Saturday, July 21, 2007

Mengenang Harun Nasution

Mengenang Harun Nasution; “Untuk Perjuangan Di Tanah Air”

Sepanjang hayatnya, ia dedikasikan dirinya pada dunia ilmu. Gagasan dan pemikirannya terasa mencerahkan kehidupan berbangsa dan beragama. Ia juga dinilai cukup berani dalam hal pemikiran keagamaan. Di bidang akademis, dia terbilang sukses, terutama dalam meletakkan dasar-dasar pemahaman yang baru tentang keislaman di kalangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia maupun dikalangan masyarakat luas.

Profesor Harun Nasution, sosok pemikir yang dikenal luas, di dalam maupun luar negeri itu. Dilahirkan di Pematangsiantar, Sumatra Utara, 23 September 1919, sejak kecil Harun dikenal gemar mendalami ilmu. Otaknya tergolong encer. Sementara semangatnya mencari ilmu menjadi spirit utama hidupnya. Bahkan di usianya yang setengah abad, ia belum punya rumah justru karena kecintaannya mendalami ilmu di negeri orang. Besar di Pematangsiantar, guru besar filsafat Islam ini adalah putra keempat Abdul Jabbar Ahmad, ulama, pedagang, hakim sekaligus penghulu di kota itu. Ibunya adalah seorang keturunan ulama Mandailing, Tapanuli Selatan, menguasai bahasa Arab karena pernah bermukim di Makkah.

Karena pengaruh komunis semakin kuat di Indonesia, Harun yang antikomunis memutuskan untuk keluar dari kedutaan. Untuk kedua kalinya, ia ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Harun memilih belajar di lembaga Ad-Dirasat al-Islamiyah (1960). Studinya di Mesir, lagi-lagi, tidak dapat diteruskan akibat kekurangan biaya. Ketika itulah ia menerima tawaran dari Prof Rasjidi --orang yang kemudian menjadi partner polemiknya di bidang pembaharuan dan pemikiran Islam-- untuk menerima beasiswa dari Institute of Islamic Studies McGill, Montreal, Kanada.

Pada 1965, Harun memperoleh gelar Magister dari universitas tersebut dengan judul tesis yang masih dekat dengan sejarah tanah airnya: The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Movement for Its Creation and the Theory of the Masjumi. Tiga tahun berikutnya (1968), ia memperoleh gelar Doktor (PhD) dalam bidang studi Islam pada universitas yang sama, dengan disertasi The Place of Reason in 'Abduh's Theology: Its Impact on His Theological System and Views. Setahun kemudian (1969), ia kembali ke Indonesia. Berbagai jabatan pernah ia pegang, baik akademis maupun pemerintahan.

Dari segi pemikiran, gagasan Prof Harun tak lepas dari petualangan panjangnya. Yang paling menonjol tentu saat ia menuntut ilmu di Makkah dan Mesir. Di kedua negeri inilah, ia terkagum dengan pemikiran tokoh dan pembaru Muhammad Abduh, terutama sekali tentang paham Mu'tazilah yang banyak menganjurkan sikap-sikap qadariah. Di kemudian hari, Harun dikenal sebagai intelektual Muslim yang banyak memperhatikan pembaharuan dalam Islam, meliputi pemikiran teologi, filsafat, mistisisme (tasawuf), dan hukum (fikih) saja, hingga masalah segi kehidupan kaum Muslim. Ada dua obsesi Harun yang paling menonjol. Pertama, bagaimana membawa umat Islam Indonesia ke arah rasionalitas. Kedua, terkait dengan yang pertama, bagaimana agar di kalangan umat Islam Indonesia tumbuh pengakuan atas kapasitas manusia qadariah.

Harun sering menyatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah akibat dominasi Asy'arisme yang sangat bersifat Jabariah (terlalu menyerah pada takdir). Untuk itu, dalam berbagai tulisannya Harun selalu menghubungkan akal dengan wahyu, dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan Alquran yang demikian penting dan bebas. Harun memang sangat tersosialisasi dalam tradisi intelektual dan akademis kosmopolitan (Barat).

Tapi, sesungguhnya hampir sepenuhnya dia mewarisi dasar-dasar pemikiran Islam abad pertengahan. Penguasaannya yang mendalam terhadap pemikiran-pemikiran para filsuf Islam, termasuk pengetahuannya yang luas terhadap dunia tasawuf, membuat ia dapat merumuskan konsep yang akurat tentang terapinya untuk membangun masyarakat Muslim Indonesia. Ia selalu mengatakan bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap-luap, tapi harus berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofis terhadap agama Islam itu sendiri.

Semua itu dia buktikan dengan mewujudkan tiga langkah, yang kerap disebut sebagai ''Gebrakan Harun''. Gebrakan itu diantaranya, dia meletakkan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam. Menurutnya, dalam Islam terdapat dua kelompok ajaran. Ajaran pertama bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah. Ajaran yang terdapat dalam Alquran dan Hadis mutawatir berada dalam kelompok ini. Kedua, bersifat absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah. Ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama berada dalam kelompok ini. Dalam ajaran Islam, lanjutnya seperti ditulis dalam Islam Rasional (Mizan), yang maksum atau terpelihara dari kesalahan hanyalah Nabi Muhammad SAW. Karena itu, kebenaran hasil ijtihad para ulama bersifat relatif dan bisa direformasi.

Menurutnya, kedinamisan suatu agama justru ditentukan oleh sedikit banyaknya kelompok pertama itu. Semakin sedikit kelompok ajaran pertama, semakin lincahlah agama tersebut menghadapi tantangan zaman dan sebaliknya. Kenyataannya, kata Harun, jumlah pertama sedikit.

Berbagai gagasan Harun yang dikenal amat menjunjung tinggi rasionalitas dan metode ilmiah itu, tak sedikit kalangan menuduhnya sebagai pelopor gerakan mu'tazilah dan salah seorang penyokong sekularisme di Indonesia. Ini jelas terlihat dari karyanya berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Toh demikian, Harun tetap melaju membumikan Islam.

Obsesi Harun kepada Mu'tazilah mempunyai relevansi terhadap dua hal. Pertama, rasionalitas, sebab dampak dari etos kerasionalan itu ialah pembukaan yang mempunyai efek pembebasan. Kedua, pengakuan atas kapasitas manusia qadariah. Kemunduran kaum Muslim, kata Harun, salah satunya lantaran dominasi Asy'ariyah yang Jabbari. Betapapun, Harun telah menanamkan fondasi Islam modern Indonesia. Perjuangan panjangnya itu berakhir pada 18 September 1998, ketika Sang Khaliq memanggilnya untuk selama-lamanya. • Ugi”

http://filosof.blog.m3-access.com/posts/3303_Mengenang-Harun-Nasution-Untuk-Perjuangan-Di-Tanah-Air.html