Sunday, July 22, 2007

Jaffar Lubis, Melestarikan Tanpa Memaikan


Foto Arbain Rambey
Jaffar Lubis, Melestarikan Tanpa Memainkan

MENURUT etnomusikolog dari Universitas Sumatera Utara, Irwansyah Harahap, alat musik perkusi terbesar di dunia adalah gordang sembilan milik masyarakat Mandailing di Sumatera Utara (Sumut) bagian selatan. Dengan jumlahnya yang sembilan buah dan dengan gordang terbesar sepanjang sekitar dua meter, sungguh alat musik ini memang besar. Empat orang dibutuhkan untuk memainkannya.

Namun, saat ini, di tengah merajalelanya musik pop, gordang sembilan, seperti juga alat musik tradisional lain, makin tergeser perannya. Selain itu, makin sedikit pula orang yang bisa membuatnya. Di antara yang sedikit itu, tersebutlah sebuah nama: Jaffar Lubis.

Dijumpai Kompas di Desa Manambin, Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut, Jaffar Lubis terlihat sedang mengerjakan satu perangkat gordang sembilan di halaman rumahnya. Pria yang kurus tinggi ini namanya memang sering disebut di Mandailing kalau lagi membicarakan masalah gordang sembilan. Beberapa buatannya sudah sampai di luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura. Bupati Madina pun memesan kepadanya untuk kepentingan koleksi kabupaten.

"Saya bisa membuat gordang sembilan secara otodidak. Tetapi, saya pun tidak bisa memainkannya sama sekali," kata Jaffar Lubis.

TERNYATA masalah memainkan dan membuat tidaklah harus seiring sejalan. Gordang sembilan dalam sejarahnya memang tidak bisa dimainkan sembarang orang. Ada upacara tertentu untuk membuka selubungnya, untuk lalu dimainkan dalam perayaan-perayaan besar.

"Saya tinggal di Manambin bagian bawah. Gordang desa ada di Manambin atas. Jadi, sejak kecil saya memang tidak punya kesempatan untuk memainkan gordang yang ada di depan balai desa," kata Jaffar Lubis, menjelaskan ketidakbisaannya memainkan gordang sembilan.

Namun, Jaffar Lubis, yang mulanya magang pada temannya dalam membuat gordang, akhirnya justru menjadi maestro pembuat yang selalu dicari. Sudah dua puluh tahun pria kelahiran 26 Januari 1960 ini berkecimpung dalam pembuatan gordang, dan dalam rentang itu sudah belasan alat musik ini dihasilkannya.

Bagi Jaffar Lubis, membuat gordang adalah menciptakan sebuah karya yang akan dinikmati banyak orang. Adalah kebanggaan besar bagi dirinya kalau dalam sebuah upacara besar karyanya dipakai dan para hadirin hanyut dalam indahnya suara gordang buatannya itu.

"Kebahagiaan saya kalau orang senang dengan suara gordang buatan saya. Uang menjadi tidak berarti lagi," kata suami Barinjen Daulay ini.

Untuk satu perangkat gordang sembilan dengan ukuran normal, JaffarLubis meminta upah lima juta rupiah. Barang harus diambil sendiri ke Manambin, karena dia memang tidak menerima jasa antar. Kata "ukuran normal" ini perlu ditekankan, sebab kini mulai terjadi aksi jor-joran dalam ukuran gordang sembilan.

"Ada beberapa orang yang ingin memesan gordang sembilan dengan ukuran yang lebih besar dari milik bupati dengan alasan gengsi. Padahal, ukuran yang terlalu besar membuat suara gordang buruk," katanya.

SEBUAH set gordang sembilan dengan ukuran normal, menurut Jaffar Lubis, bisa didapatkan dari sebuah pohon utuh yang panjangnya sekitar 12 meter.

"Dengan diambil dari satu pohon utuh, sebuah gordang punya sifat sama pada kesembilan bagiannya. Bagi saya, sembilan gordang dari satu pohon adalah sebuah kesatuan yang kokoh dan dalam segalanya tidak terpisahkan," tuturnya.

Dari pengalaman Lubis, untuk set terbaik gordang sembilan, gordang terbesarnya berukuran panjang 165 sentimeter, diameter atas 43 sentimeter dan diameter bawah 40 sentimeter. Ukuran selanjutnya dari gordang dua sampai sembilan adalah, 160-40-38, 155-30-35, 150-35-32, 140-32-30, 135-30-28, 130-28-25, 125-25-23, dan 110-22-20.
Dibandingkan dengan harga alat musik modern yang lebih tinggi dari sekadar lima juta rupiah, kerja keras Jaffar Lubis memang jadi tampak tidak dihargai sebagaimana mestinya.

Untuk membuat sebuah perangkat gordang sembilan, hal pertama yang dilakukan Jaffar Lubis adalah "berburu pohon". Ia memerlukan waktu sekitar sebulan keluar masuk hutan untuk mendapatkan pohon yang sesuai. Kayu yang terbaik yang bisa didapatkan di Tanah Mandailing adalah kayu ingol atau surian.

"Tapi, kini makin sulit untuk mendapatkan pohon besar lagi. Terlalu banyak pembabatan hutan," kata ayah lima anak ini.

Tidak seperti di abad lalu, Lubis mengatakan bahwa ia tidak merasa perlu berpuasa atau melakukan upacara tertentu dulu untuk membuat sebuah perangkat gordang sembilan. "Saya natural saja," katanya.

Persiapan terpenting yang dilakukannya adalah memahami benar keinginan pemesan, lalu menyiapkan bekal secukupnya untuk keluar masuk hutan selama sekitar sebulan. Hutan favoritnya dalam mencari kayu untuk gordang adalah Gading Baing yang tidak jauh dari Manambin, desanya.

SETELAH mendapatkan sebuah pohon yang cocok pun bukan berarti separuh tugasnya selesai. Ia harus segera kembali ke kampungnya untuk membawa aneka peralatan yang dibutuhkan guna memotong pohon dan melubangi bagian tengahnya."Kayu harus saya potong-potong dengan panjang yang tepat, lalu saya lubangi tengahnya agar ringan. Semua itu saya kerjakan di tengah hutan yang sering di permukaan tanahnya sangat miring," papar pria yang selalu tersenyum ini.

Pengerjaan di hutan adalah bagian tersulit dalam pembuatan seperangkat gordang sembilan. Selain tempatnya yang sangat tidak sesuai untuk sebuah bengkel kerja, kesalahan di sini sama sekali tidak bisa diperbaiki lagi. Kesalahan memotong panjang sebuah gordang membuat potongan itu lalu menjadi tidak berguna. Akibatnya yang lebih panjang lagi, perangkat gordang itu akhirnya bukan terbuat dari satu pohon yang sama.

"Ada perasaan tidak lengkap di situ," kata Lubis. Itulah sebabnya, bagi dia, pengerjaan awal di hutan adalah bagian terberat dan terpenting pada pembuatan sebuah perangkat gordang sembilan. Ia lalu menceriterakan pengalaman pembuat gordang di masa lalu, yang masih berjumpa harimau sumatera di tengah hutan.

Kerja yang dilakukan di rumah adalah memberi sentuhan terakhir pada gordang, termasuk memasang kulit sapi putih sebagai bagian yang dipukul nantinya."Kulit sapi yang dipakai haruslah kulit pilihan. Saya sudah punya orang yang selalu bisa memberikan kulit terbaik," katanya. Dan, menurut dia, "Kulit yang baik adalah yang tidak terlalu tebal dan juga tidak terlalu tipis. Ada kekeringan tertentu yang harus dicapai saat dipasangkan di badan gordangnya."

AKHIRNYA, hasil akhir sebuah gordang yang baik terletak pada pemainnya juga. Pemain pertama yang memainkan gordang 1, 2, dan 3, yang disebut jangat, sangat berperan pada permainan total. Yang memainkan gordang 4 dan 5 disebut jogo-jogo, pemain gordang 6 dan 7 disebut udong-udong, sedangkan pemain gordang 8 dan 9 disebut tepe-tepe.

"Saya bahagia bisa ikut melestarikan kesenian ini, walau tidak bisa memainkannya," kata Lubis dengan tatapan mata yang berbinar-binar. (ARBAIN RAMBEY)

http://kompas.com/kompas-cetak/0302/28/naper/152548.htm

Saturday, July 21, 2007

Pintu Rasionalisme Harun Nasution

Pintu Rasionalisme Harun Nasution

Teologi fatalistik adalah biang kemunduran masyarakat muslim. Harun Nasution (1919-1998) menawarkan teologi Mu'tazilah yang rasional sebagai pengganti teologi Asy'ariyah.


Nasib Mu'tazilah, mazhab teologi paling rasional dalam sejarah klasik Islam, bisa diibaratkan mutiara yang tertutup debu. Berharga, tapi tak banyak ulama yang sudi melihat "kemilau" pemikiran kaum rasionalis yang dipelopori Washil bin Attha' pada abad XIII itu. Bahkan, sebagian dari mereka--atas dasar perbedaan pandangan teologis- -menuduh penganut mazhab tersebut kafir dan sesat.

Sikap kurang menyenangkan semacam itu pernah dialami Profesor Harun Nasution,pemikir rasionalis dan penjaja pemikiran Mu'tazilah paling gigih di Indonesia. Harun Nasution, lelaki asal Mandailing, Sumatra Utara, yang mendapatkan gelar doktornya di Universitas McGill, Kanada, tahun 1968, meninggal dalam usia 79 tahun, akhir bulan lalu. Ia menulis tesis tentang pemikiran Muhammad Abduh, ulama modernis asal Mesir.

Dalam sebuah pertemuan ulama, Muhammad Hatta, mantan wakil presiden RI, pernah bertanya kepada Harun tentang tesisnya. "Mengapa tidak dipublikasikan saja?" tanya Bung Hatta waktu itu. Sebagai jawaban, Harun mengatakan, ia takut akan reaksi negatif dari sebagian umat Islam.

Ternyata dugaannya tak meleset. Ketika Harun mengungkapkan kesimpulannya dalam pembicaraan itu, bahwa Abduh seorang penganut Mu'tazilah, seorang tokoh Islam yang berada di dekat Harun dan Bung Hatta berkomentar, "Naudzubillah," ungkapan yang menyiratkan ketidaksukaan terhadap Mu'tazilah.

Bahkan, di kesempatan lain, cendekiawan Islam, Prof. Dr.H.M. Rasjidi, pernah mengecam pemikiran Harun, yang menurut dia dipengaruhi cara berpikir kaum orientalis.

Memang kaum Mu'tazilah, menurut cendekiawan Fazlur Rahman, guru besar studi Islam di Universitas Chicago, AS, telah membawa rasionalitas demikian jauh dengan menyejajarkan kemampuan akal dengan wahyu dalam menemukan kebenaran agama. Pemikiran Mu'tazilah, dalam konteks waktu itu, dianggap melampaui zamannya.

Beberapa tema pokok mazhab tersebut--seperti rasio disejajarkan dengan wahyu, manusia memiliki otoritas penuh atas perbuatannya, dan takdir Tuhan adalah final dengan diciptakannya sunatullah (hukum alam)-- cukup mempengaruhi cara pandang intelektual muslim hingga kini.

Harun, yang pernah menjadi Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, adalah salah satu pemikir yang berhasil membersihkan "debu" mutiara itu. Menurut Harun, teologi Mu'tazilah adalah embrio teologi rasional dan teologi liberal dalam Islam --dua aspek yang menurut pemikir terkemuka dari IAIN ini relevan untuk masyarakat modern.

Pemikiran ini berbeda dengan teologi fatalistik ala Asy'ariyah, mazhab teologi varian Jabbariyah, yang selama ini membentuk masyarakat tradisional. Menurut Harun, untuk memodernisasi umat, teologi Asy'ariyah harus diganti dengan teologi Mu'tazilah. Teologi yang fatalistik adalah biang kemunduran masyarakat muslim bagi Harun.

Implikasi dari teologi rasional, seperti diperlihatkan pemikiran-pemikiran Harun, memang tampak moderat, lebih terbuka terhadap peradaban dan kebudayaan lain, dan tak terjebak pada satu mazhab (desakralisasi mazhab). Namun, bedanya dengan rasionalisme dan liberalisme, dua narasi besar yang menjadi landasan peradaban sekuler Barat, menurut Dr. Komaruddin Hidayat dari Yayasan Paramadina, Jakarta, rasionalisme Islam tak sampai meninggalkan wahyu sebagai instrumen kebenaran.

"Seekstrem-ekstremnya pemikir Islam, wahyu tetap sebagai sumber utama. Hanya, ruang untuk akal diperluas serta penafsirannya lebih kontekstual dan liberal," kata Komaruddin. Itu juga yang terjadi pada Harun, yang mendesakralisasi mazhab-mazhab fikih tapi tak meninggalkan tasawuf.

Dalam bahasa Nurcholish Madjid, seperti termuat dalam buku Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam--70 Tahun Harun Nasution, Harun adalah "pembuka" pintu dalam mendekati wahyu secara rasional. "Sebuah langkah dari ribuan langkah yang memang harus ditempuh," kata Nurcholish.

Kelik M. Nugroho, Ardi Bramantyo

http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?p=2064&sid=90e3797e4891e32cf6267a4985e46c5c

Harun Nasution, Pembangun Fondasi Islam Modern

Jumat, 19 September 2003
Prof Harun Nasution
Pembangun Fondasi Islam Modern

Sepanjang hayatnya, ia dedikasikan dirinya pada dunia ilmu. Gagasan dan pemikirannya terasa mencerahkan kehidupan berbangsa dan beragama. Ia juga dinilai cukup berani dalam hal pemikiran keagamaan. Di bidang akademis, dia terbilang sukses, terutama dalam meletakkan dasar-dasar pemahaman yang baru tentang keislaman di kalangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia.

Profesor Harun Nasution, sosok pemikir yang dikenal luas, di dalam maupun luar negeri itu. Dilahirkan di Pematangsiantar, Sumatra Utara, 23 September 1919, sejak kecil Harun dikenal gemar mendalami ilmu. Otaknya tergolong encer. Sementara semangatnya mencari ilmu menjadi spirit utama hidupnya. Bahkan di usianya yang setengah abad, ia belum punya rumah justru karena kecintaannya mendalami ilmu di negeri orang. Besar di Pematangsiantar, guru besar filsafat Islam ini adalah putra keempat Abdul Jabbar Ahmad, ulama, pedagang, hakim sekaligus penghulu di kota itu. Ibunya adalah seorang keturunan ulama Mandailing, Tapanuli Selatan, menguasai bahasa Arab karena pernah bermukim di Makkah.

Di usia 14, setelah tujuh tahun belajar di HIS dan tamat pada 1934, lelaki beristrikan gadis Kairo (Mesir) ini berniat masuk MULO, sekolah umum saat itu. Sayangnya, kedua orang tuanya kurang menyetujui. Untuk mengobati rasa kecewa kedua orang tuanya itu, Harun memutuskan masuk sekolah Islam, Moderne Islamietische Kweekschool (MIK) di Bukittinggi. Ia tamat dan tamat pada 1937. Harun merasa cocok belajar di sekolah guru-menengah-pertama swasta modern pimpinan Abdul Malik Jambek, seorang ulama moderat di Bukittinggi. Di sekolah ini mulai terlihat daya kritisnya terhadap hukum-hukum Islam yang selama ini dijalankan kedua orang tuanya. Misalnya, bertolak belakang dengan apa yang dianut kedua orang tua dan masyarakat sekitarnya, sejak 64 tahun lalu itu dia sudah tahu bahwa memegang Alquran tanpa berwudlu terlebih dulu diperbolehkan menurut salah satu mazhab fikih.

Tapi, justru karena inilah dia dilarang melanjutkan studi ke HIK, sebuah sekolah guru Muhammadiyah di Solo. Dia dipaksa melanjutkan studi ke Makkah agar jadi lebih ''lurus''. Namun, merasa Makkah bukanlah tempat belajar yang baik, pada 1938 Harun hijrah ke Mesir dan melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar. Selepas dari Al-Azhar, Harun melanjutkan di Universitas Amerika di Kairo dan menyelesaikan studi sosialnya dengan gelar Sarjana Muda pada 1952. Pada 1953 ia kembali ke Indonesia dan bertugas di Departemen Luar Negeri bagian Timur Tengah. Tugas diplomatnya di luar negeri berlanjut kembali sejak ia bekerja di Kedutaan Republik Indonesia di Brussels mulai akhir Desember 1955.

Karena pengaruh komunis semakin kuat di Indonesia, Harun yang antikomunis memutuskan untuk keluar dari kedutaan. Untuk kedua kalinya, ia ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Harun memilih belajar di lembaga Ad-Dirasat al-Islamiyah (1960). Studinya di Mesir, lagi-lagi, tidak dapat diteruskan akibat kekurangan biaya. Ketika itulah ia menerima tawaran dari Prof Rasjidi --orang yang kemudian menjadi partner polemiknya di bidang pembaharuan dan pemikiran Islam-- untuk menerima beasiswa dari Institute of Islamic Studies McGill, Montreal, Kanada. Pada 1965, Harun memperoleh gelar Magister dari universitas tersebut dengan judul tesis yang masih dekat dengan sejarah tanah airnya: The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Movement for Its Creation and the Theory of the Masjumi. Tiga tahun berikutnya (1968), ia memperoleh gelar Doktor (PhD) dalam bidang studi Islam pada universitas yang sama, dengan disertasi The Place of Reason in 'Abduh's Theology: Its Impact on His Theological System and Views. Setahun kemudian (1969), ia kembali ke Indonesia. Berbagai jabatan pernah ia pegang, baik akademis maupun pemerintahan.

Dari segi pemikiran, gagasan Prof Harun tak lepas dari petualangan panjangnya. Yang paling menonjol tentu saat ia menuntut ilmu di Makkah dan Mesir. Di kedua negeri inilah, ia terkagum dengan pemikiran tokoh dan pembaru Muhammad Abduh, terutama sekali tentang paham Mu'tazilah yang banyak menganjurkan sikap-sikap qadariah. Di kemudian hari, Harun dikenal sebagai intelektual Muslim yang banyak memperhatikan pembaharuan dalam Islam, meliputi pemikiran teologi, filsafat, mistisisme (tasawuf), dan hukum (fikih) saja, hingga masalah segi kehidupan kaum Muslim. Ada dua obsesi Harun yang paling menonjol. Pertama, bagaimana membawa umat Islam Indonesia ke arah rasionalitas. Kedua, terkait dengan yang pertama, bagaimana agar di kalangan umat Islam Indonesia tumbuh pengakuan atas kapasitas manusia qadariah.

Harun sering menyatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah akibat dominasi Asy'arisme yang sangat bersifat Jabariah (terlalu menyerah pada takdir). Untuk itu, dalam berbagai tulisannya Harun selalu menghubungkan akal dengan wahyu, dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan Alquran yang demikian penting dan bebas. Harun memang sangat tersosialisasi dalam tradisi intelektual dan akademis kosmopolitan (Barat). Tapi, sesungguhnya hampir sepenuhnya dia mewarisi dasar-dasar pemikiran Islam abad pertengahan. Penguasaannya yang mendalam terhadap pemikiran-pemikiran para filsuf Islam, termasuk pengetahuannya yang luas terhadap dunia tasawuf, membuat ia dapat merumuskan konsep yang akurat tentang terapinya untuk membangun masyarakat Muslim Indonesia. Ia selalu mengatakan bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap-luap, tapi harus berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofis terhadap agama Islam itu sendiri.

Semua itu dia buktikan dengan mewujudkan tiga langkah, yang kerap disebut sebagai ''Gebrakan Harun''. Gebrakan pertama, dia meletakkan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam. Menurutnya, dalam Islam terdapat dua kelompok ajaran. Ajaran pertama bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah. Ajaran yang terdapat dalam Alquran dan Hadis mutawatir berada dalam kelompok ini. Kedua, bersifat absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah. Ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama berada dalam kelompok ini. Dalam ajaran Islam, lanjutnya seperti ditulis dalam Islam Rasional (Mizan), yang maksum atau terpelihara dari kesalahan hanyalah Nabi Muhammad SAW. Karena itu, kebenaran hasil ijtihad para ulama bersifat relatif dan bisa direformasi. Menurutnya, kedinamisan suatu agama justru ditentukan oleh sedikit banyaknya kelompok pertama itu. Semakin sedikit kelompok ajaran pertama, semakin lincahlah agama tersebut menghadapi tantangan zaman dan sebaliknya. Kenyataannya, kata Harun, jumlah pertama sedikit.

Gebrakan kedua dilakukan saat dia menjabat rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1973 (kini Universitas Islam negeri/UIN). Saat itu, secara revolusioner dia merombak kurikulum IAIN seluruh Indonesia. Pengantar ilmu agama dimasukkan dengan harapan akan mengubah pandangan mahasiswa. Demikian pula filsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid, sosiologi, dan metodologi riset. Menurut dia, kurikulum IAIN yang selama ini berorientasi fikih harus diubah karena hal itu membuat pikiran mahasiswa jumud. Sedang gebrakan ketiga, bersama menteri agama Harun mengusahakan berdirinya Fakultas Pascasarjana pada 1982. Menurutnya, di Indonesia belum ada organisasi sosial yang berprestasi melakukan pimpinan umat Islam masa depan. Baginya pimpinan harus rasional, mengerti Islam secara komprehensif, tahu tentang ilmu agama, dan menguasai filsafat. Filsafat, ujarnya, sangat penting untuk mengetahui pengertian ilmu secara umum. Pimpinan seperti itulah yang diharapkannya lahir dari Fakultas Pascasarjana. Dampak dari usaha Harun sungguh luar biasa. Ciputat jadi hidup.

Berbagai gagasan Harun yang dikenal amat menjunjung tinggi rasionalitas dan metode ilmiah itu, tak sedikit kalangan menuduhnya sebagai pelopor gerakan mu'tazilah dan salah seorang penyokong sekularisme di Indonesia. Ini jelas terlihat dari karyanya berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Toh demikian, Harun tetap melaju membumikan Islam. Menurut Nurcholish Madjid, Harun telah memberikan sumbangan nyata bagi bangsa Indonesia dalam hal menumbuhkan ''tradisi intelektual'' yang dirintis di IAIN Jakarta, dan kemudian menghasilkan suatu gejala umum bahwa doktrin bukan sebagai taken for granted, justru di saat doktrin itu sudah mapan. Dia mempertanyakan relevansi doktrin itu kepada sejarah, bagaimana kaitannya dulu dan sebagainya. Inilah yang menghasilkan suatu kemampuan tertentu yang secara teknis disebut learning capacity. Harun, lanjut Cak Nur, telah berhasil menciptakan intellectual capacity sekaligus learning capacity.

Pola pemikiran Harun, dalam pandangan Cak Nur, sangat Abduhis. Etos atau penghargaannya terhadap Muhammad Abduh sangat tinggi. Obsesi Harun kepada Mu'tazilah mempunyai relevansi terhadap dua hal. Pertama, rasionalitas, sebab dampak dari etos kerasionalan itu ialah pembukaan yang mempunyai efek pembebasan. Kedua, pengakuan atas kapasitas manusia qadariah. Kemunduran kaum Muslim, kata Harun, salah satunya lantaran dominasi Asy'ariyah yang Jabbari. Betapapun, Harun telah menanamkan fondasi Islam modern Indonesia. Perjuangan panjangnya itu berakhir pada 18 September 1998, ketika Sang Khaliq memanggilnya untuk selama-lamanya. Kini, persis 5 tahun wafatnya, Harun seakan terus 'hidup' melalui gagasan dan pemikirannya.


Di Antara Karya dan Khomeini

Harun Nasution tergolong pemikir dan penulis produktif. Sedikitnya telah tujuh buku ia tulis. Yakni, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (bukan saja buku yang sangat laris, tapi itu sengaja dia tulis agar umat Islam bersikap moderat setelah melihat agama Muhammad ini dari berbagai sisinya. Buku lainnya, Filsafat Agama, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, adalah karya yang sengaja ia buat dalam rangka memperkenalkan filsafat ke khalayak ramai dengan bahasa yang mudah dicerna.

Sedang Muhammad 'Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah sengaja dia publikasi untuk memperkenalkan paham Mu'tazilah yang dialergikan banyak orang itu secara bersahaja, dengan satu obsesi: umat Islam di Indonesia harus segera meninggalkan budaya fatalistis yang membuat mereka mundur. Agar lebih komprehensif, karya itu dilengkapi dengan karyanya yang lain, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan/ serta Akal dan Wahyu dalam Islam.

Dari semua itu, ada satu obsesi penting Harun yang layak dicatat di sini. Dia berharap, dengan semua upanyanya itu, lahir ulama Indonesia yang mirip dengan Imam Khomeini. Pemimpin spiritual Iran itu adalah ulama sekaligus pemikir (ahli filsafat), atau pemikir yang sekaligus ulama. Jika banyak ulama sekaliber Khomeini muncul di sini, maka gagasan Alfarabi tentang al-Madinah al-Fadhilah sangat mungkin terlaksana. Ini karena menurut gagasan yang diadopsi dari konsep Plato tentang Negara Ideal itu, negara hanya akan makmur jika dipimpin para filsuf yang cerdas, bersifat warak, zuhud, dan karenanya pantang menyaksikan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). hery sucipto/berbagai sumber ()

http://202.155.15.208/koran_detail.asp?id=140408&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=185

Mengenang Harun Nasution

Mengenang Harun Nasution; “Untuk Perjuangan Di Tanah Air”

Sepanjang hayatnya, ia dedikasikan dirinya pada dunia ilmu. Gagasan dan pemikirannya terasa mencerahkan kehidupan berbangsa dan beragama. Ia juga dinilai cukup berani dalam hal pemikiran keagamaan. Di bidang akademis, dia terbilang sukses, terutama dalam meletakkan dasar-dasar pemahaman yang baru tentang keislaman di kalangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia maupun dikalangan masyarakat luas.

Profesor Harun Nasution, sosok pemikir yang dikenal luas, di dalam maupun luar negeri itu. Dilahirkan di Pematangsiantar, Sumatra Utara, 23 September 1919, sejak kecil Harun dikenal gemar mendalami ilmu. Otaknya tergolong encer. Sementara semangatnya mencari ilmu menjadi spirit utama hidupnya. Bahkan di usianya yang setengah abad, ia belum punya rumah justru karena kecintaannya mendalami ilmu di negeri orang. Besar di Pematangsiantar, guru besar filsafat Islam ini adalah putra keempat Abdul Jabbar Ahmad, ulama, pedagang, hakim sekaligus penghulu di kota itu. Ibunya adalah seorang keturunan ulama Mandailing, Tapanuli Selatan, menguasai bahasa Arab karena pernah bermukim di Makkah.

Karena pengaruh komunis semakin kuat di Indonesia, Harun yang antikomunis memutuskan untuk keluar dari kedutaan. Untuk kedua kalinya, ia ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Harun memilih belajar di lembaga Ad-Dirasat al-Islamiyah (1960). Studinya di Mesir, lagi-lagi, tidak dapat diteruskan akibat kekurangan biaya. Ketika itulah ia menerima tawaran dari Prof Rasjidi --orang yang kemudian menjadi partner polemiknya di bidang pembaharuan dan pemikiran Islam-- untuk menerima beasiswa dari Institute of Islamic Studies McGill, Montreal, Kanada.

Pada 1965, Harun memperoleh gelar Magister dari universitas tersebut dengan judul tesis yang masih dekat dengan sejarah tanah airnya: The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Movement for Its Creation and the Theory of the Masjumi. Tiga tahun berikutnya (1968), ia memperoleh gelar Doktor (PhD) dalam bidang studi Islam pada universitas yang sama, dengan disertasi The Place of Reason in 'Abduh's Theology: Its Impact on His Theological System and Views. Setahun kemudian (1969), ia kembali ke Indonesia. Berbagai jabatan pernah ia pegang, baik akademis maupun pemerintahan.

Dari segi pemikiran, gagasan Prof Harun tak lepas dari petualangan panjangnya. Yang paling menonjol tentu saat ia menuntut ilmu di Makkah dan Mesir. Di kedua negeri inilah, ia terkagum dengan pemikiran tokoh dan pembaru Muhammad Abduh, terutama sekali tentang paham Mu'tazilah yang banyak menganjurkan sikap-sikap qadariah. Di kemudian hari, Harun dikenal sebagai intelektual Muslim yang banyak memperhatikan pembaharuan dalam Islam, meliputi pemikiran teologi, filsafat, mistisisme (tasawuf), dan hukum (fikih) saja, hingga masalah segi kehidupan kaum Muslim. Ada dua obsesi Harun yang paling menonjol. Pertama, bagaimana membawa umat Islam Indonesia ke arah rasionalitas. Kedua, terkait dengan yang pertama, bagaimana agar di kalangan umat Islam Indonesia tumbuh pengakuan atas kapasitas manusia qadariah.

Harun sering menyatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah akibat dominasi Asy'arisme yang sangat bersifat Jabariah (terlalu menyerah pada takdir). Untuk itu, dalam berbagai tulisannya Harun selalu menghubungkan akal dengan wahyu, dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan Alquran yang demikian penting dan bebas. Harun memang sangat tersosialisasi dalam tradisi intelektual dan akademis kosmopolitan (Barat).

Tapi, sesungguhnya hampir sepenuhnya dia mewarisi dasar-dasar pemikiran Islam abad pertengahan. Penguasaannya yang mendalam terhadap pemikiran-pemikiran para filsuf Islam, termasuk pengetahuannya yang luas terhadap dunia tasawuf, membuat ia dapat merumuskan konsep yang akurat tentang terapinya untuk membangun masyarakat Muslim Indonesia. Ia selalu mengatakan bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap-luap, tapi harus berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofis terhadap agama Islam itu sendiri.

Semua itu dia buktikan dengan mewujudkan tiga langkah, yang kerap disebut sebagai ''Gebrakan Harun''. Gebrakan itu diantaranya, dia meletakkan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam. Menurutnya, dalam Islam terdapat dua kelompok ajaran. Ajaran pertama bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah. Ajaran yang terdapat dalam Alquran dan Hadis mutawatir berada dalam kelompok ini. Kedua, bersifat absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah. Ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama berada dalam kelompok ini. Dalam ajaran Islam, lanjutnya seperti ditulis dalam Islam Rasional (Mizan), yang maksum atau terpelihara dari kesalahan hanyalah Nabi Muhammad SAW. Karena itu, kebenaran hasil ijtihad para ulama bersifat relatif dan bisa direformasi.

Menurutnya, kedinamisan suatu agama justru ditentukan oleh sedikit banyaknya kelompok pertama itu. Semakin sedikit kelompok ajaran pertama, semakin lincahlah agama tersebut menghadapi tantangan zaman dan sebaliknya. Kenyataannya, kata Harun, jumlah pertama sedikit.

Berbagai gagasan Harun yang dikenal amat menjunjung tinggi rasionalitas dan metode ilmiah itu, tak sedikit kalangan menuduhnya sebagai pelopor gerakan mu'tazilah dan salah seorang penyokong sekularisme di Indonesia. Ini jelas terlihat dari karyanya berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Toh demikian, Harun tetap melaju membumikan Islam.

Obsesi Harun kepada Mu'tazilah mempunyai relevansi terhadap dua hal. Pertama, rasionalitas, sebab dampak dari etos kerasionalan itu ialah pembukaan yang mempunyai efek pembebasan. Kedua, pengakuan atas kapasitas manusia qadariah. Kemunduran kaum Muslim, kata Harun, salah satunya lantaran dominasi Asy'ariyah yang Jabbari. Betapapun, Harun telah menanamkan fondasi Islam modern Indonesia. Perjuangan panjangnya itu berakhir pada 18 September 1998, ketika Sang Khaliq memanggilnya untuk selama-lamanya. • Ugi”

http://filosof.blog.m3-access.com/posts/3303_Mengenang-Harun-Nasution-Untuk-Perjuangan-Di-Tanah-Air.html

Sunday, July 15, 2007

Prof Dr Muhammad Yasir Nasution


Jumat, 13 Oktober 2000
Muhammad Yasir Nasution
Cita-cita Santri dari Panyabungan
Kompas/surya makmur nasution

NAMA Prof Dr Muhammad Yasir Nasution (50), tidaklah sepopuler cendekiawan Prof Dr Nurcholish Madjid, Dr Komaruddin Hidayat, atau Prof Dr Azyumardi Azra. Namun, dilihat dari gagasan dan aktivitasnya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara, ia pantas mendapat tempat dan penghargaan sebagai seorang akademisi.

Sebagai seorang guru besar bidang filsafat hukum Islam, Yasir, panggilan akrabnya, menggagas konsep "Ekonomi dan Perbankan Islam". Tentu saja gagasannya menjadi kontroversi di kalangan akademisi di kampusnya. Pemikiran itu bukan saja sebagai hal baru, namun belum pernah terpikirkan sebelumnya. Lagi pula, gagasan itu dinilai berada di luar otoritas atau kajian keilmuan yang dikembangkan IAIN selama ini. Dari empat fakultas di IAIN Sumut (Syariah, Tarbiyah, Ushuluddin, dan Dakwah) tak satu pun yang langsung bersentuhan dengan gagasan tersebut. Apalagi, ia tak ada dasar keilmuan tentang ekonomi.

Sebagai ilmuwan, Yasir yang memperoleh gelar profesor tahun 1991, semula ragu menyampaikan gagasannya. Namun, keraguannya hilang tatkala ahli ekonomi senior dari Universitas Sumatera Utara (USU), seperti Prof Bahauddin Darus, Prof Abdullah Yacub, mendorong dirinya memprakarsai munculnya lembaga kajian ekonomi Islam. Bahkan dukungan pun datang dari ekonom muda Universitas Sumatera Utara (USU), seperti Jhon Tafbu Ritonga MEc dan Sofyan Syafri PhD (kini dosen Universitas Trisakti Jakarta).

Pakar ekonomi USU itu mengakui merindukan satu wadah kajian ekonomi dalam perspektif Islam. Menurut mereka, lembaga yang kompeten dan bisa mendapatkan kepercayaan dari masyarakat adalah IAIN. "Saya pun tertantang," kata Yasir ketika ditemui di rumah dinasnya berukuran 6 meter x 10 meter di kompleks IAIN Sumatera Utara, Jalan Sutomo Ujung, Medan, 2 Oktober.

Bersama Dr Amiur Nurruddin, kini Dekan Fakultas Syariah, ia mendirikan Forum Kajian Ekonomi dan Perbankan Islam (FKEBI) tahun 1990. "Teman-teman di Syariah mengkaji dari sisi konsep muamalat (hubungan sesama manusia-Red) dalam Islam, teman ekonom USU mengeksplorasinya dalam perspektif Ilmu Ekonomi konvensional. Orang IAIN belajar matriks ilmu ekonomi umum, orang USU belajar matriks konsep ekonomi Islam," kata Yasir yang lahir 18 Mei 1950 di Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal (510 kilometer selatan Medan).

Menurut Yasir, konsep ekonomi Islam memiliki perbedaan mendasar dari konsep ekonomi umumnya yaitu dari sisi metodologi, aksiologis, dan juga ontologisnya. Dari sudut metodologi, konsep ekonomi Islam memiliki prinsip nilai yang bisa dikaji secara dinamis. Secara aksiologis, memiliki tujuan dan arah, yaitu kesejahteraan dan keadilan. Sementara dari tinjauan ontologisnya, sistem ekonomi Islam mempunyai tujuan luhur. Dalam konsep Islam, antara pemilik modal dan pekerja diberi penghargaan proporsional atas prestasi kerja sehingga ada kesejajaran. Keberhasilan seseorang dinilai bukan dari dirinya sendiri, melainkan banyak faktor.

"Itu semuanya beranjak dari konsep Islam yang memandang manusia secara integral, yaitu secara material, spiritual, sosial, dan lainnya," ungkap alumnus S2 dan S3 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara dalam konsep ekonomi Barat, penghargaan cenderung kepada pengusaha sebagai pemilik modal. Semua permasalahan, selalu timbul dulu deviasi baru dicari jalan keluar. Bahkan kesuksesan kerja dominan dinilai dari faktor diri sendiri.

***

UNTUK mewujudkan gagasan itu, FKEBI bekerja sama dengan USU, PT Bank Sumut (dulu Bank Pembangunan Daerah Sumut), membuat Simposium Nasional Pemasyarakatan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Sebelumnya, Yasir mengikuti pertemuan The Third International Conference on Islamic Economy di Kuala Lumpur, Malaysia yang diprakarsai Universitas Islam Antarbangsa (UIA), Malaysia. Hasilnya, Yasir banyak mendapatkan masukan pemikiran, terutama pesatnya perkembangan Bank Islam di Malaysia dengan sistem bagi hasil (mudlarabah, musyarakah).

IAIN melalui FKEBI juga melakukan workshop internasional tentang "ekonomi Islam" bekerja sama dengan Universitas Islam Antarbangsa dan Institut Kesepahaman Islam, Malaysia, tahun 1993. Lalu muncul ide mewujudkan konsep ekonomi Islam secara kelembagaan.

"Atas bantuan teman-teman berdirilah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Puduarta Insani milik IAIN yang lokasinya berada di Tembung, Kecamatan Medan Tembung, tahun 1996. Nasabahnya 40 sampai 50 persen dosen dan pegawai IAIN," kata Pembantu Rektor I IAIN Sumut sejak tahun 1997.

Untuk menjaga kesinambungan gagasannya, tahun 1997, Yasir yang juga anggota pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumut (1992 sampai sekarang), membuat program Diploma III, Manajemen Keuangan dan Perbankan Syariah. Program ini satu-satunya yang dimiliki IAIN di seluruh Indonesia.

Bahkan setelah ia memprakarsai berdirinya program pascasarjana di IAIN Sumut (1994), tahun ajaran tahun 2000 ini membuka program studi Ekonomi Islam melengkapi program studi hanya Dirasah Islamiyah, Pemikiran Islam dan lainnya.

***

SEMASA belajar di Sekolah Rakyat (SR) Negeri I di Panyabungan, Yasir sudah bercita-cita menjadi ahli ekonomi karena melihat nasib ayahnya, H Abdul Baki Nasution, dan ibunya, Siti Arbi, sebagai petani miskin. Yasir tak diizinkan ayahnya (almarhum) melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama (SMP), melainkan dimasukkan ke Pesantren Mustafawiyah, Purbabaru, Mandailing Natal. Harapan ayahnya, ia bisa menjadi ulama atau ahli agama, melanjutkan cita-cita ayahnya sebagai penghafal Al Quran.

"Begitu kuatnya keinginan melanjutkan ke pesantren, oleh ayah, guru-guru di sekolah dipengaruhi agar tak meluluskan saya dari SR. Padahal, prestasi saya bagus," ungkap ayah tiga putri buah perkawinannya dengan Ny H Hasibuan (44).

Semasa di pesantren, penggemar lagu-lagu Umi Kalsum ini bukan cuma belajar agama saja melainkan juga bahasa Inggris. Ia juga menambah wawasan pengetahuan umumnya dengan minta dikirimi koran bekas dari seniornya yang kuliah di Medan, sebulan sekali. Tamat dari pesantren, Yasir melanjutkan kuliah ke Fakultas Syariah IAIN Sumut atas bantuan beasiswa dari Menteri Agama terhadap santri yang memperoleh peringkat satu sampai 10.

Di kampus ia dikenal kritis oleh dosennya. Malah gara-gara ia protes bahwa mahasiswa tak harus pakai peci mengikuti kuliah, ia pernah disuruh pulang oleh dosennya. "Saya pun pulang," kenangnya. Perkenalannya dengan kelompok diskusi Mahasiswa Willem Iskandar (MWI), Medan, membuat dirinya mengenali ilmu-ilmu umum.

Yasir mengakui, Prof Harun Nasution berjasa membuka wawasan pemikirannya tentang Islam, terutama pernyataannya tentang pintu ijtihad dalam Islam belum ditutup dan malah bersifat dinamis.

Kini Yasir yang pernah mengikuti kursus singkat pendidikan manajemen di Institut Manajemen, McGill University, Montreal (1995), terpilih menjadi Rektor IAIN Sumut pada 25 Agustus. Ia meraih 22 suara sedangkan sahabatnya Prof Dr M Ridwan Lubis meraih 12 suara. Dapatkah ia meneruskan impiannya setelah memimpin IAIN Sumut? "Insya Allah jika diberi amanah, saya lebih mudah mewujudkan gagasan-gagasan saya di masa depan. Bagi saya IAIN masa depan adalah IAIN yang memiliki kompetensi standar global," jawabnya. (Surya Makmur Nasution)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0010/13/naper/cita12.htm

Friday, July 13, 2007

Mochtar Lubis, The Crusading Journalist


Mocthar Lubis

Known for his exposés of government corruption and inefficiency, the legendary Indonesian editor Mochtar Lubis was jailed by two presidents while his newspaper, the daily Indonesia Raya, was banned six times. “Unable to report except accurately or to comment except honestly, he was bound to get into trouble with the despot Sukarno and the autocrat Suharto,” said author and journalist Robert Elegant.

Lubis was first imprisoned in December 1956. As a result of strong protests by the International Press Institute (IPI) among others, he was transferred to house arrest in January 1957. However, he was neither charged nor set free until April 1961. That year, he was given a hero’s welcome at the IPI General Assembly in Tel Aviv, where he attacked Sukarno’s treatment of the press in a courageous speech.

On returning to Jakarta from Tel Aviv, Lubis was promptly arrested and jailed. From a military prison in Madiun, hundreds of kilometers from his Jakarta home, Lubis smuggled out occasional letters, some of which were printed in IPI Report. After nine years in prison, he wrote: “I am a stubborn old fool and am fully convinced that our era is the era of human freedom and human cooperation and not the era of human enslavement and inevitable confrontation. ... But only a truly free press can help build up traditions of freedom, the respect of law, for public rights, for private rights, to fight against the abuse of power, against corruption — moral and material.”

Lubis was freed after nearly 10 years in jail following the overthrow of Sukarno. After his release, he revived Indonesia Raya in 1968 and resumed his role in pointing out government corruption. Lubis was soon to be in trouble again — this time for exposing corruption in the new government and among President Suharto’s family members. Along with many other publications, Indonesia Raya was closed down for good after the riots that accompanied the 1974 visit to Indonesia by the Prime Minister of Japan, Kakuei Tanaka. A year later, in February 1975, Lubis was again arrested. After weeks of interrogation by the military, he was imprisoned on charges of sedition for allegedly having mobilized students to demonstrate against the Japanese prime minister’s visit. The international press came forcefully to his defense, and he was released after two and a half months in prison on Apr. 15.

Mochtar Lubis was born on Mar. 7, 1922. Before taking over the editorship of Indonesia Raya in 1952, he worked as foreign affairs editor of the Indonesian National News Agency, Antara, from 1945 to 1952, and published the first English-language newspaper in Indonesia, the Times of Indonesia, in 1952. In 1966, he founded a cultural and literary monthly, Horison. A former member of the IPI Executive Board and chairman of IPI’s National Committee in Indonesia, he is also a renowned novelist, poet and essayist.

Lubis’s courage during the Sukarno and Suharto years became a byword in Asia and wherever the press was under attack. He was long ignored by the self-censoring media in his own country because of his firm belief that universal human rights should not be superseded by the notions of unity and nation-building. However, he is today regarded by his countrymen as the doyen of the Indonesian press and a symbol of courageous and independent journalism.

http://www.globaljournalist.org/archive/Magazine/Lubis-20002q.html

Mochtar Lubis


Mochtar Lubis
David Hill

By any measure, Mochtar Lubis was impressive. A mostly self-educated Mandailinger, he was tall, handsome, urbane, and articulate in several languages. Always controversial, Mochtar was one of Indonesia’s most respected journalists and best-known authors for over four decades.

His uncompromising journalistic style, his several substantial periods of political detention, his considerable literary skills and his extensive international connections, all earned him a colourful reputation, at home and abroad. He was an extremely deft ‘cultural broker’, explaining Indonesia to the West, and interpreting Western ideas for his own community.

Born in Padang in 1922, Mochtar was best known as the crusading editor of Indonesia Raya (Glorious Indonesia) daily newspaper, a publication with combative — even ‘muck-racking’ — journalism, dedicated to the exposure of corruption and government malfeasance.

From its establishment in December 1949, Indonesia Raya became embroiled in the divisive politics of the 1950s. In confrontations between the army and the civilian government, Mochtar and Indonesia Raya were often critical of President Sukarno. Critics accused them of serving those military and pro-US interests that were uncomfortable with Sukarno’s non-aligned policies. Mochtar and his staff vehemently denied such claims.

Detentions
Frequent criticisms of Sukarno and his ministers led to Mochtar being detained without trial in 1956. Indonesia Raya closed under pressure two years later. Mochtar spent most of the remainder of Sukarno’s presidency in detention, becoming Indonesia’s best-known political prisoner internationally for most of this period.
Released in 1966, Mochtar revived Indonesia Raya only to have it banned by Suharto after anti-government riots in January 1974. He was imprisoned for yet another year.

In his clashes with authorities, Mochtar dismissed pleas from colleagues to tone down his criticisms in order to be allowed to re-open Indonesia Raya. He argued that the press must be fearless in its criticism of those in power; it must accept banning rather than compromise.

He was accused of being politically naïve, unable to negotiate that fine line trod by savvy Indonesian editors as they struggled to maintain their publications and the livelihoods of their employees despite often-overwhelming constraints on political expression.

But Mochtar’s forthright, combative spirit made him heroic to many. Younger journalists in particular admired the simple clarity of his analysis and his preparedness to speak out.

An international voice

Despite the demise of Indonesia Raya, he remained an editor at heart, active internationally in the International Press Institute and the Press Foundation of Asia. For 36 years he edited Indonesia’s leading monthly literary magazine, Horison, founded in 1966 on the initiative of young anti-Sukarnoist activists.

As a measure of his international standing, he was appointed to the UNESCO Commission for the Study of Communication Problems (1977-9). This made Mochtar, at that stage, one of only four Indonesians to have been appointed to such UN commissions.

At home, he maintained his feisty opposition to the prevailing political authorities through support for various non-government organisations, such as the Jakarta Legal Aid Institute, and the environment movement. Yet he also became a life member of the establishment’s most prestigious and exclusive intellectual and cultural body, the Jakarta Academy.

During his periods of detention Mochtar still wrote energetically, producing a string of novels, short stories and children’s tales as well as some poems, diary accounts and biographical sketches, garnering a string of awards.

Literary achievements

In 1958, while under house arrest, he was the first Indonesian (and remains one of only three) to be given the prestigious Magsaysay Award for Journalism and Literature. His strong anti-leftist views led him to return the Magsaysay Award in protest in 1996 when leftist author Pramoedya Ananta Toer received the honour.

Most highly regarded of his literary works was his novel Jalan Tak Ada Ujung (Road with No End), which explored fear and courage during the Indonesian revolution, and for which he won a national Literary Award in 1952.

But what sealed his reputation internationally was his pillorying of the self-interested politics of Sukarno’s Indonesia in Senja di Jakarta (Twilight in Jakarta). This was the first Indonesian novel ever translated into English.

Most touching perhaps remains his 1959 short story, Kuli Kontrak (Contract Coolies). This is an account of a childhood experience secretly witnessing his father, a Dutch-appointed administrator, overseeing the whipping of indentured labourers in the local prison.

Tragically Alzheimer’s disease stole Mochtar’s memory during his final years. Yet when he passed away in Jakarta on 2 July 2004, aged 82, his moral courage, revered journalistic principles and literary achievements left an enduring legacy.

David Hill (dthill@murdoch.edu.au) is Professor of Southeast Asian Studies at Murdoch University, and a biographer of Mochtar Lubis.

http://www.insideindonesia.org/edit83/p23_hill.html

Sunday, July 8, 2007


Haji Abdullah Abbas Nasution, an Islamic religious scholar who also uses the pen for da'wa.

Haji Abdullah Abbas Nasution
Translation by Haji Hashim Bin Samin

Haji Abdullah Abbas Nasution was born in Langgarbon March 1, 1912. He received his early education from his father until the age of 10. In 1920, he was admitted into Langgar Malay School. In 1923, he continued his education at the Pondok (hut) Arabic School in Penang and Jitra, Kedah.

From 1928 to 1932, he went on to further his education at Tok Kenali Pondok Religious School at Kota Bharu Kelantan, and at the Maahad Muhammadi, also in Kota Bharu, Kelantan. From 1937 to 1940, he completed his studies at the Pondok School of Ahamadiah Bunut Payung, in Kota Bharu Kelantan. He then returned to Kedah to teach at the Pulau Pisang Pondok School in Jitra, before moving on to Haji Mohsin Pondok School in Titi Besi, Kepala Batas. At the end of 1940, Haji Abdullah Abbas Nasution opened his own school, which was known as Madrasah Maahad Ehya Al-Ulum Ad-Diniah, in Tanjung Pauh, Jitra. The school provided lessons on Islamic Religious Knowledge, the Malay Language, Arabic and English. From 1940 to 1967, Madarsah Maahad Ehya Al-Ulum Ad-Diniah had produced around 4000 graduates who were very knowledgeable on Islam.

Besides teaching, Haji Abdullah Abbas Nasution was also active in Islamic missionary work, through his writing. He had been actively involved in writing since the early 1930s. In 1933, he tried his skills by becoming part-time contributors to newspapers. He was at that time, still studying in the Tok Kenali Pondok School in Kota Bharu, Kelantan. He open used such pseudonyms as A.A. Pilpasani, AAN and Ibni Arabi. His writng, which were often religious in nature, wou;d be published in such papers as Saudara, Warta Malaya of Singapore, and Sahabat of Penang. Besides articles on religion, he also contributed everyday news for these papers. Among the subjects of his reports were news of chicken thefts, fights between people, and news on crime.

Haji Abdullah next turned to translation of religious texts from its original Arabic form into Malay. Among the work he had translated at this early period were Tarbiah Al-Ijtimabiah (Social Affairs), Tarbiah Al-Wataniah (Egyptian Political Science) and a few other texts. Apart from translation, he also did his own writing and produced a few texts book such as Sejarah Melayu Raya (A History of the Malays) in which was noted the history of the Malay people from the Sri Vijaya era to the arrival of Islam in South East Asia. In 1940, Haji Abdullah began his work of translating the Koran, which was finally published in 1959. He also wrote an analysis of the Koran, a work he completed within eight years. On the whole, Haji Abdullah Abbas Nasution had written and translated about 100 books and articles on various subjects in the years between 1933 and 1980. Most of these books were on Islam, its culture and history. He also wrote on a general history of South East Asia. He had also written on his own family's genealogical history and a few other books on Geography, Economics, Political Science, Social Science, Education, and many other fields including his own autobiography. All these were either written in the khat tuluth jawi script or simply typewritten.

Haji Abdullah Abbas Nasution was also active in the Kedah Ulama Association (PUK). At the earlier part of its formation, Haji Abdullah was considered to be one of its founders and strongmen. He was at that time the Head of his own pondok school, the Maahad Ehya Al-Ulum addiniah of Tanjung Pauh, Jitra, Kedah. As a founder member of PUK, he was registered as the eighth member of the Association. He was later appointed as its founding Secretary and later as the Association's Honourary Secretary.

As the founding Secretary and the Honourary Secretary of the Association, he was given the task of formulating its constitution, which he did, based on the Penang Straits Born Association (a Penang Indian Muslim charity organization). Haji Abdullah Abbas Nasution was appointed as the Assistant Secretary of the Kedah Ulama Association (PUK) and served from January 1946 to 1949. The Association had at first, based its movement in Alor Setar (it had its headquarters in Mahmud College) before deciding to move to Guar Chempedak a year later. This had to be undertaken as Mahmud College was a government institution and the Association was a non-government organization. As it was a non-government organization, its activities were beset by governmental rules and regulations. This had the effect of the Association being less free to pursue its objectives. On the other hand, the Associaiton, which was based at the Al-Taufikiah Al-Khairiyah Religious Chool in Guar Chempedak, enjoyed more freedom as the school was a private institution, which was not subjected to any governmental rules and regulation. From 1949 to the 1950s, Haji Abdullah Abbas Nasution served as the PUK's Religious Education Head replacing Sheikh Abdul Halim Othman who incidentally, was PUK's first Religious Education Chief.

In the political arena, Haji Abdullah Abbas Nasution used to hold such posts as Secretary of the Kedah Malay Organization and Secretary of Kubang Pasu UMNO Division. He later became PAS (Pan-Malayan Islamic Party) Secretary for Kubang Pasu and Kuala Nerang, Chief of Kedah PAS Ulama Council, and a member of PAS Central Committee. He had also involved himself with the anti-Malayan Union movement by attending the important Congress of Malayan Malay Organizations which was held at the Sultan Sulaiman Club in Kuala Lumpur, on March 1, 1946. He had attended as a representative of both PUK and the Kedah Malay Organization. He was also present at a meeting of a Malayan Ulama Assembly held in Butterworth in 1952. Haji Abdullah Abbas Nasution did not limit his activities to religious affairs only, as he was also active in social affairs. An example was his involvement in the Companionship of Pen Pals (Persaudaraan Shabat Pena or Perspam). Besides that he was also well known as an orator as could be seen in his delivery of a talk entitled 'The Life and Struggles of Tok Kenali' at the Universiti Kebangsaan Malaysia on February 21, 1978. He often attended seminars on politics, economics, history, education, language, literature and culture.

Haji Abdullah Abbas Naution died on January 4, 1987 at the age of 78. His struggle through PUK to unite Muslims, especially in Kedah has left a positive impression in the effort to Islam throughout the Nation. For that reason alone, he should be remembered by later generations of Muslims.

http://www.mykedah.com/e_10heritage/e102_4_08.htm

Haji Abdullah Abbas Nasution seorang ulama yang juga giat berdakwah menerusi bidang penulisan.

Haji Abdullah Abbas Nasution

Haji Abdullah Abbas Nasution lahir di Langgar, Alor Star, Kedah pada 1 Mac 1912. Haji Abdullah mendapat pendidikan awal daripada bapanya hingga meningkat usia 10 tahun. Selepas itu, barulah beliau memasuki Sekolah Melayu Langgar pada tahun 1920. Pada tahun 1923, beliau menyambung pelajarannya di sekolah pondok (Arab) di Pulau Pinang dan di Jitra, Kedah.

Pada tahun 1928, beliau meneruskan pengajiannya di Pondok Tok Kenali di Kota Bharu, Kelantan dan kemudian berpindah belajar di Maahad Muhammadi, Kota Bharu hingga tahun 1936. Akhir sekali, beliau belajar di pondok Ahmadiyah Bunut Payong, Kota Bharu pada tahun 1937 hingga tahun 1940. Selepas itu, beliau kembali ke sekolah pondok di Pulau Pisang, Jitra sebagai guru dan kemudiannya berpindah pula ke Pondok Haji Muhsin, Titi Besi, Kepala Batas. Pada akhir tahun 1940, Haji Abdullah Abbas Nasution membuka sebuah sekolah perguruan agama yang dikenali sebagai Madrasah Maahad Ehya Al-Ulum Ad-Diniah di Tanjung Pauh, Jitra. Madrasah ini menyediakan matapelajaran Pendidikan Agama Islam, Bahasa Melayu, Bahasa Arab dan Bahasa Inggeris. Pada tahun 1940 hingga tahun 1967, Madrasah Maahad Ehya AI-Ulum Ad-Diniah telah melahirkan kira-kira 4000 orang murid yang masing-masing diasaskan dengan pendidikan Islam.

Selain daripada mengajar, Haji Abdullah Abbas Nasution juga seorang ulama yang giat berdakwah menerusi bidang penulisan. Kegiatannya dalam bidang itu bermula sejak awal tahun 1930-an lagi. Pada tahun 1933, Haji Abdullah mula berlatih menjadi penulis sambilan di akhbar. Waktu itu beliau masih belajar di Kota Bharu, Kelantan iaitu di Pondok Tok Kenali. Dalam bidang penulisan, Haji Abdullah sering menggunakan nama samaran A.A. Pilpisani, AAN dan lbnil Arabi. Tulisannya yang sering mengimbau kepada persoalan agama itu kerap tersiar dalam akhbar Saudara, Warta Malaya di Singapura dan Sahabat di Pulau Pinang. Selain rencana agama, Haji Abdullah pernah menulis berita biasa untuk akhbar-akhbar itu. Antara bahan berita yang pernah ditulisnya termasuklah kejadian mencuri ayam, orang bergaduh dan cerita jenayah.

Haji Abdullah kemudiannya beralih kepada bidang menterjemah kitab agama daripada Bahasa Arab ke Bahasa Melayu. Antara usaha penterjemahannya yang awal ialah menterjemah kitab Tarbiah Al-ljtimaiah (Hal Ehwal Kemasyarakatan), Tarbiah Al-Wataniah (Sains Politik Mesir) dan beberapa kitab lain. Di samping menterjemah, beliau juga telah mengarang beberapa buah kitab seperti Sejarah Melayu Raya yang mencatatkan sejarah orang Melayu dari zaman Sri Vijaya dan kedatangan Islam ke Asia Tenggara. Pada tahun 1940, Haji Abdullah Abbas Nasution memulakan kerja menterjemah al-Quran al-Karim yang dicetak pada tahun 1959. Beliau juga telah menulis huraian tafsir al-Quran yang dapat disiapkannya dalam tempoh lapan tahun. Secara keseluruhan, sejak tahun 1933 hingga 1980, Haji Abdullah Abbas Nasution telah menulis dan menterjemah kira-kira 100 buah kitab dan risalah yang menyentuh pelbagai maudhuk. Kebanyakan daripada kitab-kitab itu adalah mengenai Islam, termasuklah kebudayaan dan sejarahnya. Beliau juga menulis tentang sejarah am Asia Tenggara. Dalam pada itu, beliau juga pernah menulis salasilah keturunan keluarganya dan beberapa buah buku ilmu pengetahuan seperti Geografi, Ekonomi, biografi hidup dirinya, Sains Politik, Sains Kemasyarakatan, pendidikan dan lain-lain lagi. Kebanyakan karya beliau ditulis dalam bentuk khat thuluth dan ada yang ditaip.

Haji Abdullah Abbas Nasution juga bergiat aktif dalam Persatuan Ulama Kedah (PUK). Pada peringkat awal penubuhan Persatuan Ulama Kedah (PUK), beliau dianggap sebagai seorang daripada penaja dan orang kuat persatuan itu. Ketika itu, beliau bertugas sebagai mudir di pondok yang dikendalikannya sendiri iaitu Maahad Ehya Al-Ulum Addiniah di Tanjung Pauh, Jitra, Kedah. Sebagai tokoh penaja PUK, Haji Abdullah didaftarkan sebagai ahli ke lapan dalam persatuan itu. Beliau kemudiannya dilantik sebagai Setiausaha Penaja dan seterusnya sebagai Setiausaha Kehormat PUK.

Sebagai Setiausaha Penaja dan Setiausaha Kehormat PUK, beliau telah dipertanggungjawabkan menggubal sebuah undang-undang PUK yang dibentuk berpandukan undang-undang tubuh Persatuan Pinang Peranakan (sebuah pertubuhan kebajikan India Muslim di Pulau Pinang) . Haji Abdullah Abbas Nasution telah dilantik sebagai Penolong Setiausaha PUK pada bulan Januari 1946 hingga 1949. Selepas setahun PUK bergerak di Alor Star (ibu pejabatnya di Maktab Mahmud), ia terpaksa dipindahkan ke Guar Chempedak kerana pada ketika itu Maktab Mahmud ialah sebuah sekolah agama kerajaan. Oleh kerana PUK merupakan sebuah persatuan bukan kerajaan, beberapa syarat tertentu telah dikenakan. Secara tidak langsung, keadaan itu sedikit sebanyak menjadi sekatan dan menghalang pergerakan PUK sendiri. Sebaliknya, pergerakan PUK di Madrasah At Taufikiah AI-Khairiah di Guar Cempedak lebih bebas kerana madrasah itu adalah sebuah sekolah agama rakyat yang tidak terikat dengan sebarang peraturan atau undang-undang pihak berkuasa. Mulai tahun 1949 sehingga sekitar tahun 1950-an, Haji Abdullah Abbas Nasution dilantik sebagai Ketua Hal Pelajaran menggantikan Syeikh Abdul Halim Othman yang merupakan Ketua Hal Pelajaran PUK yang pertama.

Dalam bidang politik, beliau pernah menyandang pelbagai jawatan seperti Setiausaha Kesatuan Melayu Kedah dan Setiausaha UMNO Bahagian Kubang Pasu, Setiausaha PAS Kubang Pasu dan Kuala Nerang, Ketua Dewan Ulama PAS Kedah dan juga Jawatankuasa Pusat PAS Tanah Melayu. Selain itu, beliau pernah menghadiri pertemuan penting Kongres Kesatuan Melayu Malaya yang diadakan di Kelab Sultan Sulaiman, Kuala Lumpur pada 1 Mac 1946 sewaktu menentang Malayan Union. Kehadirannya dalam pertemuan itu ialah sebagai wakil kepada PUK dan Kesatuan Melayu Kedah. Di samping itu, beliau pernah menghadiri majlis mesyuarat ulama seluruh Tanah Melayu yang berlangsung di Butterworth pada tahun 1952. Haji Abdullah bukan saja membabitkan diri dalam bidang keagamaan tetapi turut bergerak cergas dalam bidang sosial. Satu contoh pembabitan beliau ialah sebagai ahli Persaudaraan Sahabat Pena (PERSPAM). Selain itu, beliau juga merupakan tokoh pemidato yang handal. Ini dapat dilihat sewaktu beliau menyampaikan ceramah bertajuk "Riwayat dan Perjuangan Tuk Kenali" di Universiti Kebangsaan Malaysia pada 21 Februari 1978. Beliau sering menghadirkan diri ke seminar-seminar yang berkaitan dengan politik, ekonomi, sejarah, pendidikan, bahasa,sastera dan kebudayaan.

Haji Abdullah Abbas Nasution telah kembali ke Rahmatullah pada 4 Januari 1987 dalam usia 78 tahun. Perjuangan Haji Abdullah dalam PUK untuk menyatupadukan umat Islam khusus di negeri Kedah adalah satu perjuangan yang meninggalkan kesan positif terhadap perkembangan Islam di seluruh negara. Oleh yang demikian, ia wajar diketahui dan dikenang oleh generasi Islam yang terkemudian.

http://www.mykedah.com/10heritage/102_4_08.htm

Saturday, July 7, 2007


Abdur Razzaq Lubis
Rabu, 3 Oktober 2001

Abdur Razzaq Lubis
Kerinduan Mandailing dari Tanah Seberang

Kompas/arbain rambey

TERNYATA banyak sekali orang Mandailing yang pernah dan masih menduduki jabatan penting di negara tetangga kita Malaysia. Beberapa di antaranya adalah Datuk Harun Harahap yang pernah menjabat sebagai Menteri Besar, Tan Sri Muhammad Taib Nasution yang Gubernur Selangor, Tun Mohammad Hanif Nasution yang pernah menjabat sebagai Ketua Polis Diraja Malaysia (semacam Kepala Polri), dan Tun Daim Batubara yang pernah menjabat Menteri Keuangan.

"Masih banyak lagi orang Mandailing yang memegang peran penting di Malaysia, namun tidak terlacak karena tidak memasang nama marga di belakang namanya," kata Abdur Razzaq Lubis, seorang Mandailing yang kini menjalankan situs www.mandailing.org dari Penang, Malaysia.

Bagi Abdur Razzaq Lubis, persoalan Mandailing atau bukan Mandailing adalah persoalan jati diri. Di Indonesia, Mandailing dimasukkan dalam kelompok etnis Batak alias disebut Batak Mandailing. Sedangkan di Malaysia, orang Mandailing dianggap sebagai sub etnis Melayu alias dianggap Melayu Mandailing yang dalam lafal Malaysia disebut Melayu Mendeleng.

"Kami orang Mandailing bukanlah Batak dan juga bukan Melayu. Kami punya perbedaan banyak dalam hal budaya dan lain-lain. Tolong dicatat ini," kata Lubis di kantornya yang sangat asri di George Town, Penang, Malaysia, akhir September lalu. Kantor Lubis di Armenian Street ini, dulu adalah Kantor Dr Sun Yat Sen, tokoh nasional Cina saat menyusun berbagai rencana.

Dari telaah yang telah dilakukan Lubis di berbagai museum dan berbagai perpustakaan, didapatlah fakta-fakta. Pendefinisian Mandailing ke dalam etnis Batak dilakukan pemerintah kolonial Belanda semata untuk membuat "batas" antara kelompok Muslim Minang dan Muslim Aceh.

Pada daerah "batas" ini, Belanda memberikan nama Batakland sehingga otomatis etnis-etnis di wilayah itu disebut orang Batak, termasuk orang Karo, orang Pakpak dan orang Angkola.

Sampai sekarang, Lubis masih terus memperdalam telaahnya tentang perbatakan dan permandailingan ini dari berbagai sumber. Sayangnya, literatur lama tentang Mandailing memang sangat sulit diperoleh, sementara biaya untuk melakukan itu tidaklah kecil.

Untunglah The Nippon Foundation mau menolong Lubis membiayai penelitiannya yang berjudul The Politics of Identity Construction: The Case of the Mandailing People.

***

PADA zaman globalisasi ini, berbicara mengenai etnis tampaknya memang seperti mundur ke belakang beberapa langkah. Abdur Razzaq Lubis sendiri sering mendapat tudingan itu atas penggalakan soal Mandailing ini di Malaysia.

"Justru di zaman globaliasasi ini masalah penemuan jati diri menjadi penting. Orang yang belum tahu siapa dirinya, akan larut dalam globalisasi dan menjadi bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa," kata aktivis dakwah dan juga lingkungan ini.

Di Malaysia, banyak keturunan Mandailing yang sudah menanggalkan nama marganya. Dalam penelitian Lubis, ada dua hal yang mendasari hal itu. Hal pertama adalah keinginan untuk tampak menjadi murni orang Melayu karena pengaruh lingkungan, dan hal kedua adalah untuk pelarian.

Pada masa perang kemerdekaan Indonesia, banyak orang Mandailing aktivis kemerdekaan yang lari dari kejaran Belanda ke Malaysia. Mereka menanggalkan nama marganya agar tidak terlacak lagi. Salah satu di antaranya adalah Kamaludin Nasution yang lari ke Malaysia tahun 1932. Nasution ini lalu berganti nama menjadi Abdurrahman Rahim yang menjadi wartawan cukup terkenal di Malaysia pada era tahun 1960-an.

Dalam buletin Mandailing terbitan Malaysia tahun 1996, terdapat sebuah tulisan menarik. Isi tulisan itu adalah tentang mantan Wapres Indonesia Adam Malik yang ternyata juga punya hubungan erat dengan Malaysia. Adam Malik yang bermarga Batubara ini disebutkan sebenarnya kelahiran Chemor, Perak, Malaysia.

***

LUBIS memang sangat getol dengan permandailingan. Hampir segenap pembicaraan dengannya pasti diisi dengan pemikiran Mandailing. Namun, untuk menunjukkan bahwa dirinya bukanlah orang yang picik memandang kesukuan, Abdur Razzaq memaparkan fakta bahwa istrinya bukanlah orang Mandailing.

"Istri saya adalah orang Tionghoa dari marga Khoo walau sudah dimandailingkan dengan nama baru Khoo Salma Nasution," kata ayah Namora Hadi Lubis, Norma Hasya Lubis dan si bungsu Maga Hayyan Lubis.

Usaha Razzaq dalam menggali kemandailingan sangatlah besar. Mengingat ia hanyalah keturunan ketujuh dari marga Lubis yang datang ke Malaysia zaman Perang Padri di abad ke-19, Abdur Razzaq menyempatkan diri mengujungi Tanah Mandailing di Tapanuli Selatan beberapa waktu lalu, juga menjalin kontak secara teratur dengan cendekiawan Mandailing di Indonesia.

"Segala yang saya tahu tentang Mandailing saya usahakan untuk juga diketahui orang lain. Demikian pula sebaliknya. Saya selalu senang berbagi dan menggali ilmu, apa pun," kata pria kelahiran George Town, Penang, 12 Agustus 1959 ini.

Salah satu makalahnya yang dibawakannya pada seminar antropologi di Padang, Sumbar, bulan Juli lalu yang berjudul The Transformation of Traditional Mandailing Leadership in Malaysia and Indonesia in the Age of Globalization sangat banyak mendapat sambutan dari berbagai disiplin ilmu.

Selain itu, benak Abdur Razzaq Lubis amatlah banyak isinya, bukan melulu kemandailingan. Selain juga aktif dalam hal pelestarian budaya dengan menjadi perwakilan Malaysia untuk Badan Warisan Sumatera (BWS), Lubis juga aktif pada kegiatan keagamaan, hubungan antar-agama, dan juga lingkungan.

Pada Maret-April 1995, Lubis adalah wakil dari agama Islam untuk sebuah deklarasi internasional tentang kepercayaan dan lingkungan yang ditandatangani semua perwakilan agama di Ohito, Jepang. Deklarasi yang hampir senada juga ditandatangani Lubis sebulan kemudian di Istana Windsor, Inggris.

***

DALAM kancah lain, Lubis aktif di People Against Interest Debt (PAID), sebuah lembaga nonpemerintah yang berkedudukan di Penang.

Pemikiran Lubis tentang riba ini banyak yang menjadi pembicaraan, termasuk di Indonesia. Salah satu pemikirannya yang cukup kontroversial adalah soal penggunaan kembali uang emas dan perak pada negara-negara Islam juga sudah diseminarkan beberapa kali di Jakarta, termasuk sudah dibukukan.

"Saat ini ekonomi negara-negara berkembang sangat dikuasai negara Barat, sementara krisis ekonomi melanda mana pun. Mengapa? Ini karena uang kertas yang saat ini kita pakai. Uang kertas adalah uang utang," kata Lubis berapi-api.

Lebih jauh, Lubis menjelaskan uang kertas adalah selembar "surat" yang menyatakan utang, artinya ia adalah simbol dari sesuatu yang senilai dengan angka tercantum pada uang kertas. Menurutnya, uang kertas kini sangat manipulatif, bisa dicetak berjuta-juta lembar tanpa merujuk kepada sesuatu yang nyata.

Kembali ke kancah pemakaian uang emas dan perak yang sudah dirintis pada setiap Festival Karpet di Dubai, UEA, Lubis yakin kalau satu milyar penduduk Muslim dunia mau memakai kembali uang dinar dan dirham, sebuah keseimbangan ekonomi baru bisa tercipta. dollar AS tidak akan terlalu mendikte pasar lagi.

"Pendeknya, sangat banyak kehancuran dunia ini yang disebabkan oleh riba. Jangan salah. Riba itu ada 77 jenis, di antaranya korupsi dan manipulasi. Ini harus kita perangi," kata Lubis.

(Arbain Rambey, dari Penang, Malaysia )

Sunday, July 1, 2007

IMF, Penolong atau Penjerat?


Suara Pembaruan, 3 Maret 1999

IMF, Penolong atau Penjerat?

Jerat Utang IMF?
Oleh Abdul-Razzaq Lubis et al.


Banyak negara, terutama negara berkembang terlilit utang demi proses pembangunan negara. Dengan alihalih peningkatan kesejahteraan rakyat lewat pembangunan tersebut, rupanya tidak tersadari membangun melalui pengutang justru menjerat rakyat ke penderitaan beruntun. Ternyata kini mendekati bukti. Negara yang melakukan pembangunan dengan dana dari berutang, mendekati kebangkrutan. Lalu (untungnya?) disuntik lagi dengan pinjaman baru. Utang pun kian menumpuk. Sementara utang plus bunganya harus segera dilunasi.

Dalam konteks itu, di manakah posisi IMF (International Monetary Fund) yang sebagai lembaga pemberi pinjaman: sebagai penolong atau penjerat?

Buku Jerat Utang IMF? ini secara tegas menjawab persoalan itu bahwa IMF, termasuk Bank Dunia merupakan institusi pemberi pinjaman yang bermuatan riba. Ia jauh dari menghilangkan kesenjangan antara dunia maju dan dunia berkembang. Malah "bantuannya" kepada negara berkembang akan memerosokkan ke dalam utang yang lebih dalam (halaman 157).
Bunga Akumulatif

Mengapa bisa demikian? Karena adanya praktis bunga akumulatif atau riba di atas riba. Yaitu (bila) suatu pinjaman belum bisa dilunasi, lebih banyak lagi bunga ditambahkan pada utang awal yang harus dibayar. Tentu saja utang membesar dan semakin berat. Berpura-pura sebagai penolong, ternyata malah menjerat.

Buku ini ditulis oleh Abdur Razzaq Lubis et. al., yang berkebangsaan Malaysia, Lubis dkk. sesungguhnya dalam buku ini menegaskan penolakan mereka terhadap praktik bunga pinjaman yang selama ini terjadi dalam praktik ekonomi dunia. Menurut dia, sistem moneter global saat ini selalu memberikan kontrol kepada mereka yang menciptakan utang dan menarik bunga (riba), yang akhirnya menjadikan mayoritas utama penduduk dunia terbuka bagi proses memanipulasi dan eksistensi.

Praktik riba juga merupakan kerusakan total dalam ikatan mendasar kemanusiaan. Riba bertentangan secara diametral dengan konsep penghidupan dan bertransaksi masyarakat dalam suatu atmosfer saling percaya, saling peduli dan niat baik. Karena itu menurut Lubis, penghapusan riba atau bunga pinjaman adalah kunci pembuka aspirasi dan potensi sejati umat manusia.

Lubis menggambarkan, hidup sebagai negara pengutang adalah hidup dalam kesengsaraan. Tidak mungkin bagi suatu bangsa yang terbelit utang mampu meningkatkan perekonomian pada suatu angka pertumbuhan yang dapat memungkinkan membayar utangutangnya. (halaman 147).

Karena, hal itu memang sengaja diciptakan sedemikian rupa oleh piutangnya. Di sini para piutang hidup sebagai parasit dan menciptakan modal dari orang lain. Frederick Soddy, seorang pemenang Nobel, seperti dikutip Lubis dalam buku ini, mengatakan dengan jujur bahwa seluruh keuntungan dari pengeluaran (kredit) uang menyediakan modal bagi bisnis perbankan besar (negara donor) hingga seperti yang ada sekarang ini.

Richard J. Barnet dan Ronald E. Muller pun mengatakan bahwa negaranegara miskin (peminjam) telah menjadi sumber modal keuangan (melalui pembayaran bunga utang) bagi ekspansi perusahaan-perusahaan global ke seluruh dunia. Begitulah cara orang Eropa dan Amerika mengumpulkan kekayaan mereka dengan "bahasa sales" demi kemajuan teknologi dan industri (halaman 165).

Karena itu, Lubis mengingatkan agar negaranegara dunia ketiga seharusnya bersikap hatihati terhadap pemberian bermuatan orang asing dan utang bermuatan bunga. Syarat-syarat yang terkuantifikasi dengan rinci, yang dilampirkan pada pinjamanpinjaman bantuan, menandakan adanya hegemoni sistem moneter terhadap negaranegara berdaulat di dunia ketiga (halaman 157).

Ketika suatu bangsa melakukan kontrak bantuan penuh, negara itu benarbenar tidak mungkin meraih kembali posisi untuk menentukan nasib sendiri. Sebab, sekali suatu pemerintahan menggadaikan seluruh pendapatannya, ia pasti akan tenggelam menjadi negara lesu, lamban dan impoten. Bantuan, bukannya membantu mengembangkan negara untuk maju, melainkan malah menghasilkan kondisi terbelakang. Integrasi ke dalam "pasar bebas" tidak hanya menghancurkan bentukbentuk aktivitas ekonomi yang sudah ada, juga membawa kepada kemiskinan, kelaparan dan kekurangan gizi pada tingkat yang tak pernah disaksikan sebelumnya (halaman 159160).

Lingkaran Utang

Kini menurut Lubis, ketika seluruh dunia terjebak dalam lingkaran utang, kaum monetaris berpurapura menyelamatkan manusia dari masyarakat termonetisasi. Yaitu dengan mengganti sistem uang kertas yang tidak lagi diperlukan dengan suatu masyarakat tanpa utang kontan.
Inilah, sindir Lubis, versi baru tanda pengenal budak yang dipasang di setiap bayi yang baru lahir, yang menandainya sebagai budak One World Establishment yang disingkat OWE (utang).

Dengan demikian Lubis sampai pada suatu kesimpulan bahwa segala bentuk persoalan kemanusiaan berskala global saat initermasuk krisis ekonomiberawal dari pemberlakuan ekonomi riba atau bunga utang. Karena itu, Lubis mengingatkan, selama dunia masih berada di bawah tirani bunga utang, kebebasan manusia, keadilan sosial dan eksistensi yang seimbang akan terus menghindari kita.

Karena itu, harap Lubis, kita harus menghujat bunga utang, menghapus ekonomi bunga utang dan menggantinya dengan ekonomi bebas bunga. Sehingga, pinjaman tidak akan lagi menjerat. Berbeda dengan bentuk pinjaman IMF selama ini.

Akhirnya, buku yang ditulis Abdur Razzaq Lubis dkk ini, seperti dikatakan Zaim Saidi dalam pengantarnya, memang mulai menggulirkan pilihan lain kepada kita secara radikal (halaman xxx).

Seperti diakui Lubis dalam epilognya, sebagai awal dari perang melawan suatu sistem satu dunia (yang bunga utang sebagai andalannya untuk "menjerat leher" pengutang) (halaman 198). "Akankah kita menanggapinya dengan serius? Ataukah kita anggap Lubis dkk sebagai kaum utopis yang hendak memutar balik arah jarum sejarah?" tanya Zaim Saidi dalam akhir pengantarnya.

Bagaimana pun, buku yang terdiri atas 8 tulisan plus prolog dan epilog ini sangat menarik untuk disimak. Sekaligus sebagai pelajaran berharga bagi pemimpin bangsa kita.
Sufandi Maruih.