Sunday, July 22, 2007

Jaffar Lubis, Melestarikan Tanpa Memaikan


Foto Arbain Rambey
Jaffar Lubis, Melestarikan Tanpa Memainkan

MENURUT etnomusikolog dari Universitas Sumatera Utara, Irwansyah Harahap, alat musik perkusi terbesar di dunia adalah gordang sembilan milik masyarakat Mandailing di Sumatera Utara (Sumut) bagian selatan. Dengan jumlahnya yang sembilan buah dan dengan gordang terbesar sepanjang sekitar dua meter, sungguh alat musik ini memang besar. Empat orang dibutuhkan untuk memainkannya.

Namun, saat ini, di tengah merajalelanya musik pop, gordang sembilan, seperti juga alat musik tradisional lain, makin tergeser perannya. Selain itu, makin sedikit pula orang yang bisa membuatnya. Di antara yang sedikit itu, tersebutlah sebuah nama: Jaffar Lubis.

Dijumpai Kompas di Desa Manambin, Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut, Jaffar Lubis terlihat sedang mengerjakan satu perangkat gordang sembilan di halaman rumahnya. Pria yang kurus tinggi ini namanya memang sering disebut di Mandailing kalau lagi membicarakan masalah gordang sembilan. Beberapa buatannya sudah sampai di luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura. Bupati Madina pun memesan kepadanya untuk kepentingan koleksi kabupaten.

"Saya bisa membuat gordang sembilan secara otodidak. Tetapi, saya pun tidak bisa memainkannya sama sekali," kata Jaffar Lubis.

TERNYATA masalah memainkan dan membuat tidaklah harus seiring sejalan. Gordang sembilan dalam sejarahnya memang tidak bisa dimainkan sembarang orang. Ada upacara tertentu untuk membuka selubungnya, untuk lalu dimainkan dalam perayaan-perayaan besar.

"Saya tinggal di Manambin bagian bawah. Gordang desa ada di Manambin atas. Jadi, sejak kecil saya memang tidak punya kesempatan untuk memainkan gordang yang ada di depan balai desa," kata Jaffar Lubis, menjelaskan ketidakbisaannya memainkan gordang sembilan.

Namun, Jaffar Lubis, yang mulanya magang pada temannya dalam membuat gordang, akhirnya justru menjadi maestro pembuat yang selalu dicari. Sudah dua puluh tahun pria kelahiran 26 Januari 1960 ini berkecimpung dalam pembuatan gordang, dan dalam rentang itu sudah belasan alat musik ini dihasilkannya.

Bagi Jaffar Lubis, membuat gordang adalah menciptakan sebuah karya yang akan dinikmati banyak orang. Adalah kebanggaan besar bagi dirinya kalau dalam sebuah upacara besar karyanya dipakai dan para hadirin hanyut dalam indahnya suara gordang buatannya itu.

"Kebahagiaan saya kalau orang senang dengan suara gordang buatan saya. Uang menjadi tidak berarti lagi," kata suami Barinjen Daulay ini.

Untuk satu perangkat gordang sembilan dengan ukuran normal, JaffarLubis meminta upah lima juta rupiah. Barang harus diambil sendiri ke Manambin, karena dia memang tidak menerima jasa antar. Kata "ukuran normal" ini perlu ditekankan, sebab kini mulai terjadi aksi jor-joran dalam ukuran gordang sembilan.

"Ada beberapa orang yang ingin memesan gordang sembilan dengan ukuran yang lebih besar dari milik bupati dengan alasan gengsi. Padahal, ukuran yang terlalu besar membuat suara gordang buruk," katanya.

SEBUAH set gordang sembilan dengan ukuran normal, menurut Jaffar Lubis, bisa didapatkan dari sebuah pohon utuh yang panjangnya sekitar 12 meter.

"Dengan diambil dari satu pohon utuh, sebuah gordang punya sifat sama pada kesembilan bagiannya. Bagi saya, sembilan gordang dari satu pohon adalah sebuah kesatuan yang kokoh dan dalam segalanya tidak terpisahkan," tuturnya.

Dari pengalaman Lubis, untuk set terbaik gordang sembilan, gordang terbesarnya berukuran panjang 165 sentimeter, diameter atas 43 sentimeter dan diameter bawah 40 sentimeter. Ukuran selanjutnya dari gordang dua sampai sembilan adalah, 160-40-38, 155-30-35, 150-35-32, 140-32-30, 135-30-28, 130-28-25, 125-25-23, dan 110-22-20.
Dibandingkan dengan harga alat musik modern yang lebih tinggi dari sekadar lima juta rupiah, kerja keras Jaffar Lubis memang jadi tampak tidak dihargai sebagaimana mestinya.

Untuk membuat sebuah perangkat gordang sembilan, hal pertama yang dilakukan Jaffar Lubis adalah "berburu pohon". Ia memerlukan waktu sekitar sebulan keluar masuk hutan untuk mendapatkan pohon yang sesuai. Kayu yang terbaik yang bisa didapatkan di Tanah Mandailing adalah kayu ingol atau surian.

"Tapi, kini makin sulit untuk mendapatkan pohon besar lagi. Terlalu banyak pembabatan hutan," kata ayah lima anak ini.

Tidak seperti di abad lalu, Lubis mengatakan bahwa ia tidak merasa perlu berpuasa atau melakukan upacara tertentu dulu untuk membuat sebuah perangkat gordang sembilan. "Saya natural saja," katanya.

Persiapan terpenting yang dilakukannya adalah memahami benar keinginan pemesan, lalu menyiapkan bekal secukupnya untuk keluar masuk hutan selama sekitar sebulan. Hutan favoritnya dalam mencari kayu untuk gordang adalah Gading Baing yang tidak jauh dari Manambin, desanya.

SETELAH mendapatkan sebuah pohon yang cocok pun bukan berarti separuh tugasnya selesai. Ia harus segera kembali ke kampungnya untuk membawa aneka peralatan yang dibutuhkan guna memotong pohon dan melubangi bagian tengahnya."Kayu harus saya potong-potong dengan panjang yang tepat, lalu saya lubangi tengahnya agar ringan. Semua itu saya kerjakan di tengah hutan yang sering di permukaan tanahnya sangat miring," papar pria yang selalu tersenyum ini.

Pengerjaan di hutan adalah bagian tersulit dalam pembuatan seperangkat gordang sembilan. Selain tempatnya yang sangat tidak sesuai untuk sebuah bengkel kerja, kesalahan di sini sama sekali tidak bisa diperbaiki lagi. Kesalahan memotong panjang sebuah gordang membuat potongan itu lalu menjadi tidak berguna. Akibatnya yang lebih panjang lagi, perangkat gordang itu akhirnya bukan terbuat dari satu pohon yang sama.

"Ada perasaan tidak lengkap di situ," kata Lubis. Itulah sebabnya, bagi dia, pengerjaan awal di hutan adalah bagian terberat dan terpenting pada pembuatan sebuah perangkat gordang sembilan. Ia lalu menceriterakan pengalaman pembuat gordang di masa lalu, yang masih berjumpa harimau sumatera di tengah hutan.

Kerja yang dilakukan di rumah adalah memberi sentuhan terakhir pada gordang, termasuk memasang kulit sapi putih sebagai bagian yang dipukul nantinya."Kulit sapi yang dipakai haruslah kulit pilihan. Saya sudah punya orang yang selalu bisa memberikan kulit terbaik," katanya. Dan, menurut dia, "Kulit yang baik adalah yang tidak terlalu tebal dan juga tidak terlalu tipis. Ada kekeringan tertentu yang harus dicapai saat dipasangkan di badan gordangnya."

AKHIRNYA, hasil akhir sebuah gordang yang baik terletak pada pemainnya juga. Pemain pertama yang memainkan gordang 1, 2, dan 3, yang disebut jangat, sangat berperan pada permainan total. Yang memainkan gordang 4 dan 5 disebut jogo-jogo, pemain gordang 6 dan 7 disebut udong-udong, sedangkan pemain gordang 8 dan 9 disebut tepe-tepe.

"Saya bahagia bisa ikut melestarikan kesenian ini, walau tidak bisa memainkannya," kata Lubis dengan tatapan mata yang berbinar-binar. (ARBAIN RAMBEY)

http://kompas.com/kompas-cetak/0302/28/naper/152548.htm