari perbankan adalah bunga dan utan-piutang (kredit). Bagian berikut menguraikan cara kerja sistem ribawi tersebut.

Perbankan: Penggerak Sistem Riba

Perekonomian saat ini, yang didominasi oleh ekonomi finansial7 , ditopang oleh segi tiga uang kertas, bunga, dan kredit (utang), dengan institusi penggeraknya, perbankan. Cara kerja bank pada prinsipnya adalah penciptaan uang tanpa batas di satu sisi dan sewa-menyewakan uang di lain sisi. Tanpa institusi perbanakn (dengan bunganya) bila seseorang terlibat pinjam-meminjam uang, milsanya dari A kepada B, sebesar Rp 100 juta, maka uang A akan berpindah tangan (untuk sementara) kepada B. Bila saatnya tiba pihak B berkewajiban mengembalikan Rp 100 juta tersebut kepada A. Dengan atau tanpa transaksi ini jumlah uangnya tetap, kecuali ada tambahan riba atasnya. Tapi dengan adanya bank dan riba (bunga) uang yang sama bukan saja berpindah tangan, tetapi juga “berputar”, hingga jumlahnya dengan serta merta akan berlipat ganda.

Katakanlah ada bank C yang menerima uang Rp 100 juta dari A, dan membukukannya dalam sebuah buku rekening. Bank C akan meminjamkan kepada nasabah D sebesar Rp 90 juta, karena Rp 10 juta harus ditahan sebagai cadangan, yang kemudian mendepositkannya di Bank E. Maka, Bank E memiliki uang sebesar Rp 90 juta tersebut, sementara dalam buku Bank A tetap tercatat uang yang Rp 100 juta. Selanjutnya Bank E dapat meminjamkan kepada nasabahnya sebesar Rp 81 juta. Dalam praktek sebuah bank akan dapat memutar uang yang ada di tangannya sampai 20 kali. Maka, bila ia mengenakan riba sebesar 20% pertahun, maka dari perputaran ini bank C akan mendapatkan uang sebesar Rp 0.2x Rp 90 juta x 20 = Rp 18 juta. Demikian seterusnya. Dalam satu putaran pada kasus di sini saja, terakumulasi uang sebesar Rp. 289 juta, sedang uang asalnya hanya Rp 100 juta. Artinya Rp 189 juta adalah uang fiktif.

Perbankan melakukan semua itu dengan tujuan memperoleh (pendapatan) bunga pada piutang tersebut. Bagi bank uang nasabah adalah liabilities karena bank harus membayarkan bunga atasny. Karena itu bank akan terus mengutang-utangkan uang yang ada padanya, dengan cara begitu penciptaan uang pun terus terjadi. Dan, adalah keniscayaan, kalau terjadi rush – para nasabah mengambil uang pada saat yang sama – terjadi keruntuhan bank (karena sebab yang pasti:uangnya memang tidak ada!). Sementara itu dampak dari penciptaan uang yang terus-menerus ini adalah inflasi yang juga terus-menerus.

Secara teknis istilah inflasi ini diberi arti “kenaikan harga barang-barang”. Padahal, kualitas dan kuantitas suatu barang, dari waktu ke waktu, tidak berubah. Setongkol jagung atau seekor ayam sepanjang zaman tetaplah setongkol jagung dan seekor ayam yang sama. Tetapi harga setongkol jagung (dalam uang kertas rupiah) beberapa puluh tahun yang lalu berharga Rp 5/tongkol, pada 2003 berharga Rp 1000/tongkol. Ini membuktikan bahwa yang bermasalah bukanlah nilai barang itu melainkan nilai uang kertas yang digunakan sebagai alat tukarnya. Para ekonom menyebutkan peristiwa ini sebagai depresiasi. Inflasi dan depresiasi adalah dua sisi dari koin yang sama.

Berdasarkan pengalaman empiris di Indonesia dalam kurun beberapa tahun terakhir, inflasi tersebut berkisar pada angka 9%, tingkat yang “normal” bagi masyakarat Indonesia. Ini berarti penurunan daya beli 9% per tahun bagi rakyat yang berpenghasilan tetap, dan lebih besar lagi bagi yang berpenghasilan rendah dan tak pasti. Sementara bagi kaum kaya, dengan kenaikan penghasilan di atas 9%, akan semakin kaya karena menikmati efek ribawinya. Dampak langsung bagi masyarakat adalah kenaikan harga barang-barang dan jasa, yang berarti penurunan daya beli (pemiskinan). Tentu abnayk faktor lain yang ikut mempengaruhi inflasi, tapi yang pertama-tama secara langsung menyebabkannya sebelum yang lain-lainnya, adalah “penciptaan” uang secara eksponensial oleh perbankan ini.

Dalam prakteknya dampak pemiskinan sistem perbankan ribawi terlihat secara nyata pada semakin besarnya anggota masyarakat yang jatuh dalam kemiskinan absolut. Pada saat yang sama peredarana uang semakin ditentukan oleh perbankan (dalam bentuk bermacam-macam kredit)_ dan hanya akan jatuh di pundi-pundi kaum kaya. Pemenuhan kebutuhan pokok bagi rakyat miskin, sandang, pangan, dan terutama papan semakin sulit dicapai. Bentuk kongkritnya, sebagai satu contoh, adalah standar kelayakan rumah yang makin tidak manusiawi, dari tipe 45, ke tipe 36, tipe 27, dan kini tipe 21; dengan harga yang tetap semakin tak terjangkau. Pun harga setongkol jagung yang semula Rp 5, menjadi Rp 100, Ro 500, dan kini Rp 1000.

Ringkasnya: sistem uang kertas dan perbankan adalah pencipta kemiskinan dan pelestari jurang kaya-miskin. Di satu pihak keuntungan bagi bankir dan pemilik uang yang mendepositokannya di bank, tapi di sisi lain adalah pemiskinan kaum dhuafa dan masyarakat yang berpendapatan tetap. Baik di tingkat lokal, di antara sesama warga negara, maupun internasional, di antara bangsa satu dan lainnya. Jelaslah bahwa sistem perbankan adalah sebuah bentuk kezaliman. Maka, perbankan syariah, tidak lain adalah sebuah contradictio in terminis.

Perbankan Syariah dalam Praktek: Selingkuh Kepentingan dan Kezaliman

Dari uraian sebelumnya dari tulisan ini tampak jelas bahwa penciptaan uang kertas (flat) merupakan instrumen ribawi. Implikasinya adalha memakainya berarti mempraktekkan riba. Dalam kombinasi dengan penerapan bunga, institusi perbanan yang emnciptakan lebih jauh uang fiktif melalui mekanisme kredit, praktek ribawi menjadi sistemik, dan eksponensial. Inflasi yang terus-menerus di satu sisi dan depresiasi uang di sisi lain adalah konsekuensi dari sistem ribawi ini. Dalam kenyataan hidup sistem finansial ribawi ini terus menciptakan dan melestarikan kemiskinan massal, kecuali bagi para bankir (rentenir) yang menyedot pemiskinan massal itu sebagai sumber kekayaan mereka.

Pemakaian uang kertas (flat) oleh perbankan syariah adalah unsuru elementer yang membuatnya tidak bersih dari riba. Di samping itu ada beberapa persoalan lain yang perlu diungkap dari praktek perbankan syariah saat ini, yang menimbulkan keraguan akan kesesuaiannya dengan syariah. Tiga hal akan dibahas berikut ini, pertama, persoalan selingkuh kepentingan (conflict of interest), kedua, soal pengingkaran atas tujuan esensial muamalah yakni kepastian dan keadilan transaksi, sedangkan yang ketiga adalah de facto dipraktekkannya penciptaan kredit dan dianutnya prinsip time value of money8 .

Selingkuh kepentingan (conflict of interest) adalah situasi ketika satu pihak atau seseorang yang sama dihadapkan pada kepentingan yang berbeda. Akibat dari situasi ini seseorang atau pihak tersebut akan mengalami kebingungan, atau konflik dalam dirinya sendiri, untuk menentukan (memilih) kepentingan mana yang harus ia ikuti. Bentuk terjelas dari situasi perselingkuhan kepentingan adalah rangkap jabatan9 . Akibat perselingkuhan kepentingan adalah kemungkinan yang sangat besar timbulnya kerugian pada pihak ketiga atas pilihan yang bias dan tidak jernih tersebut. Untuk menghindari selingkuh kepentingan maka dua kepentingan atau peran yang melekat pada satu orang harus dipisahkan.

Dalam konteks perbankan syariah selingkuh kepentingan sangat jelas terlihat dalam posisi bank yang, pada saat bersamaan, bertindak selaku sahibul mal dan mudharib sekaligus. Ketika bank syariah menghimpun uang dari umat ia menyatakan dirinya sebagai mudharib, tapi ketika ia menyalurkan uangnya kepada nasabah ia menyulap posisinya menjadi sahibul mal. Pertanyaan elementernya adalah: uang miliki siapakah yang ia salurkan? Jawabnya pasti milik umat. Lantas bagaimana mungkin si bank ini dapat menjadi sahibul mal tanpa “menelikung” hak milik umat? Bagaimana proses penelikungan ini dapat dijelaskan?

Sebagaimana diuraikan di atas modus operandi perbankan adalah “memutar uang” yang bukan miliknya sendiri, bahkan menciptakan uang-uang dari ketiadaan, seketika saat uang pihak lain yang dititipkan padanya tersebut “diputar”. Di sinilah pangkal soalnya amanah satu pihak untuk menitipkan (uang) pada pihak lain, yang dalam hubungan kontraktual menurut fiqih dikenal sebagai wadiah, ditelikung hingga de facto uang titipan tersebut berstatus sebagai pinjaman. Suatu praktek yang sama dengan yang terjadi pada perbankan. Status uang yang berbeda, titipan atau pinjaman, jelas memiliki implikasi berbeda. Titipan adalah amanah, tidak ada hak pada pihak yang dititipi untuk menggunakan uang tersebut, baik dipinjamkan kepada pihak ketiga maupun dipakainya sendiri. Sedangkan pinjaman telah mengakibatkan perpindahan pemilikan, meskipun sementara, dan karena itu si peminjam berhak untuk melakukan suatu tindakan atas hak miliknya (sementara) tersebut.

Dalam kepustakaan perbankan syariah penelikungan amanah tersebut diabsahkan dengan ditambahkan suatu bentuk kontraktual baru, yang disebut sebagai wadiah adh- dhamanah.10 Disebutkan dengan wadiah adh-dhamanah pihak yang menerima titipan (dalam hal ini bank syariah) boleh menggunakan dan memanfaatkan uang yang dititipkan. Di sinilah, de facto, terjadi perubahan status uang titipan menjadi pinjaman, atau lebih tepatnya, titipan tidak dibedakan dari pinjaman. Tampaknya memang ada pembenaran yang diajukan untuk hal ini, yakni akad, artinya si penitip (diasumsikan) telah mengizinkan hal tersebut terjadi.

Ada dua masalah di sini. Pertama, kejelasan dan kerelaan dalam akad ini secara praktis dalam kenyataan sangat diragukan, baik karena fait accompli oleh pihak II (bank) ataupun ketidakpahaman pihak I (penitip). Kedua, ada bentuk kecurangan dan kezaliman pihak II kepada pihak I, dalam hal ini perolehan atas pemakaian uang tersebut. Dalam hal ini pihak II yang “merampas” hak pemilikan (sementara) uang tititapn pihak I mendapatkan kesempatan untuk memutarkannya dan memperoleh keuntungan, dalam hal ini melalui mekanisme bagi hasil dengan pihak III. Sedangkan kepada pihak I perbankan syariah (pihak II) hanya akan memberikan bonus, yang besarnya tentu sesuka pihak II 11 . Betapa tidak adilnya!

Bahkan, bila hubungan kontraktual antara pihak I dan pihak II adalah mudharabah atau bagi hasil pun, selingkuh kepentingan pada perbankan syariah di atas menimbulkan sejumlah ketidakpastian. Para pihak (mudharib dan sahibul mal) akan kehilangan jejak tentang usaha yang mereka sepakati yang mengakibatkan sulitnya menentukan tingkat keuntungan atau kerugiannya, apalagi pelaksanaan bagi hasilnya, tanpa ada salah satu pihak yang dirugikan. Pihak I, kemungkinan besar juga pihak II, tidak lagi akan mengetahui investasi kerjasam yang dilakukan tersebut atas usaha yang mana, pada periode berapa, tingkat keuntungan/kerugian yang diperolehnya, pembagian resiko/keuntungannya, dan seterusnya. Suatu ketidakpastian yang sangat potensial memicu konflik.

Implikasi atas penelikungan status titipan menjadi pinjaman di atas adalah timbulnya ketidakpastian bagi eksistensi lembaga itu sendiri – yang resikonya pada akhirnya kemudian harus ditanggung pemilik uang: kemungkinan collapse akibat rush. Kalau uang umat itu adalah titipan maka ketika semua pemiliknya secara bersamaan datang untuk mengambilnya, semua akan mendapatkan haknya. Uang itu pasti ada di tempat. Tapi jika uang itu menjadi pinjaman, yang merupakan hak (sementara) bank, maka semua pemilik aslinya datang mengambilnya pada saat yang bersamaan hanya sebagian (kecil) yang akan mendapatkan miliknya. Sebagian besar entah di mana, bahkan lebih buruk dari itu, tinggal ada dalam angka-angka di layar komputer! Bank syariah, sama saja dengan bank lain, akan runtuh karenanya.

Ada penelikungan lain yang memungkinkah perbankan syariah beroperasi de facto sama dengan perbankan lainnya, meskipun de jure diabsahkan, karena dalih kesepakatan (akad). Penelikungan keuda ini terjadi melalui suatu produk yang dikenal sebagai murabahah. Definisi murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati (Antonio, 2001, hal. 101). Ini adalah transaksi jual-beli yang sangat lazim dalam kehidupan sehari-hari, penjual kulakan mata dagangan dan memasarkannya kepada pembeli, dengan mendapatkan keuntungan dari harga yang ditetapkan sesuati dengan hukum suplly-demand. Dalam perbankan syariah murabahah menjadi pengabsahan, dan praktek, penjualan sistem kredit atau cicilan yang de facto tidak berbeda dengan sistem kredit berbunga fixed rate pada perbankan.

Contoh praktek murabahah dalam perbankan syariah adalah bila seseorang ingin membeli sebuah rumah seharga Rp 100 juta, maka pihak bank akan mebelikan untuk yang bersangkutan, dan menjualnya lagi seharga (misalnya) Rp 200 juta. Transaksi ini dihalalkan dengan alasan akad yang disepakati. Tapi ada persoalan di sini. Kalau harga rumah tersebut di pasaran saat itu Rp 100 juta, mengapa bank menjualnya seharga Rp 200 juta, artinya dengan keuntungan 100% - yang jelas tidak beralasan dan sangat memberatkan. Alasannya adalah karena konsumen membayarkan secara krdit – katakanlah dalam 5 tahun. Maka, ini berarti tiada alasan lain, kecuali waktu yang menjadi faktor penambahan dari Rp 100 juta menjadi Rp 200 juta, dan bukan faktor produksi apa pun. Dengan jelas kita lihat bahwa murabahah dalam praktek perbankan syariah bukan lagi jual beli tetapi sebentuk penciptaan kredit dengan pembayaran tangguh dan cicilan (dengan bunga fixed rate, dalam contoh ini 20%/tahun). Praktek ini tidak lain adalah sebentuk riba al-nasiah (Hosein, 1997, hal. 23).Kesimpulan Para perancanga perbankan syariah secara cerdik melakukan penelikungan atas konsep wadiah dan murabahah12 . Hal ini telah memberikan pembenaran bagi praktek perbankan syariah untuk seolah-olah terbebas dari riba dan penciptaan kredit, serta mempertahankan sistem uang kertas sebagai pangkal persoalan. Untuk melihat esensialnya faktor uang kertas dalam keberlangsungan sistem ribawi ini, sangat penting untuk memahaminya, bahkan dalam arrangement yang sesuai dengan syariah pun, seperti mudharobah dan syirkah, pemakain uang kertas akan menghasilkan kezaliman, terutama bagi investor asing. Sebab, dengan adnya inflasi dan depresiasi mata uang kertas, investor akan dirugikan ketika menerima pengembalian investasinya pada akhir masa usaha.

Dengan batasan riba sebagaimana yang diambil dari ayat-ayat Al Quran, maupun interpretasi sistemik sebagaimana diuraikan tulisan ini, sistem perbankan dan finansial secara keseluruhan yang berlaku saat ini, dengan label syariah atau bukan, tetap merupakan sistem ribawi. Implikasi dari pemahaman atas hakekat ribawi uang kertas dan perbankan ini adalah keharusan untuk kembali kepada ekonomi riel, yang melepaskan diri dari pemakaian uang kertas, penciptaan kredit, dan bunga. Tiga pilar ekonomi riel adalah mata uang riel (dinar emas dan dirham perak), pasar lokal, dan kerjasama usaha dengan sistem bagi hasil (mudharabah).

Berbagai jenis usaha, investasi, perdagangan, dalam berbabagai sektor mulai dari produksi, perumahan, sampai jasa, dapat dikembangkan oleh dan lewat bentuk-bentuk kerjasama bagi hasil di antara mnasyarakat sendiri. Kita tidak membutuhkan perbankan yang sekadar melepaskan diri dari bunga, sebagaimana kita kenali sekarang, dengan atau tanpa embel-embel syariah, melainkan lembaga keuangan Islam atau lembaga keuangan syariah yang sebenarnya yang sepenuhnya bebas dari riba. Sebuah lembaga yang menerapkan sistem pembiayaan yang tidak saja menghentikan praktek diri sebvagaio calo, pencipta utang/kredit, serta pemakan riba, dan pendorong bisnis spekulatif lain, melainkan juga mendorong masyarakat untuk bermamalah secara lebih luas, meghargai uang dan berkonsumsi secara wajar berdasarkan kemampuan (tabungan) dan bukan kredit, serta memeratakan kemakmuran/kekayaan dalam masyarakat melalui usaha riel.

Daftar Pustaka
Anonymous (1991). Fatwa Concerning the Islamic Prohibition of Using Paper Money as Medium of Exchange. Unpublished paper.
Anonymous (b). White paper on Islamic Bimetallic Currency. No date, unpublished paper.
Antonio, M Syafi’i(2001). Bank Syaruah dari Teori ke praktek. Gema Insani Press.
Anwar, M (2002). ‘Euro and gold dinar: a comparative study of currency union’ in Viability of the Islamic Dinar. Proceeding Conference on Stable and Just Global System. IIUM, Malaysia.
Diwany, Terk El (2002) ‘History in banking: an analisys’ in Viability of the Islamic Dinar. Proceeding Conference on Stable and Just Global System. IIUM, Malaysia.
Gilphin, R (1987). The Political Eonomy of International Relations. Princeton University Press.
Haneef, M.A. and E Rafiq Barakat (2002). ‘Gold and Silver as Money: A Preliminary Survey of Fiqhi Opinions and Their Implication” in Viability of the Islamic Dinar. Proceeding Conference on Stable and Just Global System. IIUM, Malaysia.
Hosein, I N. (1997). The Importance of Prohibition of Riba in Islam. Ummavision Sdn. Bhd.
Khalid, Fazlun (2002). ‘Islam and the Environment in Peter Timmerman’ (ed). Encyclopedia of Global Environment Change, John Wiley and Son.
Khalid, Fazlun (2002a). Sustainable Development and Enviromental Collpase an Islamic Perspective. Unpublishe paper.
Korten, David (1999). The Post Corporate World Life After Capitalism. Berret Kohler Publisher and Kumarian Press._______________.
(2000). “Sustainability and the Global Economy’ in Coward, Harold and Daniel C Maguire (eds), Visions of A New Earth. State University of New York Press.
Kurtzman, Joel (1983). The Death of Money. Simon and Schuster._______________. (2001). Bunga Bank Haram.
AkbarRab, Hizfur (2002) ‘Problem Created by the flat money, islamic dinar and other available alternative’ in Viability of the Islamic Dinar. Proceeding Conference on Stable and Just Global System. IIUM, Malaysia.

Endnotes
1 Istilah bank konvensional merupakan eufemisme dari inkonsistensi dari para pendukung perbankan syariah untuk mengindari keterusterangan atas sistem ribawi perbankan. Eufemisme ini tentu saja menyesatkan umat Islam.
2 Elaborasi yang cukup memadai tentang perkembangan perbankan syariah lihat Antonio, M Syafi’I (2001).
3 Salah satu bentuk sambutan ini adalah liputan media massa yang sangat antusias atas perkembangan perbankan syariah.Lihat, terutama, pemberitaan HU Republika dan majalah Modal.
4 Buku ini diterbitkan oleh PAID Network, Malaysia, tanpa tahun.
5 Penulis tidak memiliki latar belakang hukum Islam, karenanya tulisan ini tidak berpretensi meninjaunya dari sudut pandang (formalitas) fiqih, melainkan dari aspek material dan substansianya. Tugas para ahli fiqihlah untuk menetapkan hukumnya secara lebih pasti.
6 Ada sedikit ulama, seperti Muhamad Abduh dan Rashid Ridha, berpendapat bahwa bunga bank bukan riba. Tetapi pendapat ini merupakan minoritas dan banyak dikritik, termasuk dari ulama moderat seperti Yusuf Qardhawi. Lihat Qardhawi, Y. (2001).
7 Ekonomi financial mengacu pada perekonomian yang ditopang oleh kegiatan jual beli sekuritas dan ekuitas, jual beli surat utang, obligasi, saham, dan uang kertas. Sedangkan perekonomian yang lain adalah ekonomi riel yang terkait dengan jual beli jasa dan barang. Diskusi tentang ini lihat Kurtzman (1983).
8 Time value of money adalah penghargaan secara materi akan perbedaan waktu. Prinsip ini yang dipakai sebagai pembenaran bunga atau riba.
9 Banyak conoh dapat diberikan tentang situasi selingkuh kepentingan ini. Selain seseorang yang menduduki jabatan rangkap, selingkuh kepentingan, juga mucul dalam apa yang kita kenal sebagai nepotisme, bila seseorang bertindak sebagai pengambil keputusan merekrut pegawai dan di antara yang melamarnya adalah saudaranya.
10 Hubungan ini saya sebut baru karena tidak ada dasar hukum dan dalil fikihnya, selain untuk wadiah amanah. Lihat Antonio (2001) halaman 85-89.
11 Iihat idem, halaman 88.
12 Cikal-bakal pengembangan perbankan syariah adalah ekonom-ekonom di berbagai universitas di Amerika dan Eropa. Lihat Vadillo (1991). Halaman 126