Wednesday, September 19, 2007

Saat "Setan Keuangan" Manguasai Dunia


RESENSI

Judul Buku : Satanic Finance, True Conspiracies
Penulis : A. Riawan Amin
Penerbit : Celestial Publishing
Cetakan I : April, 2007
Tebal : xvi + 150 halaman

Saat “Setan Keuangan” Menguasai Dunia
Oleh: Emil W. Aulia

JELAS ada yang tidak beres dengan dunia kita saat ini. Hari ke hari, jumlah orang miskin terus bertambah. Kota dan desa dipadati para penganggur sementara pabrik dan industri di sekitar mereka terus berproduksi, mengeksploitasi kekayaan bumi. Ironis, ada daerah yang kaya sumber daya alam namun penduduk di sekitarnya kurang gizi bahkan kelaparan.

Sejumlah usaha telah dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Pelbagai kebijakan ekonomi dan proyek pengentasan kemiskinan diluncurkan namun tidak satupun yang benar-benar berhasil saat diterapkan. Jauh panggang dari api. Dunia, masyarakat kita, terus terperosok dalam krisis ekonomi, politik, sosial, dan lingkungan.

Sementara itu, inflasi kian memperburuk keadaan. Nilai uang merosot, harga barang dan jasa melambung. Otoritas moneter berjuang menekan laju inflasi namun secanggih apapun pendekatannya, akar inflasi tak pernah sungguh-sungguh bisa dihancurkan. Benar kiranya Robert Mundell. Dunia saat ini, kata peraih nobel ekonomi itu, memasuki apa yang disebut rejim inflasi permanen.

Kenapa tak satupun tindakan yang benar-benar mampu mengubah keadaan? Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia, A. Riawan Amin punya pandangan tak biasa. Bankir bank syariah terbesar di Indonesia itu berpendapat, semua itu terjadi karena sistem ekonomi yang kita gunakan saat ini mengandung cacat laten. Walhasil, apapun kebijakan yang dilahirkannya, –dengan segala turunannya-- sama sekali tidak akan mampu memperbaiki keadaan.

Pandangan Riawan itu terbentang dalam buku terbarunya, Satanic Finance, True Conspiracies. Membaca buku Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia ini sungguh menyentak kesadaran sebab ia meruntuhkan pelbagai teori dan praktik keuangan moderen yang selama ini kita anggap benar dan final. Sistem ekonomi moderen adalah “sistem setan”, demikian istilah yang dikenalkannya. Sistem itu hidup karena ditopang Three Pilars of Evil (tiga pilar setan). Pertama, fiat money –uang kertas. Kedua, fractional reserve requirement --cadangan wajib bank. Ketiga, interest –bunga.

Mari menyigi satu persatu. Berapa banyak di antara kita menerima begitu saja penggunaan uang kertas. Riawan menyingkap, dibalik pembuatan uang kertas terdapat muslihat. Uang kertas diciptakan dari ketiadaan karena penerbitannya tidak disokong emas atau perak. Itulah makna fiat money. Uang kertas bernilai --persisnya dianggap bernilai-- hanya karena diberi cetakan angka oleh otoritas moneter yang menerbitkannya. Selebihnya, uang kertas hanya lembaran kertas biasa, tak berbeda dengan kertas cetakan lainnya Disebabkan terbuat dari ketiadaan, maka fiat money juga rentan spekulasi. Saat penciptaannya melebihi jumlah barang dan jasa yang bisa diproduksi maka inflasipun terjadi.

Melalui fiat money pula, kolonialisasi moderen dijalankan. Tidak perlu serangan militer untuk menguasai negara lain. Negara yang punya mata uang kuat, bisa membuat negara yang mata uangnya lemah, bertekuk lutut. Uang kertas dolar Amerika Serikat (AS), sebut buku ini adalah contoh nyata bagaimana AS mudah menjajah dunia. Penerapan sistem uang kertas, memungkinkan AS mempermainkan nilai mata uang negara-negara ketiga yang bersandar kepadanya. Penerapan uang kertas dalam sistem keuangan dunia adalah konspirasi.

Pilar kedua, fractional reserve requirement (FRR) --kebijakan yang menempatkan bank sebagai pihak yang leluasa mengucurkan pinjaman (kredit) kepada deposan. Disini, bank, termasuk bank sentral, ikut mencetak fiat money lalu menggandakannya. Pilar kedua ini bertemali dengan pilar ketiga; interest (bunga) –praktik lumrah berikutnya dalam perbankan.

Bank memungut bunga karena beberapa alasan: biaya servis atas transaksi pinjaman (utang) atau kompensasi mendapatkan hasil produktif bila uang tersebut diinvestasikan dalam bentuk lain. Apapun alasannya, Taurat, Injil dan Al Quran melarang memungut bunga karena hal itu tergolong riba. Seluruh kitab agama langit sepakat, mengambil riba (bunga) menyebabkan pelbagai kerusakan. Dalam praktiknya, bunga menuntut tercapainya pertumbuhan ekonomi yang terus menerus, kendati kondisi ekonomi aktual sudah jenuh dan konstan. Bunga mendorong persaingan di antara para pemain dalam ekonomi. Bunga memosisikan kesejahteraan pada segelintir minoritas dengan memajaki kaum mayoritas. (hal. 48).

Tidak sekedar menyingkap borok satanic finance, Riawan memberi solusi menghadapinya yaitu tinggalkan riba dan kembali pada mata uang dinar emas dan dirham perak. Riawan yakin, dengan melakukan dua hal ini maka “tiga pilar setan” akan runtuh dengan sendirinya. (hal. 112).

Dinar adalah koin emas murni seberat 4,25 gram; dirham adalah koin perak seberat 3 gram. Keduanya patut dijadikan mata uang alternatif pengganti fiat money. Dinar-dirham bernilai ril karena terbuat dari logam mulia (commodity currency). Ini berbeda dengan uang kertas yang hakikatnya tak lebih dari kertas cetakan belaka, nihil karena tak mewakili nilai emas atau perak. Potonglah sekeping dinar emas menjadi bagian-bagian kecil, seluruh bagiannya tetap berharga namun guntinglah selembar uang kertas maka ia sama sekali tak akan berguna.

Disebabkan kandungannya, dinar dan dirham lebih stabil nilainya ketimbang fiat money. Sejarah menunjukkan, dinar tak mengenal inflasi sementara fiat money adalah biangnya inflasi. Tidak heran bila banyak kalangan menyebut dinar-dirham sebagai mata uang surga (the heavens currency). Maksudnya, bukan mata uang yang digunakan di surga melainkan sebagai penjaga keadilan yang menjadi salah satu ciri penghuni surga (hal. 107).

Dinar-dirham hanya sekadar nama. Esensinya, keduanya adalah logam berharga: emas dan perak. Sejarah menunjukkan, ribuan tahun peradaban manusia menempatkan emas dan perak sebagai alat moneter. Koin emas pertama kali digunakan 500 tahun sebelum masehi tatkala Raja Croesus berkuasa hingga ke era Julius Caesar dan Kaisar Nero. Dinar sendiri dikenal sebagai mata uang Byzantium dan dirham dari Persia. Belakangan, Nabi Muhammad SAW mengakuinya sebagai mata uang. Koin emas dan perak terakhir digunakan sebagai mata uang pada tahun 1924 seiring jatuhnya Kekhalifahan Osmaniah di Turki.

Pamor dinar yang meredup selama lebih setengah abad, kembali dihidupkan oleh Syeikh Dr Abdalqadir as-Sufi. Pertengahan Agustus 1991, tokoh sufi di Eropa itu mengeluarkan fatwa haram penggunaan uang kertas sebagai alat tukar. Dinar-dirham dicetak kembali oleh Islamic Mint Spanyol tahun 1992 di bawah kewenangan World Islamic Trade Organization (WITO).

Tidak seperti buku ekonomi yang umumnya terkesan berat, membaca buku ini justru enteng. Dengan bahasa yang ringan, Riawan merangkai semua gagasannya melalui kisah suku Sukus dan Tukus yang hidup di pulau imajiner bernama Pulau Aya dan Pulau Baya. Melalui kisah mereka, alumnus Institut Teknologi New York dan Universitas Texas, AS itu mengajak pembaca menjelajahi sistem satanic finance, siapa koleganya, bagaimana trik dan dogmanya. Riawan menunjukkan dengan cemerlang, penerimaan kita pada uang kertas dan riba adalah biang pelbagai kerusakan ekonomi yang diiringi krisis kemanusiaan lainnya.

Sepanjang penceritaannya, penulis buku laris The Celestial Management itu menghidupkan sosok setan sebagai tukang cerita. Lewat sudut pandang tokoh terkutuk inilah, Riawan membentangkan data seputar carut-marut satanic finance. Usai membaca buku ini, kita dihadapkan pada dua pilihan: berdamai dengan sistem keuangan yang berlaku sekarang dengan segala bencana yang ditimbulkannya atau memilih aturan baru yang sama sekali berbeda untuk menyelamatkan keadaan. Buku yang ditulis Director International Islamic Financial Market ini patut dibaca bagi siapapun yang menginginkan pilihan kedua. ***

Emil W. Aulia, peminat kajian numismatika