Sunday, July 15, 2007
Prof Dr Muhammad Yasir Nasution
Jumat, 13 Oktober 2000
Muhammad Yasir Nasution
Cita-cita Santri dari Panyabungan
Kompas/surya makmur nasution
NAMA Prof Dr Muhammad Yasir Nasution (50), tidaklah sepopuler cendekiawan Prof Dr Nurcholish Madjid, Dr Komaruddin Hidayat, atau Prof Dr Azyumardi Azra. Namun, dilihat dari gagasan dan aktivitasnya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara, ia pantas mendapat tempat dan penghargaan sebagai seorang akademisi.
Sebagai seorang guru besar bidang filsafat hukum Islam, Yasir, panggilan akrabnya, menggagas konsep "Ekonomi dan Perbankan Islam". Tentu saja gagasannya menjadi kontroversi di kalangan akademisi di kampusnya. Pemikiran itu bukan saja sebagai hal baru, namun belum pernah terpikirkan sebelumnya. Lagi pula, gagasan itu dinilai berada di luar otoritas atau kajian keilmuan yang dikembangkan IAIN selama ini. Dari empat fakultas di IAIN Sumut (Syariah, Tarbiyah, Ushuluddin, dan Dakwah) tak satu pun yang langsung bersentuhan dengan gagasan tersebut. Apalagi, ia tak ada dasar keilmuan tentang ekonomi.
Sebagai ilmuwan, Yasir yang memperoleh gelar profesor tahun 1991, semula ragu menyampaikan gagasannya. Namun, keraguannya hilang tatkala ahli ekonomi senior dari Universitas Sumatera Utara (USU), seperti Prof Bahauddin Darus, Prof Abdullah Yacub, mendorong dirinya memprakarsai munculnya lembaga kajian ekonomi Islam. Bahkan dukungan pun datang dari ekonom muda Universitas Sumatera Utara (USU), seperti Jhon Tafbu Ritonga MEc dan Sofyan Syafri PhD (kini dosen Universitas Trisakti Jakarta).
Pakar ekonomi USU itu mengakui merindukan satu wadah kajian ekonomi dalam perspektif Islam. Menurut mereka, lembaga yang kompeten dan bisa mendapatkan kepercayaan dari masyarakat adalah IAIN. "Saya pun tertantang," kata Yasir ketika ditemui di rumah dinasnya berukuran 6 meter x 10 meter di kompleks IAIN Sumatera Utara, Jalan Sutomo Ujung, Medan, 2 Oktober.
Bersama Dr Amiur Nurruddin, kini Dekan Fakultas Syariah, ia mendirikan Forum Kajian Ekonomi dan Perbankan Islam (FKEBI) tahun 1990. "Teman-teman di Syariah mengkaji dari sisi konsep muamalat (hubungan sesama manusia-Red) dalam Islam, teman ekonom USU mengeksplorasinya dalam perspektif Ilmu Ekonomi konvensional. Orang IAIN belajar matriks ilmu ekonomi umum, orang USU belajar matriks konsep ekonomi Islam," kata Yasir yang lahir 18 Mei 1950 di Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal (510 kilometer selatan Medan).
Menurut Yasir, konsep ekonomi Islam memiliki perbedaan mendasar dari konsep ekonomi umumnya yaitu dari sisi metodologi, aksiologis, dan juga ontologisnya. Dari sudut metodologi, konsep ekonomi Islam memiliki prinsip nilai yang bisa dikaji secara dinamis. Secara aksiologis, memiliki tujuan dan arah, yaitu kesejahteraan dan keadilan. Sementara dari tinjauan ontologisnya, sistem ekonomi Islam mempunyai tujuan luhur. Dalam konsep Islam, antara pemilik modal dan pekerja diberi penghargaan proporsional atas prestasi kerja sehingga ada kesejajaran. Keberhasilan seseorang dinilai bukan dari dirinya sendiri, melainkan banyak faktor.
"Itu semuanya beranjak dari konsep Islam yang memandang manusia secara integral, yaitu secara material, spiritual, sosial, dan lainnya," ungkap alumnus S2 dan S3 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara dalam konsep ekonomi Barat, penghargaan cenderung kepada pengusaha sebagai pemilik modal. Semua permasalahan, selalu timbul dulu deviasi baru dicari jalan keluar. Bahkan kesuksesan kerja dominan dinilai dari faktor diri sendiri.
***
UNTUK mewujudkan gagasan itu, FKEBI bekerja sama dengan USU, PT Bank Sumut (dulu Bank Pembangunan Daerah Sumut), membuat Simposium Nasional Pemasyarakatan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Sebelumnya, Yasir mengikuti pertemuan The Third International Conference on Islamic Economy di Kuala Lumpur, Malaysia yang diprakarsai Universitas Islam Antarbangsa (UIA), Malaysia. Hasilnya, Yasir banyak mendapatkan masukan pemikiran, terutama pesatnya perkembangan Bank Islam di Malaysia dengan sistem bagi hasil (mudlarabah, musyarakah).
IAIN melalui FKEBI juga melakukan workshop internasional tentang "ekonomi Islam" bekerja sama dengan Universitas Islam Antarbangsa dan Institut Kesepahaman Islam, Malaysia, tahun 1993. Lalu muncul ide mewujudkan konsep ekonomi Islam secara kelembagaan.
"Atas bantuan teman-teman berdirilah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Puduarta Insani milik IAIN yang lokasinya berada di Tembung, Kecamatan Medan Tembung, tahun 1996. Nasabahnya 40 sampai 50 persen dosen dan pegawai IAIN," kata Pembantu Rektor I IAIN Sumut sejak tahun 1997.
Untuk menjaga kesinambungan gagasannya, tahun 1997, Yasir yang juga anggota pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumut (1992 sampai sekarang), membuat program Diploma III, Manajemen Keuangan dan Perbankan Syariah. Program ini satu-satunya yang dimiliki IAIN di seluruh Indonesia.
Bahkan setelah ia memprakarsai berdirinya program pascasarjana di IAIN Sumut (1994), tahun ajaran tahun 2000 ini membuka program studi Ekonomi Islam melengkapi program studi hanya Dirasah Islamiyah, Pemikiran Islam dan lainnya.
***
SEMASA belajar di Sekolah Rakyat (SR) Negeri I di Panyabungan, Yasir sudah bercita-cita menjadi ahli ekonomi karena melihat nasib ayahnya, H Abdul Baki Nasution, dan ibunya, Siti Arbi, sebagai petani miskin. Yasir tak diizinkan ayahnya (almarhum) melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama (SMP), melainkan dimasukkan ke Pesantren Mustafawiyah, Purbabaru, Mandailing Natal. Harapan ayahnya, ia bisa menjadi ulama atau ahli agama, melanjutkan cita-cita ayahnya sebagai penghafal Al Quran.
"Begitu kuatnya keinginan melanjutkan ke pesantren, oleh ayah, guru-guru di sekolah dipengaruhi agar tak meluluskan saya dari SR. Padahal, prestasi saya bagus," ungkap ayah tiga putri buah perkawinannya dengan Ny H Hasibuan (44).
Semasa di pesantren, penggemar lagu-lagu Umi Kalsum ini bukan cuma belajar agama saja melainkan juga bahasa Inggris. Ia juga menambah wawasan pengetahuan umumnya dengan minta dikirimi koran bekas dari seniornya yang kuliah di Medan, sebulan sekali. Tamat dari pesantren, Yasir melanjutkan kuliah ke Fakultas Syariah IAIN Sumut atas bantuan beasiswa dari Menteri Agama terhadap santri yang memperoleh peringkat satu sampai 10.
Di kampus ia dikenal kritis oleh dosennya. Malah gara-gara ia protes bahwa mahasiswa tak harus pakai peci mengikuti kuliah, ia pernah disuruh pulang oleh dosennya. "Saya pun pulang," kenangnya. Perkenalannya dengan kelompok diskusi Mahasiswa Willem Iskandar (MWI), Medan, membuat dirinya mengenali ilmu-ilmu umum.
Yasir mengakui, Prof Harun Nasution berjasa membuka wawasan pemikirannya tentang Islam, terutama pernyataannya tentang pintu ijtihad dalam Islam belum ditutup dan malah bersifat dinamis.
Kini Yasir yang pernah mengikuti kursus singkat pendidikan manajemen di Institut Manajemen, McGill University, Montreal (1995), terpilih menjadi Rektor IAIN Sumut pada 25 Agustus. Ia meraih 22 suara sedangkan sahabatnya Prof Dr M Ridwan Lubis meraih 12 suara. Dapatkah ia meneruskan impiannya setelah memimpin IAIN Sumut? "Insya Allah jika diberi amanah, saya lebih mudah mewujudkan gagasan-gagasan saya di masa depan. Bagi saya IAIN masa depan adalah IAIN yang memiliki kompetensi standar global," jawabnya. (Surya Makmur Nasution)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0010/13/naper/cita12.htm