Saturday, July 21, 2007

Pintu Rasionalisme Harun Nasution

Pintu Rasionalisme Harun Nasution

Teologi fatalistik adalah biang kemunduran masyarakat muslim. Harun Nasution (1919-1998) menawarkan teologi Mu'tazilah yang rasional sebagai pengganti teologi Asy'ariyah.


Nasib Mu'tazilah, mazhab teologi paling rasional dalam sejarah klasik Islam, bisa diibaratkan mutiara yang tertutup debu. Berharga, tapi tak banyak ulama yang sudi melihat "kemilau" pemikiran kaum rasionalis yang dipelopori Washil bin Attha' pada abad XIII itu. Bahkan, sebagian dari mereka--atas dasar perbedaan pandangan teologis- -menuduh penganut mazhab tersebut kafir dan sesat.

Sikap kurang menyenangkan semacam itu pernah dialami Profesor Harun Nasution,pemikir rasionalis dan penjaja pemikiran Mu'tazilah paling gigih di Indonesia. Harun Nasution, lelaki asal Mandailing, Sumatra Utara, yang mendapatkan gelar doktornya di Universitas McGill, Kanada, tahun 1968, meninggal dalam usia 79 tahun, akhir bulan lalu. Ia menulis tesis tentang pemikiran Muhammad Abduh, ulama modernis asal Mesir.

Dalam sebuah pertemuan ulama, Muhammad Hatta, mantan wakil presiden RI, pernah bertanya kepada Harun tentang tesisnya. "Mengapa tidak dipublikasikan saja?" tanya Bung Hatta waktu itu. Sebagai jawaban, Harun mengatakan, ia takut akan reaksi negatif dari sebagian umat Islam.

Ternyata dugaannya tak meleset. Ketika Harun mengungkapkan kesimpulannya dalam pembicaraan itu, bahwa Abduh seorang penganut Mu'tazilah, seorang tokoh Islam yang berada di dekat Harun dan Bung Hatta berkomentar, "Naudzubillah," ungkapan yang menyiratkan ketidaksukaan terhadap Mu'tazilah.

Bahkan, di kesempatan lain, cendekiawan Islam, Prof. Dr.H.M. Rasjidi, pernah mengecam pemikiran Harun, yang menurut dia dipengaruhi cara berpikir kaum orientalis.

Memang kaum Mu'tazilah, menurut cendekiawan Fazlur Rahman, guru besar studi Islam di Universitas Chicago, AS, telah membawa rasionalitas demikian jauh dengan menyejajarkan kemampuan akal dengan wahyu dalam menemukan kebenaran agama. Pemikiran Mu'tazilah, dalam konteks waktu itu, dianggap melampaui zamannya.

Beberapa tema pokok mazhab tersebut--seperti rasio disejajarkan dengan wahyu, manusia memiliki otoritas penuh atas perbuatannya, dan takdir Tuhan adalah final dengan diciptakannya sunatullah (hukum alam)-- cukup mempengaruhi cara pandang intelektual muslim hingga kini.

Harun, yang pernah menjadi Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, adalah salah satu pemikir yang berhasil membersihkan "debu" mutiara itu. Menurut Harun, teologi Mu'tazilah adalah embrio teologi rasional dan teologi liberal dalam Islam --dua aspek yang menurut pemikir terkemuka dari IAIN ini relevan untuk masyarakat modern.

Pemikiran ini berbeda dengan teologi fatalistik ala Asy'ariyah, mazhab teologi varian Jabbariyah, yang selama ini membentuk masyarakat tradisional. Menurut Harun, untuk memodernisasi umat, teologi Asy'ariyah harus diganti dengan teologi Mu'tazilah. Teologi yang fatalistik adalah biang kemunduran masyarakat muslim bagi Harun.

Implikasi dari teologi rasional, seperti diperlihatkan pemikiran-pemikiran Harun, memang tampak moderat, lebih terbuka terhadap peradaban dan kebudayaan lain, dan tak terjebak pada satu mazhab (desakralisasi mazhab). Namun, bedanya dengan rasionalisme dan liberalisme, dua narasi besar yang menjadi landasan peradaban sekuler Barat, menurut Dr. Komaruddin Hidayat dari Yayasan Paramadina, Jakarta, rasionalisme Islam tak sampai meninggalkan wahyu sebagai instrumen kebenaran.

"Seekstrem-ekstremnya pemikir Islam, wahyu tetap sebagai sumber utama. Hanya, ruang untuk akal diperluas serta penafsirannya lebih kontekstual dan liberal," kata Komaruddin. Itu juga yang terjadi pada Harun, yang mendesakralisasi mazhab-mazhab fikih tapi tak meninggalkan tasawuf.

Dalam bahasa Nurcholish Madjid, seperti termuat dalam buku Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam--70 Tahun Harun Nasution, Harun adalah "pembuka" pintu dalam mendekati wahyu secara rasional. "Sebuah langkah dari ribuan langkah yang memang harus ditempuh," kata Nurcholish.

Kelik M. Nugroho, Ardi Bramantyo

http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?p=2064&sid=90e3797e4891e32cf6267a4985e46c5c