Suara Pembaruan, 3 Maret 1999
IMF, Penolong atau Penjerat?
Jerat Utang IMF?
Oleh Abdul-Razzaq Lubis et al.
Banyak negara, terutama negara berkembang terlilit utang demi proses pembangunan negara. Dengan alihalih peningkatan kesejahteraan rakyat lewat pembangunan tersebut, rupanya tidak tersadari membangun melalui pengutang justru menjerat rakyat ke penderitaan beruntun. Ternyata kini mendekati bukti. Negara yang melakukan pembangunan dengan dana dari berutang, mendekati kebangkrutan. Lalu (untungnya?) disuntik lagi dengan pinjaman baru. Utang pun kian menumpuk. Sementara utang plus bunganya harus segera dilunasi.
Dalam konteks itu, di manakah posisi IMF (International Monetary Fund) yang sebagai lembaga pemberi pinjaman: sebagai penolong atau penjerat?
Buku Jerat Utang IMF? ini secara tegas menjawab persoalan itu bahwa IMF, termasuk Bank Dunia merupakan institusi pemberi pinjaman yang bermuatan riba. Ia jauh dari menghilangkan kesenjangan antara dunia maju dan dunia berkembang. Malah "bantuannya" kepada negara berkembang akan memerosokkan ke dalam utang yang lebih dalam (halaman 157).
Bunga Akumulatif
Mengapa bisa demikian? Karena adanya praktis bunga akumulatif atau riba di atas riba. Yaitu (bila) suatu pinjaman belum bisa dilunasi, lebih banyak lagi bunga ditambahkan pada utang awal yang harus dibayar. Tentu saja utang membesar dan semakin berat. Berpura-pura sebagai penolong, ternyata malah menjerat.
Buku ini ditulis oleh Abdur Razzaq Lubis et. al., yang berkebangsaan Malaysia, Lubis dkk. sesungguhnya dalam buku ini menegaskan penolakan mereka terhadap praktik bunga pinjaman yang selama ini terjadi dalam praktik ekonomi dunia. Menurut dia, sistem moneter global saat ini selalu memberikan kontrol kepada mereka yang menciptakan utang dan menarik bunga (riba), yang akhirnya menjadikan mayoritas utama penduduk dunia terbuka bagi proses memanipulasi dan eksistensi.
Praktik riba juga merupakan kerusakan total dalam ikatan mendasar kemanusiaan. Riba bertentangan secara diametral dengan konsep penghidupan dan bertransaksi masyarakat dalam suatu atmosfer saling percaya, saling peduli dan niat baik. Karena itu menurut Lubis, penghapusan riba atau bunga pinjaman adalah kunci pembuka aspirasi dan potensi sejati umat manusia.
Lubis menggambarkan, hidup sebagai negara pengutang adalah hidup dalam kesengsaraan. Tidak mungkin bagi suatu bangsa yang terbelit utang mampu meningkatkan perekonomian pada suatu angka pertumbuhan yang dapat memungkinkan membayar utangutangnya. (halaman 147).
Karena, hal itu memang sengaja diciptakan sedemikian rupa oleh piutangnya. Di sini para piutang hidup sebagai parasit dan menciptakan modal dari orang lain. Frederick Soddy, seorang pemenang Nobel, seperti dikutip Lubis dalam buku ini, mengatakan dengan jujur bahwa seluruh keuntungan dari pengeluaran (kredit) uang menyediakan modal bagi bisnis perbankan besar (negara donor) hingga seperti yang ada sekarang ini.
Richard J. Barnet dan Ronald E. Muller pun mengatakan bahwa negaranegara miskin (peminjam) telah menjadi sumber modal keuangan (melalui pembayaran bunga utang) bagi ekspansi perusahaan-perusahaan global ke seluruh dunia. Begitulah cara orang Eropa dan Amerika mengumpulkan kekayaan mereka dengan "bahasa sales" demi kemajuan teknologi dan industri (halaman 165).
Karena itu, Lubis mengingatkan agar negaranegara dunia ketiga seharusnya bersikap hatihati terhadap pemberian bermuatan orang asing dan utang bermuatan bunga. Syarat-syarat yang terkuantifikasi dengan rinci, yang dilampirkan pada pinjamanpinjaman bantuan, menandakan adanya hegemoni sistem moneter terhadap negaranegara berdaulat di dunia ketiga (halaman 157).
Ketika suatu bangsa melakukan kontrak bantuan penuh, negara itu benarbenar tidak mungkin meraih kembali posisi untuk menentukan nasib sendiri. Sebab, sekali suatu pemerintahan menggadaikan seluruh pendapatannya, ia pasti akan tenggelam menjadi negara lesu, lamban dan impoten. Bantuan, bukannya membantu mengembangkan negara untuk maju, melainkan malah menghasilkan kondisi terbelakang. Integrasi ke dalam "pasar bebas" tidak hanya menghancurkan bentukbentuk aktivitas ekonomi yang sudah ada, juga membawa kepada kemiskinan, kelaparan dan kekurangan gizi pada tingkat yang tak pernah disaksikan sebelumnya (halaman 159160).
Lingkaran Utang
Kini menurut Lubis, ketika seluruh dunia terjebak dalam lingkaran utang, kaum monetaris berpurapura menyelamatkan manusia dari masyarakat termonetisasi. Yaitu dengan mengganti sistem uang kertas yang tidak lagi diperlukan dengan suatu masyarakat tanpa utang kontan.
Inilah, sindir Lubis, versi baru tanda pengenal budak yang dipasang di setiap bayi yang baru lahir, yang menandainya sebagai budak One World Establishment yang disingkat OWE (utang).
Inilah, sindir Lubis, versi baru tanda pengenal budak yang dipasang di setiap bayi yang baru lahir, yang menandainya sebagai budak One World Establishment yang disingkat OWE (utang).
Dengan demikian Lubis sampai pada suatu kesimpulan bahwa segala bentuk persoalan kemanusiaan berskala global saat initermasuk krisis ekonomiberawal dari pemberlakuan ekonomi riba atau bunga utang. Karena itu, Lubis mengingatkan, selama dunia masih berada di bawah tirani bunga utang, kebebasan manusia, keadilan sosial dan eksistensi yang seimbang akan terus menghindari kita.
Karena itu, harap Lubis, kita harus menghujat bunga utang, menghapus ekonomi bunga utang dan menggantinya dengan ekonomi bebas bunga. Sehingga, pinjaman tidak akan lagi menjerat. Berbeda dengan bentuk pinjaman IMF selama ini.
Akhirnya, buku yang ditulis Abdur Razzaq Lubis dkk ini, seperti dikatakan Zaim Saidi dalam pengantarnya, memang mulai menggulirkan pilihan lain kepada kita secara radikal (halaman xxx).
Seperti diakui Lubis dalam epilognya, sebagai awal dari perang melawan suatu sistem satu dunia (yang bunga utang sebagai andalannya untuk "menjerat leher" pengutang) (halaman 198). "Akankah kita menanggapinya dengan serius? Ataukah kita anggap Lubis dkk sebagai kaum utopis yang hendak memutar balik arah jarum sejarah?" tanya Zaim Saidi dalam akhir pengantarnya.
Bagaimana pun, buku yang terdiri atas 8 tulisan plus prolog dan epilog ini sangat menarik untuk disimak. Sekaligus sebagai pelajaran berharga bagi pemimpin bangsa kita.
Sufandi Maruih.