Saturday, July 7, 2007


Abdur Razzaq Lubis
Rabu, 3 Oktober 2001

Abdur Razzaq Lubis
Kerinduan Mandailing dari Tanah Seberang

Kompas/arbain rambey

TERNYATA banyak sekali orang Mandailing yang pernah dan masih menduduki jabatan penting di negara tetangga kita Malaysia. Beberapa di antaranya adalah Datuk Harun Harahap yang pernah menjabat sebagai Menteri Besar, Tan Sri Muhammad Taib Nasution yang Gubernur Selangor, Tun Mohammad Hanif Nasution yang pernah menjabat sebagai Ketua Polis Diraja Malaysia (semacam Kepala Polri), dan Tun Daim Batubara yang pernah menjabat Menteri Keuangan.

"Masih banyak lagi orang Mandailing yang memegang peran penting di Malaysia, namun tidak terlacak karena tidak memasang nama marga di belakang namanya," kata Abdur Razzaq Lubis, seorang Mandailing yang kini menjalankan situs www.mandailing.org dari Penang, Malaysia.

Bagi Abdur Razzaq Lubis, persoalan Mandailing atau bukan Mandailing adalah persoalan jati diri. Di Indonesia, Mandailing dimasukkan dalam kelompok etnis Batak alias disebut Batak Mandailing. Sedangkan di Malaysia, orang Mandailing dianggap sebagai sub etnis Melayu alias dianggap Melayu Mandailing yang dalam lafal Malaysia disebut Melayu Mendeleng.

"Kami orang Mandailing bukanlah Batak dan juga bukan Melayu. Kami punya perbedaan banyak dalam hal budaya dan lain-lain. Tolong dicatat ini," kata Lubis di kantornya yang sangat asri di George Town, Penang, Malaysia, akhir September lalu. Kantor Lubis di Armenian Street ini, dulu adalah Kantor Dr Sun Yat Sen, tokoh nasional Cina saat menyusun berbagai rencana.

Dari telaah yang telah dilakukan Lubis di berbagai museum dan berbagai perpustakaan, didapatlah fakta-fakta. Pendefinisian Mandailing ke dalam etnis Batak dilakukan pemerintah kolonial Belanda semata untuk membuat "batas" antara kelompok Muslim Minang dan Muslim Aceh.

Pada daerah "batas" ini, Belanda memberikan nama Batakland sehingga otomatis etnis-etnis di wilayah itu disebut orang Batak, termasuk orang Karo, orang Pakpak dan orang Angkola.

Sampai sekarang, Lubis masih terus memperdalam telaahnya tentang perbatakan dan permandailingan ini dari berbagai sumber. Sayangnya, literatur lama tentang Mandailing memang sangat sulit diperoleh, sementara biaya untuk melakukan itu tidaklah kecil.

Untunglah The Nippon Foundation mau menolong Lubis membiayai penelitiannya yang berjudul The Politics of Identity Construction: The Case of the Mandailing People.

***

PADA zaman globalisasi ini, berbicara mengenai etnis tampaknya memang seperti mundur ke belakang beberapa langkah. Abdur Razzaq Lubis sendiri sering mendapat tudingan itu atas penggalakan soal Mandailing ini di Malaysia.

"Justru di zaman globaliasasi ini masalah penemuan jati diri menjadi penting. Orang yang belum tahu siapa dirinya, akan larut dalam globalisasi dan menjadi bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa," kata aktivis dakwah dan juga lingkungan ini.

Di Malaysia, banyak keturunan Mandailing yang sudah menanggalkan nama marganya. Dalam penelitian Lubis, ada dua hal yang mendasari hal itu. Hal pertama adalah keinginan untuk tampak menjadi murni orang Melayu karena pengaruh lingkungan, dan hal kedua adalah untuk pelarian.

Pada masa perang kemerdekaan Indonesia, banyak orang Mandailing aktivis kemerdekaan yang lari dari kejaran Belanda ke Malaysia. Mereka menanggalkan nama marganya agar tidak terlacak lagi. Salah satu di antaranya adalah Kamaludin Nasution yang lari ke Malaysia tahun 1932. Nasution ini lalu berganti nama menjadi Abdurrahman Rahim yang menjadi wartawan cukup terkenal di Malaysia pada era tahun 1960-an.

Dalam buletin Mandailing terbitan Malaysia tahun 1996, terdapat sebuah tulisan menarik. Isi tulisan itu adalah tentang mantan Wapres Indonesia Adam Malik yang ternyata juga punya hubungan erat dengan Malaysia. Adam Malik yang bermarga Batubara ini disebutkan sebenarnya kelahiran Chemor, Perak, Malaysia.

***

LUBIS memang sangat getol dengan permandailingan. Hampir segenap pembicaraan dengannya pasti diisi dengan pemikiran Mandailing. Namun, untuk menunjukkan bahwa dirinya bukanlah orang yang picik memandang kesukuan, Abdur Razzaq memaparkan fakta bahwa istrinya bukanlah orang Mandailing.

"Istri saya adalah orang Tionghoa dari marga Khoo walau sudah dimandailingkan dengan nama baru Khoo Salma Nasution," kata ayah Namora Hadi Lubis, Norma Hasya Lubis dan si bungsu Maga Hayyan Lubis.

Usaha Razzaq dalam menggali kemandailingan sangatlah besar. Mengingat ia hanyalah keturunan ketujuh dari marga Lubis yang datang ke Malaysia zaman Perang Padri di abad ke-19, Abdur Razzaq menyempatkan diri mengujungi Tanah Mandailing di Tapanuli Selatan beberapa waktu lalu, juga menjalin kontak secara teratur dengan cendekiawan Mandailing di Indonesia.

"Segala yang saya tahu tentang Mandailing saya usahakan untuk juga diketahui orang lain. Demikian pula sebaliknya. Saya selalu senang berbagi dan menggali ilmu, apa pun," kata pria kelahiran George Town, Penang, 12 Agustus 1959 ini.

Salah satu makalahnya yang dibawakannya pada seminar antropologi di Padang, Sumbar, bulan Juli lalu yang berjudul The Transformation of Traditional Mandailing Leadership in Malaysia and Indonesia in the Age of Globalization sangat banyak mendapat sambutan dari berbagai disiplin ilmu.

Selain itu, benak Abdur Razzaq Lubis amatlah banyak isinya, bukan melulu kemandailingan. Selain juga aktif dalam hal pelestarian budaya dengan menjadi perwakilan Malaysia untuk Badan Warisan Sumatera (BWS), Lubis juga aktif pada kegiatan keagamaan, hubungan antar-agama, dan juga lingkungan.

Pada Maret-April 1995, Lubis adalah wakil dari agama Islam untuk sebuah deklarasi internasional tentang kepercayaan dan lingkungan yang ditandatangani semua perwakilan agama di Ohito, Jepang. Deklarasi yang hampir senada juga ditandatangani Lubis sebulan kemudian di Istana Windsor, Inggris.

***

DALAM kancah lain, Lubis aktif di People Against Interest Debt (PAID), sebuah lembaga nonpemerintah yang berkedudukan di Penang.

Pemikiran Lubis tentang riba ini banyak yang menjadi pembicaraan, termasuk di Indonesia. Salah satu pemikirannya yang cukup kontroversial adalah soal penggunaan kembali uang emas dan perak pada negara-negara Islam juga sudah diseminarkan beberapa kali di Jakarta, termasuk sudah dibukukan.

"Saat ini ekonomi negara-negara berkembang sangat dikuasai negara Barat, sementara krisis ekonomi melanda mana pun. Mengapa? Ini karena uang kertas yang saat ini kita pakai. Uang kertas adalah uang utang," kata Lubis berapi-api.

Lebih jauh, Lubis menjelaskan uang kertas adalah selembar "surat" yang menyatakan utang, artinya ia adalah simbol dari sesuatu yang senilai dengan angka tercantum pada uang kertas. Menurutnya, uang kertas kini sangat manipulatif, bisa dicetak berjuta-juta lembar tanpa merujuk kepada sesuatu yang nyata.

Kembali ke kancah pemakaian uang emas dan perak yang sudah dirintis pada setiap Festival Karpet di Dubai, UEA, Lubis yakin kalau satu milyar penduduk Muslim dunia mau memakai kembali uang dinar dan dirham, sebuah keseimbangan ekonomi baru bisa tercipta. dollar AS tidak akan terlalu mendikte pasar lagi.

"Pendeknya, sangat banyak kehancuran dunia ini yang disebabkan oleh riba. Jangan salah. Riba itu ada 77 jenis, di antaranya korupsi dan manipulasi. Ini harus kita perangi," kata Lubis.

(Arbain Rambey, dari Penang, Malaysia )