Saturday, June 30, 2007

Senjakala Uang Kertas


Koran Tempo, Ruang Baca
Edisi 27 Juni 2007

U L A S A N

Senjakala Uang Kertas

''We have gold because we cannot trust Government'' (Pernyataan Herbet Hoover dihadapan Presiden Rosevelt, tahun 1933)

Judul Buku: Gold Dinar, Sistem Moneter Global yang Stabil dan Berkeadilan
Penulis: M. Luthfi Hamidi, MA
Kata Pengantar: Dr. Mustofa Edwin Nasution
Penerbit: Senayan Abadi Publishing
Cetakan: 1, Februari 2007
Tebal: xxv + 221 halaman

Tahukah Anda, uang kertas dalam saku Anda menyimpan banyak persoalan? Ini bukan cuma soal betapa sulit mendapatkannya, namun lebih karena pada lembar-lembar uang kertas itu tersimpan masalah ekonomi dan politik berskala global. Di balik carikan uang kertas, bahkan, terdapat konspirasi, tarik-menarik kekuasaan yang membuat timpang wajah percaturan ekonomi dan politik dunia saat ini.

Buku Gold Dinar, Sistem Moneter yang Stabil dan Berkeadilan, yang ditulis oleh M. Luthfi Hamidi, ini mengurai carut-marut wajah moneter dunia sejak sistem mata uang kertas diperkenalkan lalu diterima masyarakat dunia sebagai alat traksaksi yang final. Berbekal data dan kajian mendalam, Luthfi memapar sejumlah potret ketimpangan ekonomi yang melanda negara-negara dunia ketiga akibat penerimaan mereka terhadap sistem mata uang kertas (fiat money) itu. Fiat money adalah penggunaan mata uang berbasis kertas yang diterbitkan pemerintah suatu negara tanpa disokong logam mulia (emas dan perak).

Menurut Luthfi, penggunaan uang kertas sebagai alat transaksi moneter internasional itu telah membuka ruang bagi munculnya penjajahan baru dan salah satu biang ketidakadilan moneter di dunia. Melalui mata uang kertas, sebuah negara dapat menjajah, menguasai, bahkan melucuti kekayaan negara lain. Negara yang memiliki nilai mata uang kertas lebih kuat menekan negara lain yang mata uang kertasnya lebih lemah.

Contoh nyata penjajahan melalui mata uang itu terlihat dalam penggunaan uang kertas dolar Amerika Serikat (AS) yang diterima oleh 60 persen penduduk bumi. Inilah ironi terbesar dunia saat ini, menurut Luthfi. Dolar yang terdistribusi secara luas menempatkan AS pada tempat istimewa. Melalui dolar--mata uang yang tak berbasis pada emas itu--AS mengeksploitasi, memajaki warga dunia dengan mengalihkan beban inflasi yang ditanggungnya pada seluruh pemakai dolar di seantero dunia. Negara-negara ketiga didera krisis ekonomi berkepanjangan lantaran harus membayar inflasi yang ditimbulkan oleh penggunaan uang kertas tersebut.

Bukan itu saja. Ketidakadilan juga tersimak saat negara-negara ketiga menyerahkan pelbagai komoditas mereka seperti minyak, kayu dan kekayaan alam lainnya sementara AS cukup menukar semua komoditas itu dengan uang kertas yang bisa dicetaknya kapan saja. Nah, menurut buku ini, sepanjang dolar tetap dipakai dalam pelbagai transaksi moneter internasional, ketimpangan moneter dan krisis ekonomi akan terus melanda negara-negara ketiga.

Lantas, bagaimana bila mau terbebas dari ketidakadilan moneter dan krisis ekonomi tersebut? Caranya: sistem moneter internasional saat ini yang didominasi uang kertas itu--dolar dan mata uang kertas kuat lainnya seperti euro dan yen--harus mendapat alternatif lain. Apa itu? Pilihan Luthfi jatuh pada mata uang dinar emas (gold dinar).

Dinar emas yang dimaksud adalah mata uang berupa kepingan koin berbahan baku emas 22 karat seberat 4,25 gram. Kendati disebut dinar, kata itu sejatinya sudah dikenal jauh sebelum Islam datang. Di mata Luthfi, inilah mata uang sejati. Pada dinar terdapat kestabilan nilai dan keadilan moneter karena mata uang tersebut berbasis komoditas (commodity currency). Dinar bernilai karena kandungan emas yang dimilikinya (intrinsik). Dinar tidak terikat keputusan politik apapun. Ini berbeda dengan mata uang kertas yang dianggap bernilai karena sebaris angka dicetakkan di atas kertasnya (ekstrinsik) lalu mendapat pengesahan pemerintah (negara).

Argumentasi kembali ke dinar emas tidak sampai di situ. Buku yang ditulis berdasarkan tesis yang diraih Luthfi di Markfield Institute, Inggris (2005) ini membentangkan pelbagai data berikut analisis seputar keunggulan mata uang dinar emas dan kerapuhan sistem mata uang berbasis uang kertas. Mengedepankan sejumlah variabel dan mengutip analisis para pakar ekonomi dunia, Luthfi tiba pada kesimpulan bahwa mata uang dinar emas terbukti lebih unggul dari mata uang kertas manapun. Penggunaan mata uang berbasis kertas (fiat money) patut ditinggalkan dan dinar emas (gold dinar) harus dikembalikan ke posisi terhormat sebagai mata uang internasional. (Lihat Bab II: Fiat Money atau Emas?)

Berikutnya, pada bab Gold Dinar dan Fungsi Uang Universal, pembaca diajak memahami universalitas emas. Dinar yang berbasis emas adalah mata uang yang mandiri dan sejarah telah membuktikan betapa mata uang itu dikenal sebagai extra ordinary currency yang anti-inflasi. Bahkan, dinar emas tidak terikat oleh kekuasaan politik manapun. Sebuah pemerintahan atau negara bisa jatuh dan uang kertas yang dicetak sebuah negara bisa kadaluarsa atau mengalami kemerosotan nilai. Namun, uang koin emas tetap beredar dan dihargai sesuai nilai pasar. Bukan negara yang membuat emas bernilai, melainkan pasar. (hlm. 79)

Dalam sejarah, koin dinar emas terbukti diterima sebagai alat moneter universal. Ribuan tahun lamanya masyarakat dunia dari pelbagai peradaban memilih mata uang ini sebagai alat tukar dalam aneka praktik keuangan. Selama ribuan tahun pula, perdagangan dunia menganut konsep bimetalisme, kebijakan moneter berbasis emas dan perak. Imperium Romawi menggunakan denarius, mata uang berupa koin emas bergambar Hercules bersama dua putranya, Herculyanoos dan Qustantine. Di Cina dikenal qian, mata uang yang juga berbasis logam.

Sementara itu, penggunaan fiat money baru dikenal pada abad 20 ini. Penandanya, saat sistem Bretton Woods ambruk pada 1971. Emas yang selama ribuan tahun menjadi standar mata uang (classical gold standard) diganti dengan sistem kurs mengambang (flexible excange rate) yang sama sekali tak lagi bersandar pada emas. Dunia kemudian hanya mengenal satu mata uang kertas yang mendominasi perdagangan dan menjadi pilihan mengisi cadangan devisa oleh berbagai negara, yaitu dolar AS.

Ditinggalkannya emas sebagai standar moneter internasional bukan tanpa sebab lain. Luthfi mengungkapkan, penyingkiran emas sebagai standar moneter merupakan upaya sistemik. Mengutip pernyatan Robert Mundel, peraih Nobel Ekonomi, emas mengalami marginalisasi karena konspirasi internasional. Salah satunya melalui penciptaan aset Special Drawing Right (SDR) yang diciptakan International Moneter Fund (IMF). Seperti dolar, SDR sebelumnya didukung oleh emas namun lambat laun setelah harga emas melesat naik pada 1970-an, garansi emasnya dicabut. (hlm. 148)

Buku yang ditulis Luthfi ini melengkapi langkanya literatur yang mengulas mata uang berbasis emas sebagai mata uang alternatif dalam usaha perbaikan wajah ekonomi dunia yang lebih berkeadilan. Boleh dikata, telaah mendalam seputar mata uang emas ini tak banyak dilakukan oleh pengamat atau pakar ekonomi kontemporer. Untuk menyebut beberapa, topik serupa terdapat dalam buku Jerat Utang IMF? karya Abdurrazaq Lubis (1998), Dinar Emas, Solusi Krisis Moneter oleh Ismail Yusanto, et.al (2001), serta Lawan Dolar dengan Dinar (2003) dan Kembali ke Dinar (2004)--keduanya buah pena Zaim Saidi.

Beberapa buku itu tampil dengan sudut pandang berbeda dalam memandang keberadaan dinar, namun dalam semangat yang sama: dunia perdagangan harus kembali pada mata uang berbasis emas, bukan fiat money.

Adakah gagasan mereka ini hanya sebuah utopia? Faktanya, tidak. Menyadari kelemahan fiat money, kesadaran kembali pada mata uang berbasis logam mulia ini sudah bertumbuh di pelbagai belahan dunia. Pamor dinar yang meredup kembali dihidupkan oleh Syaikh Dr Abdalqadr as-Sufi, seorang tokoh sufi asal Skotlandia. Di Eropa, gagasan kembali menggunakan dinar emas digaungkan oleh Umar Ibrahim Vadillo, penulis buku Return of The Gold Dinar (1991). Bahkan, koin dinar emas telah kembali dicetak oleh Islamic Mint Spanyol dan telah diedarkan sebagai alat transaksi dalam World Islamic Trading Organization (WITO).

Beberapa negara juga telah melakukan transaksi perdagangan dengan dinar emas seperti yang dimulakan Malaysia dan Iran. Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad adalah satu-satunya pemimpin negara yang berani mengatakan dinar harus dikembalikan sebagai alat perdagangan internasional. Di Indonesia, belum terlihat keberanian pemimpinnya.

Kendati tak banyak mendapat dukungan pemerintah, gagasan kembali ke dinar di Indonesia bertumbuh di tengah masyarakat. Di beberapa kota, telah berdiri sejumlah wakala, gerai pembelian dinar. Di Indonesia, sejak tahun 2001, mata uang dinar dicetak oleh PT. Logam Mulia, anak perusahaan PT. Antam Tbk dan diedarkan oleh Islamic Mint Nusantara.

Januari 2003, terbentuk pula Forum Penggerak Dinar Dirham Indonesia (FORINDO) yang menandatangani Deklarasi Gerakan Internasional Gold Dinar dan International Silver Dirham. Forum ini terdiri dari Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Murabitun Nusantara, Permodalan Nasional Madani (PNM), Yayasan Dinar Dirham, Pusat Inkubasi Usaha Kecil Menengah (PINBUK), Wakala Adina, Forum Zakat Nasional, Asosiasi Bank Syariah Indonesia dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Selain untuk transaksi keuangan, dinar digunakan untuk mahar, zakat, tabungan haji dan investasi.

Buku Gold Dinar--juga beberapa buku lainnya--memberi peyakinan, bila dinar tegak sebagai alat moneter internasional, sebuah tatanan kehidupan perekonomian baru yang lebih stabil dan berkeadilan bukan utopi. Gagasan kembali pada dinar emas yang diusung buku ini berangkat dari kesadaran mengoreksi sistem moneter uang kertas yang menimbulkan kepincangan ekonomi global. Nah, bila proposal gold dinar terlaksana, ini bisa menjadi bentuk reformasi moneter yang akan mempengaruhi lanskap baru moneter dunia. (hlm. 180). Buku ini patut dibaca para praktisi dan pengamat ekonomi untuk mendapatkan sudut pandang berbeda dalam mengatasi keruwetan ekonomi Indonesia dan dunia hari ini.
· EMIL W. AULIA, peminat kajian numismatika

http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwNw==&dokm=MDY=&dokd=Mjc=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=VUxT&uniq=NTEz

Tuesday, June 26, 2007

Ramadan in Sumatra: The Magical Music in Odd Numbers

Gordang Sambilan performance at the Penang Festival
Permainan Gordang Sambilan di Pesta Pulau Pinang
Foto Khoo Salma Nasution

Ramadan in Sumatra: The Magical Music in Odd Numbers

For most of this month, Muslims around the world are observing Ramadan, their holy month of fasting and prayer. Because Ramadan is a month in a lunar calendar, it falls at a different time each year in the Western calendar.

Among the Mandailing people in the Indonesian state of Sumatra, the final days of Ramadan are celebrated with the joyous sound of a sacred traditional ensemble called the gordang. A gordang is made up of drums, gongs, cymbals and flute, and always includes an odd number of drums, because the Mandailing regard odd numbers as magical. A gordang with five drums is played in a ceremony to cure disease, to ask the spirit of an ancestor to enter the shaman and make him clairvoyant so he can understand why the person is sick. A three-drum ensemble may be played at a funeral.

The Mandailing consider nine, or "sembilan" in their language, to be the most magical number, and the gordang sembilan, with nine drums, is reserved for the most important occasions. In the past, the gordang sembilan could only be played for certain royal ceremonies -- to celebrate a noble marriage, the funeral of a raja, or king, or the death of a tiger, the animal considered to be the king of the jungle. After many of the Mandailing people converted to Islam in the 19th century, it became customary to play the gordang sembilan to celebrate the final days of Ramadan.

The Mandailing are primarily farmers, growing rice, cinnamon, coffee and rubber. During years of Dutch rule in Sumatra and later occupation by Japan, Mandailing culture underwent changes, and some say that valuable traditions were lost. But in recent years, the Mandailing have made efforts to preserve their unique cultural heritage -- especially their sacred music. They now play the gordang sembilan not only at Ramadan but in musical performances and competitions, finding artistic expression in what was once a purely sacred ritual.

Our thanks to anthropologists Zainudin Pangaduan Lubis and Peter Zabielskis.

http://www.pulseplanet.com/feat_archive/Dec00/index.html

Thursday, June 21, 2007

Bahrum Rangkuti

Bahrum Rangkuti lahir pada tanggal 7 Agustus 1919 di Galang, Riau. Ayahnya bernama M. Tosib Rangkuti dan ibunya, Siti Hanifah Siregar. Jadi, walaupun Bahrum lahir di Riau, ia adalah putra Mandailing asli. Rangkuti adalah marganya. Bahrum dibesarkan dalam keluarga Islam yang kental, ayahnya mendalami tarikat dan ibunya menyenangi tasawuf dan mistik.

Bahrum mengawali pendidikan formalnya di kota Medan. Ia masuk ke HIS (Hollands Inlandse School) , sekolah Belanda, setingkat sekolah dasar. Dari HIS, ia melanjut ke HBS (Hogere Burger School), setingkat dengan sekolah menengah pertama. Tamat dari HBS, Bahrum pindah ke Yogyakarta dan melanjutkan studinya di AMS (Algemene Middekbare School), setingkat dengan sekolah menengah atas. Dari AMS ini ia melanjutkan lagi pendidikannya ke Faculteit de Lettern, yang kemudian menjadi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Ia belajar bahasa-bahasa Timur sampai tingkat sarjana muda.

Ia juga pernah belajar di Jamiatul Mubasheren, Rabwah, di pakistan pada tahun 1950. Rabwah adalah sebuah desa kecil di tepi sungai Cenaab, tempat latihan para misionaris Islam yang bertugas ke seluruh dunia. Akan tetapi, ternyata, Bahrum tidak berminat menjadi misionaris.

Sekembali dari Pakistan, Bachrum melanjutkan kuliahnya di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, untuk mendapatkan gelar sarjana penuh dan tamat pada tahun 1960. Ia menguasai tujuh bahasa, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Arab, Urdu, dan bahasa daerahnya.

Dengan pengetahuan bahasa yang dimilikinya, Bachrum, kemudian bekerja sebagai penerjemah. Ia bekerja sebagai penerjemah bahasa Inggris dan Prancis, di samping menjadi wartawan freelance dan guru di sebuah sekolah menengah atas di Jakarta.

Bachrum Rangkuti pernah berceramah mengenai aspek sosial hari raya di depan para perwira ALRI pada saat Angkatan Laut RI itu dipemimpin oleh Edi Martadinata. Ternyata, ceramahnya itu sangat memukau Edi dan para perwira. Lalu, Edi meminta Bachrum untuk menjadi Ketua Dinas Perawatan Rohani Islam di AL dan diberi pangkat kolonel tituler.

Walaupun telah menjadi kolonel tituler ALRI, Bahrum tidak dapat mengabaikan kecintaannya terhadap dunia sastra. Dunia itu selalu menarik dan memanggil hati nuraninya. Oleh karena itu, ia pun muncul di Pusat Kesenian Jakarta pada tanggal 28 September 1969 membacakan sajak-sajak Iqbal, pengarang dari Pakistan.

Karya Bahrum Rangkuti

1)
Puisi:

a. Sajak-sajak yang Sudah Diterbitkan
(1) “Tuhanku” Pandji Poestaka (1943)
(2) “Langit dan Bumi Baru” Pandji Poestaka (1944)
(3) “Peperangan Badar” Pandji Poestaka (1944)
(4) “Prajurit Rohani” Pandji Poestaka (1944)
(5) “Akibat” Pantja Raja (1946)
(6) “Borobudur” Pantja Raja (1946)
(7) “Cita-Cita” Pantja Raja (1946)
(8) “Doa Makam” Pantja Raja (1946)
(9) “Hidupku” Pantja Raja (1946)
(10) “Insyaf” Pantja Raja (1946)
(11) “Kembali” Pantja Raja (1946)
(12) “Laut Kenangan” Pantja Raja (1946)
(13) “Sakura” Pantja Raja (1946)
(14) “Tugu Kenangan” Pantja Raja (1946)
(15) “Laila” Gema Suasana (1948)
(16) “Pasar Ikan” Gema (1948)
(17) “Sajak-Sajak Muhammad Iqbal” Siasat (1951)
(18) “Syuhada” Hikmah (1952)
(19) “Iqbal” Hikmah (1953)
(20) “Malam dari Segala Malam” Gema Islam (1962)
(21) “Pesan” Gema Islam (1966)
(22) “Nafiri Ciputat” Horison (1970)
(23) “Anak-Anakku” Horison (1971)
(24) “Dunia Baru” Horison (1971)
(25) “Ayahanda” Horison (1971)
(26) “Bunda” Horison (1971)
(27) “Lebaran di Tengah-Tengah Gelandangan” Horison (1971)
(28) “Mercon Malam Takbiran” Horison (1971)
(29) “Pejuang” Horison (1971)
(30) “Rumah” Horison (1971)
(31) “Sembahyang di Taman HI” Horison (1971)
(32) “Tuhan di Tengah-Tengah Insan” Horison (1971)
(33) “Sumbangsih” Koninklijke Boekhandel dan Drukkery G. Kollf dan Co
(34) “Hikmah Puasa dan Idul Fitri” Koninklijke Boekhandel dan Drukkery G. Kollf dan Co

b.
Sajak-sajak yang Belum Diterbitkan dan Tahun Ciptaannya
(1) “Tao Toba” (1970)
(2) “Sipirok” (1970)
(3) “Natalandi Gita Bahari” (t.th.)
(4) “Nunukan” (1970)
(5) “Mesjid di Tanjung Selor” (1970)
(6) “Ka’bah” (1971)
(7) “Bungan Bondar” (1971)
(8) “Mina” (1971)
(9) “Madinah” (1971)
(10) “Arafah” (1971)
(11) “Makkah” (1971)
(12) “Hajir” (1971)
(13) “Nisbah” (1971)
(14) “Yang Genap dan Yang Ganjil” (1971)
(15) “Bengkel Manusia” (t.th.)
(16) “meluruskan bahtera” (1973)
(17) “Nyanyian di Pohon Kelapa” (1973)
(18) “Mi’raj” (t.th.)
(19) “kepada Biniku A. Bara” (t.th.)
(20) “Isa a.s.” (1969)
(21) “Idul Fitri” (t.th.)
(22) “Mula Segala” (1969)
(23) “Muhammad s.a.w.” (1969)
(24) “Beton, Beling, dan Besi” (t.th.)
(25) “Laut Lepas Menanti” (t.th.) (PDS. H.B. Jassin)

2) Drama
(1) “Laila Majenun” Gema Suasana (1949)
(2) “Sinar memancar dari Jabal Ennur” Indonesia (1949)
(3) “Asmaran Dahana” Indonesia (1949)
(4) “Arjuna Wiwaha”

3) Cerpen

(1) “Ditolong Arwah” Pandji Poestaka (1936)
(2) “Rindu” Poedjangga Baroe (1941)
(3) “Renungan Jiwa” Pandji Poestaka (1942)
(4) “Ngobrol dengan Cak Lahama” gema Suasana (1946)
(5) “Sayuti Parinduri Alfaghuru” atau “Antero Krisis Cita, Moral, dan benda” Zenith (1952)
(6) “Laut, Perempuan, dan Tuhan” Gema Tanah Air (1969)


4)
Esai
(1) “Setahun di negeri Bulan Bintang I” Zenith (1951)
(2) “Setahun di negeri Bulan Bintang II” Zenith (1951)
(3) “Setahun di negeri Bulan Bintang II” Zenith (1951)
(4) “Angka dan Penjelmaannya” Zenith (1951)
(5) “Pengantar kepad Cita Iqbal” Indonesia (1953)
(6) “Kandungan Al Fatihah” (1953)
(7) “Nabi Kita” Bacaan untuk Anak-anak (t.th.)
(8) “Islam dan kesusastraan Indonesia Modern”: skripsi s-1 (1961). Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul
(9) “Islam and “Modern Indonesian Literature”
(10) “Pramudya Ananta Toer; dan Karya seninya” (1963)
(11) “Terapan Hikmah Isra dan Mikraj dalam kehidupan Sehari-hari” Operasi (1968)
(12) “Muhammad Iqbal Pemikir dan Penyair” ceramah di TIM (1969)
(13) “Ceramah Tentang Cita-Cita M. Iqbal” TIM (1976)
(14) “Al Quran, Sejarah, dan Kebudayaan” Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar (1976)
(15) “Sejarah Indonesia I dan II”
(16) “Metode Mempelajari Tafsir Qur’an dan Bahasa Arab”
(17) “Sejarah Khalifah Usman r.a”
(18) “Sejarah Nabi Muhammad s.a.w”
(19) “Islam dan PEmbangunan”
(20) “The Spritual Wealth in Islam”

5) Terjemahan

(1) “Puisi Dunia” karya Sophocles dari Antagone (1948)
(2) “Dengan Benih Kemerdekaan” karya Alexander Pushkin (1949)
(3) “Kepada Penyair” karya M. Iqbal
(4) “Insan dan Alam” karya M. Iqbal (1953)
(5) “Waktu itu Adalah Pedang” karya M. Iqbal (1953)
(6) “Iqbal Di Hadapan Rumi” karya M. Iqbal (1953)
(7) “Soledad Montoya” karya Lorca
(8) “Lintas Sejarah Dunia” karya Jawaharlal Nehru
(9) “Asrar-J. Khudi” karya Dr. Muhammad Iqbal.

http://www.pusatbahasa.depdiknas.go.id/

Mandailing Mart: Trend Social

Oleh Julkifli Marbun

Mandailing Mart: Trend Sosial

Tulisan ini sebenarnya bukan lah sebuah artikel ekonomi perihal Mandailing Mart. Tapi hanya mengenai sebuah trend social yang menggejala. Mandailing Mart yang dimaksud adalah gejala kecenderungan sosial masyarakat Mandailing dalam menggeluti usaha kelontong kecil, mirip sebuah mart atau minimarket, yang menguasasi kelompok kecil dan menengah masyarakat di Jakarta atau mungkin di Indonesia.

Seperti halnya komunitas Tegal yang sangat terkenal itu yang banyak menggeluti rumah makan dari Tegal alias warung tegal yang disingkat 'warteg' yang dapat dikatakan menjadi tulang punggung masyarakat kecil di Jakarta. Kelompok komunitas Tegal ini, mengambil persan sosial yang sangat penting dengan menyediakan salah satu profesi yang ikut serta dalam membangun masyarakat Ibukota dan kota-kota lain di Indonesia dengan makanan dan rumah makan dengan harga yang relatif murah. Dengan dibandingkan misalnya dengan rumah makan Padang, yang dikelola oleh orang-orang Padang dan lain sebagainya.

Demikian halnya dengan orang Mandailing. Namun spesialisasi mereka ini terletak pada barang kelontong atau sembako. Sebagaimana warteg, toko-toko sembako milik orang-orang Mandailing di Indonesia bukanlah tanpa pesaing. Sebut saj misalnya, toko grosir milik toke Cina, Alfa Mart, Super Market dan lain sebagainya. Namun bagai mana mereka survive???

Itulah pertanyaan yang sering penulis lontarkan kepada mereka-mereka yang terlibat dengan usaha ini. Dari beberapa tanya jawab dengan orang-orang Mandailing dapat disimpulkan beberapa hal:

Soal Survive:

Toko-toko sembako yang dikelola oleh orang-orang Mandailing tersebut menyediakan barang-barang dengan harga yang murah. Sehingga banyak pelanggan yang datang. Resikonya, memang, adalah si pemilik toko harus sangat bersabar dengan untung yang sangat kecil dari setiap item barang yang dijualnya. Dengan demikian, walaupun harus bersaing dengan toko-toko grosil milik pemodal besar, mereka tetap survive dan dapat bertahan dengan pelanggan-pelanggan tetap mereka.

Toko-toko sembako milik para mandailing tersebut, mempunyai persatuan alias koperasi yang sangat kuat yang menjadi sumber permodalan dan sekaligus sumber supplai barang-barang dengan harga yang sangat murah. Dengan demikian, mereka yang terlibat dengan usaha ini dapat mendapat kemudahan mendapat permodalan dan supplai barang yang sedang tren dan lagi murah.

Melalui paguyuban dan koperasi tersebut, setiap anggota dapat sharing informasi mengenai lokasi-lokasi strategis untuk membuka toko sembako. Sehingga setiap anggota yang sudah eksis dapat memperluas jaringan tokonya atau koperasi dapat menyarankan dan mengarahkan anggota barunya untuk membuka toko alias berinvestasi di daerah tersebut.

Target-target lokasi mereka adalah daerah perumahan yang belum memiliki toko sembako dan kelontong yang lengkap, atau perumahan yang baru buka, atau perkampungan yang masih belum memiliki toko-toko atau perumahan yang sudah banyak toko-tokonya namun masih terbuka peluang untuk bersaing.

Setiap toko selalu mengadakan perjumpaan secara berkala sehingga mereka dapat saling membantu mengatasi masalah masing-masing. Misalnya, apabila satu item barang tidak laku di suatu tempat mereka akan segera melemparkannya ke tempat yang masih laku penjualannya.

Modal yang dibutuhkan sangat variatif. Karena ini merupakan usaha kecil, konsentrasi modal dalam kisaran 10-30 juta tergantung tempat dan kondisi.

Adanya atau tersedianya sumber daya manusia yang sangat membludak. Orang-orang Mandailing, yakni generasi mudanya, merupakan kalangan perantau yang menjamin tersedianya SDM untuk menopang usaha ini. Mereka-mereka yang masih baru merantau dari Tanah Mandailing akan sangat berguna sebagai petugas magang di toko-toko tersebut, sehingga pemilik toko dapat mempekerjakan pekerja dengan gaji yang ekonomis.

Pihak paguyuban dan Koperasi sangat membantu dalam pengurusan perijinan dan pendirian toko sembako kecil sehingga menghemat kost dan biaya yang harus dikeluarkan oleh investor kecil tersebut. Di samping itu para anggota juga saling menjaga keselamatan dan keamanan anggota masing-masing dari pihak-pihak yang menjadi penyakit sosial seperti maling, pencuri, preman dan pejabat yang korup. Dengan demikian para toko sembako ini sangat disegani di tempat perkampungan-perkapungan tersebut.

Satu titik keistimewaan dari kelompok Mandailing yang sebagian besar bermarga Nasution, Lubis, Daulay, Rangkuti dll ini adalah kemampuan mereka dalam beradaptasi dengan sosial di Indonesia. Banyak para pemilik toko sembako tersebut juga diangkat oleh masyarakat setempat sebagai pemimpin agama, imam, khatib dan lain sebagainya di mesjid-mesjid setempat. Dengan demikian posisi mereka sebagai saudagar mendapat dukungan dari masyarakat.

Bila dilihat dari segi sejarah, paguyuban saudagar Mandailing ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sejak abad pertengahan (abad 15-16), orang-orang Mandailing telah terlibat dalam persatuan perdagangan yang terealisir ke dalam kelompok-kelompok pedagang. Marga harahap misalnya merupakan kelompokm pedagang kuda (sebagai ternak dan alat transportasi) sejak dahulu kala. Dapat dipastikan bahwa seluruh tanah Batak pernah dikuasasi oleh perdagangan kuda kelompok komunitas ini.

Marga Hasibuan, Pulungan, Nasution misalnya merupakan kelompok pedaganga emas yang menguasasi perdagangan akasesoris perhiasan emas di seluruh tanah Batak. Setiap onan di tanah Batak pasti terdapat sebuah kios atau toko perhiasan emas dan barang berharga lainnya dari kelompok marga ini.Seperti halnya marga Hutagalung dan Marpaung dengan perdagangan kelontong mereka yang menghubungkan setiap huta-huta yang terpencil dari daerah-daerah pedalaman tanah Batak. Semuanya merupakan latar belakang dari bentuk tren sosial seperti ini.

Namun, profesi seperti Mandailing Mart ini seharusnya mendapat dukungan dari pihak-pihak terkait. Termasuk pemerintah, pemilik modal dari orang-orang Mandailing, kelompok pemerhati masalah-masalah sosial dan lain sebagainya. Karena sebagaimana sebuah tren, profesi ini dapat saja tidak dapat bertahan karena pertukaran dan perputaran zaman. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sekarang ini orang-orang Mandailing sudah banyak yang teremansipasi. Kelompok Mandailing tidak saja terlibat dalam sektor yang sekarang ini. Beberapa di antaranya sudah menduduki posisi-posisi puncak di Indonesia. Sebagai pengusaha ternama, politikus, petinggi militer, pejabat dan lain sebagainya.

Sektor-sektor usaha orang-orang Mandailing juga sudah mencakup sebuah skala yang lebih besar. Sepeti misalnya pertambangan, kontraktor bangunan, keuangan, jasa dan lain sebagainya. Namun, walaupun begitu, Mandailing Mart, sebagai sebuah lahan profesi bagi kalangan menengah ke bawah harus tetap dipertahan dan dikembangkan agar dapat bersaing dengan kelompok-kelompok sejenisnya dari komunitas yang lain.Kelompok menengah ke bawah yang kuat dan solid akan membantu ketahanan sistem sosial dan budaya sebuah kelompok masyarakat. Sehingga kita tidak usah heran mengapa kelompok Mandailing dapat berusah berdiri sendiri di kancah peradaban Indonesia dengan sistem budaya dan identitas sendiri.

Syeikh Juned Tola: Berjasa di Mandailing dan di Semenanjung

Syeikh Juned Tola

Di Padang Rengas pengajian pondok telah dikenali sejak tahun 1850-an, yang didirikan oleh seorang ulama yang lari dari pulau Jawa kerana menentang sistem kultur (sistem tanaman paksa) yang dikuatkuasakan oleh penjajah Belanda di pulau itu. Namanya Haji Abdul Manan. Beliau berasal dari Pesantren Ambal. Dalam usahanya ini beliau disokong oleh Tok Paduka Abdul Latif, seorang pembesar jajahan Kerian.

Usaha beliau ini kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Haji Nur. Kemudian digantikan oleh menantunya Haji Saleh. Apabila Haji Saleh meninggal dunia, maka pengajian pondok di Padang Rengas terhenti untuk seketika, sebab tidak ada tokoh yang dapat meneruskan usaha pengajian ini. Sampailah Syeikh Juned kemudiannya datang dan mengajar di Padang Rengas.

Kelahiran

Syeikh Juned dilahirkan pada tahun 1897 di Tarlola, sebuah kampung kecil termasuk daerah Maga, Kota Nopan, Kabupaten Tapanuli Selatan di wilayah Sumatra Utara, Indonesia. Beliau termasuk puak Mandailing dengan marga (clan) Rangkuti. Nama asal beliau ialah Simanonga.

Pendidikan

Pendidikan awal beliau ialah sekolah desa (sekolah rendah tiga tahun) di kampung Maga. Beberapa tahun kemudian beliau berpindah ke Tanah Deli (di Sumatra Utara bahagian Timur), untuk kemudiannya pergi ke Besilam (Babussalam), Langkat. Besilam dikenali sebagai sebuah pusat tarikat Naqsyabandi. Pemukiman itu diasaskan oleh Syeikh Abdul Wahab Rokan.

Di Besilam beliau memulai pengajian agamanya. Sebab kesungguhan beliau menuntut ilmu, beliau disayangi oleh [Syeikh Abdul Wahab]], gurunya yang memberinya nama "Juned" mengambil nama seorang ulama tasawuf yang terkenal, iaitu "Syeikh Juned al-Baghdadi".

Kemudian di belakang nama beliau ditambahkan (oleh siapa?) "Tola". Menurut suatu pendapat kata itu singkatan daripada "Tarlola", kampung kelahirannya. Namun, Datuk Haji Asri bin Haji Muda (Datuk Asri), menantu allahyarham (Wawancara: 12 Oktober 1989) tidak dapat memastikannya.

Namun, beliau masih bercita-cita hendak melanjutkan pelajarannya. Untuk itu beliau merantau ke Tanah Melayu. Mula-mula beliau berguru di Kedah di Pondok Haji Che Dol, Gajah Mati, dan kemudian disambung oleh menantunya Syeikh Ibrahim (Pak Cu Hin) dan di Pondok Haji Hussain Cik Dol di Guar Cempedak. Kemudian beliau pindah ke Bukit Mertajam, Pulau Pinang, berguru dengan Tuan Haji Salleh Masri.

Oleh kerana kecerdasannya, seorang ulama di Padang Rengas membawa beliau ke kampungnya, kemudian menikahkannya dengan anak perempuannya, Sariyah binti Haji Said (1922). Tiga bulan kemudian Haji Said mengirim menantunya, Juned belajar ke Universiti al-Azhar di Mesir. Turut bersama beliau ke Mesir ialah iparnya, Haji Husin Said, dan Haji Mohd Zain Haji Noh. Menurut Datuk Asri, pada masa itu isterinya sedang mengandungkan anaknya yang pertama. Pertemuan beliau dengan puterinya yang pertama ini berlaku di Mekah.
Selama di Mesir beliau bukan hanya mencari ilmu tetapi juga berkecimpung di dalam pergerakan pelajar Indonesia-Malaya. Mesir pada waktu itu sedang bergolak menentang penjajahan. Juga sedang berkembang fahaman "pembaharuan" Muhammad Abduh-Rasyid Ridha. Hal ini menanamkan semangat menentang penjajahan, yang kelak dibawanya pulang ke negerinya.

Beliau amat tertarik dengan institusi wakaf dan pentadbirannya, sehingga mampu membiayai sebuah universiti yang besar seperti al-Azhar. Beliau amat berminat dengan wakaf. Minatnya itu kemudiannya mendorongnya untuk menulis sebuah buku kecil dengan judul Kaifiat mengadakan Wakaf, yang diterbitkan di Mesir pada tahun 1927, dengan kata pengantar oleh Syeikh Idris al-Marbawi yang terkenal di seluruh negara yang berbahasa Melayu di Asia Tenggara kerana kamus Arab-Melayunya yang dikenali dengan nama Kamus al-Marbawi. Kamus ini ialah antara kamus Arab-Melayu yang terawal. Syeikh Juned turut membantu melengkapkan Kamus al-Marbawi.

Sebelum pulang ke tanah air Syeikh Juned sempat juga belajar kepada Syeikh Abdul Kadir al-Mandili, salah seorang guru di Masjidil Haram pada ketika itu.

Dalam tahun 1926, Syeikh Juned kembali ke tanah air, bersama isterinya Sariyah Haji Said dan puteri pertamanya, Sakinah (sekarang dikenali sebagai Cik Kinah atau Datin Sakinah, isteri kepada Datuk Asri). Tidak berapa lama kemudian isterinya, Sariyah meninggal dunia. Dalam tahun 1927, beliau mengahwini seorang lagi puteri Haji Said, bernama Siti Hajar Haji Said. Dalam tahun 1934, beliau mengahwini lagi seorang isteri di Tapanuli Selatan bernama Rokiah Haji Ibrahim.

Pengajian pondok

Dalam tahun 1927, beliau telah mewujudkan suatu kelas pengajian di sebuah surau dekat rumahnya di Kampung Lalang, Padang Rengas. Pelajar terdiri daripada penduduk Kampung Lalang dan kampung di sekitarnya di dalam kawasan Padang Rengas. Ada bahagian untuk anak-anak dan ada bahagian untuk orang dewasa. Pengajian ini mendapat sambutan hangat daripada masyarakat kaum muslimin setempat. Kemudian pelajar dari luar Padang Rengas berdatangan, seperti dari Temoh, Teluk Intan, Bagan Serai, dan Parit. Memandangkan para pelajar semakin ramai, maka didirikanlah pondok penginapan. Tok Maharaja Indera Haji Syukri mewakafkan sebidang tanah untuk tapak pondok-pondok penginapan itu. Juga beliau mendapat sokongan daripada Haji Abdul Rahim yang di gelar Datuk Panglima Garang, Ketua Kampung Lalang pada ketika itu. Beliau juga mendapat bantuan daripada beberapa tokoh yang mendapat didikan agama di Timur Tengah dan juga daripada madrasah tempatan. Ke dalam kelompok ini termasuklah nama-nama Haji Usman Ahmad, Haji Abdul Aziz Yaakub, Haji Said, Haji Kasim, Haji Anjang Ahmad, dan Haji Ismail Moin. Juga beliau mendapat sokongan daripada Haji Mohd. Zain Abd. Majid, Haji Mohd Zain Noh, dan Abu Bakar. Daripada sebuah pengajian kampung dengan pesatnya ia berkembang menjadi sebuah pengajian pondok yang mendapat sambutan ramai daripada masyarakat Islam negeri Perak. Padang Rengas sekali lagi mengambil tempatnya sebagai pusat perkembangan pengetahuan Islam menyambung institusi pesantren yang dahulunya telah didirikan oleh Haji Abdul Manan.

Didesak oleh sambutan yang hangat terhadap pengajian pondok Syeikh Juned, maka dalam tahun 1930 didirikan sebuah Madrasah Arabiah Kampung Lalang. Sekolah ini terus berkembang pesat. Keadaan ini mendorong berdirinya sebuah madrasah yang lebih lengkap dan lebih teratur, dalam tahun 1931 dengan nama Madrasah Yahyawiah untuk mengambil alih tempat Madrasah Arabiah. Nama Yahyawiah diambil daripada nama Orang Besar Jajahan Kuala Kangsar, iaitu Datuk Andika Mior Yahya Mior Syamsuddin yang menjadi penaung madrasah itu yang telah memberikan sumbangan derma.

Oleh desakan yang kuat daripada masyarakat muslimin untuk membina suatu pengajian yang berasingan bagi pelajar perempuan, maka Syeikh Juned menaja pendirian sebuah lagi madrasah yang khas untuk pelajar puteri. Beliau sesungguhnya ingin memberi peluang yang sama kepada kaum perempuan untuk mendapat pelajaran. Semangat anti penjajahan yang ada di dalam dirinya tidak mengizinkan anak-anak muslim bersekolah di sekolah kerajaan yang mendidik mereka menjadi hamba British. Puteri-puteri beliau sendiri, Sakinah Syeikh Juned dan Habibah Syeikh Juned dihantar belajar ke Indonesia di Sekolah Diniah Puteri, Padang Panjang, Sumatera Barat, sebuah sekolah agama yang mengikuti aliran pembaharuan. Dan nama ini, Diniah Puteri , kemudian diambilnya untuk menamai madrasah puteri yang baru didirikan itu. Madrasah itu dirasmikan dalam tahun 1935.

Idea pembaharuan

Madrasah ini mendukung idea pembaharuan. Sekolah ini adalah madrasah pertama di Perak yang mendukung idea Islah . Oleh sebab pendirian "pembaharuannya", ia sering dikunjungi oleh tokoh-tokoh pembaharuan Islam, terutama oleh Syeikh Tahir Jalaluddin yang juga sahabat karib kepada Syeikh Juned. Di dalam madrasah ini pelajarnya bukan hanya ditumpukan kepada pengetahuan agama Islam tetapi juga meliputi pelajaran dan latihan kemahiran yang boleh dipergunakan untuk menampung keperluan hidup duniawi. Kepada murid juga diajarkan membuat kicap, kacang masin, bersawah, berkebun, membuat terompah (bagi pelajar lelaki-Yahyawiah) dan menjahit (bagi pelajar wanita-Diniah Puteri).

Pelajar yang semakin ramai mendorong masyarakat Islam di sekitar Padang Rengas untuk mendirikan madrasah seperti itu di kampung-kampung lain. Maka berdirilah cawangan Madrasah Diniah dengan nama yang berbeza tetapi dengan isi yang sama di berbagai-bagai tempat, seperti Madrasah al-Ridzuaniah di Padang Asam, Madrasah al-Falahiah di Kampung Buaya, Madrasah al-Nasriah di Padang Rengas, Madrasah al-Ijtihadiah di Kampung Gapis, Madrasah al-Hadi di Kampung Pauh, Madrasah al-Bakariah di Paya Lintah, Madrasah al-Zahiriah di Kampung Keruh Hilir, Madrasah al-Iqtisadiah di Kampung Keruh Hulu, dan Madrasah Sabiyah al-Ahmadiah di Kampung Laneh.

Pembaharuan Syeikh Juned mempunyai wajah lain jika dibandingkan dengan pembaharuan di Perlis. Jika Perlis banyak menumpukan perhatian kepada masalah khilafiah dan sunnah atau tidak sunnah, terutama di dalam ibadah, maka Syeikh Juned bertumpu pada pembangunan mental dan sikap. Beliau menekankan bagaimana semestinya seorang muslim itu berfikir, berjuang, dan berekonomi. Beliau tidak memilih jalan konfrontasi, meskipun beliau juga menentang bidaah, dan khurafat. Beliau lebih mengutamakan hikmah dan mauizah yang baik. Sebab itu beliau tidak menimbulkan ketegangan sosial.

Di sekolah yang ada di bawah bimbingannya, bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga cara hidup yang baik secara berdikari. Menurut Datin Sakinah Syeikh Juned , Syeikh Juned sering mengingatkan masyarakat Islam dan pelajarnya: "Bagaimana kita hendak merdeka jika kita tidak sanggup berdikari dalam kehidupan kita".

Sebab itu beliau sentiasa menghidupkan semangat berdikari itu dalam kalangan pelajarnya, sesuai dengan ajaran Rasulullah s.a.w. Menurut beliau ekonomi umat Islam hanya dapat dibina jika mereka sanggup berdikari tanpa mengharapkan bantuan daripada orang bukan muslim. Kekuatan politik juga dapat ditegakkan jika ekonomi kuat.

Dengan menggalakkan umat Islam mewakafkan tanah dan harta, beliau berusaha untuk mewujudkan ekonomi Islam atas dasar bersama dan bantu membantu antara satu dengan lain. Di atas tanah yang diwakafkan, beliau telah mengambil inisiatif untuk memajukannya dengan menanam sayur-sayuran, buah-buahan, dan sebagainya. Beliau sendiri menunjukkan kepada pelajarnya teknik pertanian yang betul. Dari segi industri dan ekonomi beliau mempelawa beberapa orang pembatik dan pembuat terompah supaya datang ke [Padang Rengas]] dan membuka perusahaan di sini. Dan sebagai hasil daripada usaha ini, maka di Padang Rengas sendiri pada penghujung tahun tiga puluhan terdapat lebih kurang 30 buah kedai yang semuanya kepunyaan orang Melayu, terdiri daripada kedai kopi, kedai dobi, kedai getah, kedai runcit, kedai gunting rambut, dan lain-lainnya.

Kesan usaha ini menanamkan ke dalam jiwa dan semangat orang Islam percaya kepada diri sendiri dan keyakinan bahawa mereka juga boleh melakukan sebarang pekerjaan yang selama ini dikuasai oleh orang bukan Islam, asal saja ada kemahuan dan ada kesungguhan.

Kesan yang ketara pada masa itu, jumlah orang Melayu yang membeli di kedai Cina tidak sampai 20 peratus. Itu pun mereka lakukan apabila barang yang diperlukan itu kebetulan tidak ada di kedai Melayu. Bahkan orang Melayu telah berasa malu membeli di kedai Cina. Hal ini semua boleh berlaku berkat kejayaan pimpinan ulama dan tokoh yang bercita-cita pembaharuan Islam.

Pengaruh

Bahkan lompatan ke depan daripada kelompok Padang Rengas ini semakin jauh ke muka. Ia telah menyentuh aspek perjuangan politik untuk memerdekakan tanah air daripada penjajahan British . Pada penghujung tahun 1940-an, pondok di Madrasah ad-Diniah itu menjadi tempat berkumpul pejuang Melayu menentang penjajahan. Bahkan pekarangan Madrasah ini selalu dijadikan gelanggang latihan berkawad ahli-ahli Angkatan Pemuda Insaf (API) dan Angkatan Wanita Sedar (AWAS) yang merupakan sebahagian daripada Parti Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM).

Madrasah ad-Diniah Padang Rengas ini kadang-kadang dilawati oleh tokoh pimpinan Kesatuan Melayu Muda (KMM) seperti Majid Sabli dan Pakcik Ahmad. Kadang-kadang juga kader-kader komunis seperti Rashid Maidin dan Syamsiah Pakeh datang berkunjung ke sekolah ini dan memberi ceramah tentang keburukan feudalisme dan penjajahan.

Peningkatan kesedaran politik dalam kalangan para pelajar dan pemuda kampung itu nampaknya didorong oleh pengaruh guru-guru Madrasah tersebut.

Beberapa orang guru kelulusan beberapa buah sekolah di Indonesia, sama ada orang dari luar atau anak tempatan sendiri mengajar di Madrasah ini. Demikianlah beberapa nama yang disenaraikan di bawah ini ialah guru-guru yang mendapat pendidikan di Indonesia: Aisyah Ghani, Abdul Kadir dari Sulawesi , Darwis , Syahrom Syeikh Muhammad, Kalsum, dan Sakinah Syeikh Juned. Mereka ini adalah kelulusan berbagai-bagai madrasah dari aliran pembaharuan di Indonesia.

Menurut Datuk Asri, Syeikh Juned menganut akidah yang sederhana, tidak berliku-liku dan berbelit-belit. Selain Padang Rengas, Syeikh Juned juga mengajar di tempat-tempat lain di negeri Perak. Beliau menentang perkara khurafat. Beliau tidak pernah menyuruh orang menghafaz Sifat Dua Puluh. Di dalam fikah juga beliau bersifat sederhana. Meskipun beliau menganut aliran pembaharuan yang hendak kembali kepada ajaran al-Quran dan al-Sunnah, namun beliau tidak membezakan orang yang berusalli dengan yang tidak berusalli. Beliau mengajarkan solat kepada orang yang baru belajar sembahyang adalah dengan cara yang sederhana. Biarlah orang itu mengerjakan salat mengikut cara yang disanggupinya terlebih dahulu.

Semangat kemerdekaan memang telah tertanam di dalam darah daging Syeikh Juned. Dalam setiap ucapannya ia menyebut kemerdekaan dan menggalakkan umat untuk berjuang mencapai kemerdekaan.

Beliau meramalkan bahawa pada zaman kemerdekaan kelak motokar akan masuk ke dalam bendang. Pada masa itu orang tidak memahami makna ramalannya itu. Sekarang barulah orang tahu, setelah melihat mesin bermotor masuk membajak sawah. Beliau juga membuat lesung kincir yang digerakkan oleh tenaga air. Hal ini banyak menolong petani menumbuk padi.
Mokhtar Lintang, seorang tokoh yang disegani yang pernah menjadi pensyarah di UKM ialah murid kepada Syeikh Juned. Allahyarham Syeikh Juned ialah tokoh yang pandai bergaul dengan segala peringkat dan golongan masyarakat. Bahkan dengan ahli polis yang berseluar pendek juga beliau mempunyai hubungan yang baik, meskipun seluar pendek itu termasuk pakaian yang tidak menutup aurat. Hubungan beliau dengan pihak istana juga baik.

Cara pengajaran di madrasah yang terletak di bawah pengawasan Syeikh Juned adalah lebih moden daripada sistem pondok, meskipun belum sampai ke tahap sekarang ini. Dalam pembaharuan sistem pendidikan Islam ini beliau juga mengikuti ajaran dan teladan Muhammad Abduh di Mesir.

Palestin

Masalah Palestin adalah menjadi perhatian beliau yang serius. Beliau mengumpulkan derma di sini dan mengirimkannya ke sana. Antara sifatnya yang menonjol ialah qanaah, sederhana, dan memadakan yang ada. Dan amalan yang paling baik bagi beliau ialah berwakaf. Di semua tempat beliau menggalakkan kaum muslimin untuk berwakaf. Agaknya beliau tertarik dengan sistem wakaf di Mesir, yang bahkan dapat menghidupkan sebuah universiti yang besar, yakni Universiti Al-Azhar. Di kampung asalnya di Tapanuli Selatan, beliau mendirikan sekolah dan pengajian agama daripada harta waqaf. Dan beliau juga menggalakkannya di Padang Rengas.
Memanglah wakaf merupakan suatu institusi yang amat digalakkan dalam ajaran Islam.

Menurut Datuk Asri ada juga diceritakan tentang "karamat" beliau; namun usahlah perkara itu dibesar-besarkan. Demikianlah misalnya, pada suatu ketika beliau jatuh pengsan beberapa hari lamanya, namun beliau tidak sakit apa-apa. Beberapa ketika kemudian diterima telegram dari Palestin, menanyakan apakah beliau sudah sampai kembali dari Palestin.

Diusir Belanda

Beliau pernah diusir oleh Ketua Kampung-nya di Tapanuli Selatan atas arahan pihak berkuasa Belanda kerana dicurigai menentang penjajahan Belanda, beliau mengatakan: "Ketua kampung itu kelak akan mengalami nasib yang luar biasa". Tidak berapa lama kemudian ketua kampung itu menyembelih dirinya sendiri. Wallahualam.

Kematiannya

Syeikh Juned Tola meninggal dunia pada hari Selasa, 10 Mac 1948. Ada sangkaan bahawa kematian beliau disebabkan termakan racun. Jika benar demikian, meskipun beliau tidak mencari lawan, namun setiap perubahan baru mesti ada penentangnya. Dan beliau sebagai seorang pembaharu tentulah pula mendapat tentangan keras. Jenazahnya dikebumikan di hadapan Madrasah Al-Junidiah di kampung kelahirannya di Tapanuli Selatan. Walaupun beliau telah pergi, namun harta wakaf yang beliau tinggalkan terus berkekalan dan terus memberikan sumbangan kepada umat Islam. Dalam sejarah hidupnya Syeikh Juned melambangkan seorang ulama yang peka terhadap persekitarannya. Realiti masyarakat pada waktu itu memerlukan pembasmian kejahilan, pembinaan ekonomi ummah dan pembebasan daripada cengkaman penjajahan. Beliau cuba menggerakkan bangsanya supaya mampu berdikari dan dihormati seperti yang dituntut oleh Islam. Syeikh Juned ialah seorang ulama tetapi kesedaran ekonomi, politik, dan pendidikan yang beliau tanamkan kepada pelajar dan masyarakatnya akan terus meletakkannya sebagai seorang ulama, yang mempunyai keistimewaan yang tersendiri.

Syeikh Juned telah menunjukkan sisi yang lain daripada Pembaharuan Islam yang melingkupi semua aspek kehidupan manusia itu. Tekanan beliau tidak ke atas perbezaan dalam soal furu'. Beliau tidak menonjolkan perbezaan anggapan tentang Sifat Dua Puluh, usalli, qunut, dan sebagainya. Beliau lebih menujukan perhatiannya kepada pembaharuan mental, ekonomi, pendidikan, dan politik. Beliau ingin memanfaatkan institusi Islam yang selama ini diabaikan orang seperti wakaf dan khidmat masyarakat. Walau bagaimanapun, beliau tidak menyukai perkara bidaah dan khurafat. Beliau ingin mengembalikan umat Islam kepada Islam yang sebenarnya, yang berpegang kepada al-Quran dan al-Hadis.

Mungkin beliau tidak meninggalkan sesuatu yang nyata. Beliau tidak menegakkan monumen untuk dirinya. Sekolah yang telah didirikannya itu pun dewasa ini serupa sekolah biasa, tidak ada keistimewaannya pada masa kini. Namun, beliau telah menjadikan perjuangannya sebarisan batu-bata di dalam mendirikan suatu bangunan umat Islam yang kuat dan menjadi pendukung Malaysia merdeka. Beliau telah menanamkan rasa harga diri kepada umat Islam. Beliau telah membangunkan semangat berdikari dalam hati umat Islam. Beliau telah menunjukkan bahawa kaum muslimin juga mempunyai kemampuan yang sama dengan bangsa-bangsa lain untuk menyusun kehidupan yang lebih baik di dunia ini. Beliau telah menanamkan semangat merdeka, dan bahawa kemerdekaan dalam politik dan ekonomi adalah matlamat Islam untuk umatnya.

Itulah dia jasa dan peranan Syeikh Juned Tola di dalam pembaharuan dan kebangunan umat Islam Malaysia. Beliau memang tidak mempunyai monumen untuk dirinya. Namun banyak yang ditinggalkannya kepada bangsanya yang terdiri daripada nilai yang berharga untuk menyongsong kebangunan baru umat Islam.

Diperolehi daripada "http://ms.wikipedia.org/wiki/Syeikh_Juned_Tola"

Wednesday, June 20, 2007

Sinondang Mandailing, Tabloid Bulanan


Harga RM 5 / Rp. 5,000


Tabloid Sinondang Mandailing (Cahaya Mandailing) dengan slogan sinondang marabang torang, torang maroban sonang (cahaya membawa terang, terang membawa senang) dilancarkan/diluncurkan di Medan, baru-baru ini. Edisi pertama tabloid tersebut terbit pada hari Khamis 14 June/Juni 2007.

Tabloid itu banyak merangkum makalah-makalah dan berita-berita ringkas seputur kabupaten Mandailing-Natal (Madina) yang disadur dari surat khabar, akan diterbitkan pada setiap hari Khamis minggu kedua setiap bulan.

Tajuk sidang pengarangnya, mencita-citakan 'seluruh warga Mandailing, baik mora, kahanggi maupun anak borunya dengan ikhlas mau membina persatuan yang kuat berupa persatuan sibulus-bulus sirumbuk-rumbuk dan melalui persatuan yang demikian itu bersama-sama pula menumbuhkan rasa cinta yang besar dan dalam terhadap Mandailing dengan keadaan jiwa senantiasa merasa bangga sebagai warga Mandailing dalam arti, jauh dari rasa malu atau rasa rendah diri sebagai warga Mandailing sejati, bukan yang lain dari itu'.

Menginggatkan kita pada kata pengantar Asal-Oesoelnja Bangsa Mandailing, Berhoeboeng dengan perkara tanah Wakaf bangsa Mandailing, di Soengei Mati - Medan, yang diterbitkan pada 1926.

'Riwajat tanah wakaf ini dikarangkan dan dihimpoenkan, goenanja teroetama ialah sebagai peringatan kepada sekalian bangsa Mandailing jang mentjintai kebangsaannja, terlebih-lebih bagi mereka itoe jang berdiam diperantauan.

‘...riwajat ini djadi peringatan kepada bangsa Mandailing,...hanjalah kadar djadi peringatan dibelakang hari kepada toeroen-toeroenan bangsa Mandailing itoe, soepaja mereka tahoe bagaimana djerih pajah bapa-bapa serta nenek mojangnja mempertahankan atas berdirinja kebangsaan Mandailing itoe. Dengan djalan begitoe diharap tiadalah kiranja mereka itoe akan sia-siakan lagi kebangsaannja dengan moedah maoe mehapoeskannja dengan djalan memasoekkan diri pada bangsa lain jang tidak melebihkan martabatnja’.

Redaksi menerima tulisan berkenaan dengan kebudayaan, adat istiadat, sejarah, masalah sosial dan ekonomi masyarakat Mandailing; berita keluarga baik tentang kelahiran, perkahwinan dan berita sungkawa (sedih atau dukacita) dan kalau dapat disertai foto. Liputan berita keluarga tidak dikenakan bayaran. Redaksi membisu tentang politik.

Sinondang Mandailing mempunyai perwakilan di Jakarta, Bandung, Palembang, Jambi Bengkulu, Pekanbaru, Padang Sidempuan, Mandailing-Natal, Sibolga/Tapanuli Tengah, Binjai, Langkat, Tebing Tinggi, Asahan/Tanjung Balai dan Labuhan Batu. Meskipun ia ada perwakilan di Malaysia, pada edisi perdana ini tidak ada laporan dari negara tertangga itu, yang mempunyai penduduk berketurunan Mandailing.

Mudah-mudahan kekurangan ini dapat diatasi pada edisi berikutnya kerana ia bisa mempereratkan ikatan silaturahim antara alak Mandailing Indonesia dan Malaysia. Sesungguhnya orang Mandailing itu satu rumpun, baik mereka warga negara Indonesia mahupun Malaysia, dan pada masa mendatang, seharusnya mereka ditanggapi bersama oleh Sinondang Mandailing sebagai menjambatani dua saudara yang dipisahkan oleh negara-bangsa yang kewujudannya di belakang keberadaan Mandailing.

Sewaktu-waktu kita berbicara tentang Mandailing jangan kita lupa atau membelakangnya kerabat kita orang Mandailing Kristian. Walaupun mereka Kristian, mereka tetap Mandailing. Perbedaannya hanya pada agama, tapi dari segi etnik mereka etnik Mandailing.
Pada muka depan tabloid itu dimuatkan kata sambutan Dr. Adnan Buyung Nasution di samping pengumuman bahawa Ikatan Keluarga Nasution (Ikanas) mendapat nakhoda baru iaitu Dr. Mulia Panusunan Nasution setelah Ketua Umum Ikanas yang lama, Samsi B. Nasution meninggal dunia. Alfatihah

Dua tulisan oleh H. Syarifuddin Lubis dan Zulkifli B. Lubis, yang saling bertautan, pada satu sisi mengeluh tentang gugatan arus modernisasi dan globalisasi pada adat budaya Mandailing dan pada sisi yang lain, menyeru umat Mandailing bersatu untuk melestarikan serta membangunkan kembali Mandailing dengan merentas jalan kebersamaan. Dalam kerangka itu, Sinondang Mandailing memanggil kita pelajari dan menggunakan surat tulak-tulak aksara khas orang Mandailing dalam salah satu artikelnya. Ini dibantu dengan adanya Kamus Bahasa Mandailing Indonesia.

Sementara Zulkarnain Lubis menyorot pendidikan di Madina yang diiringi artikel tentang SMA Negeri Plus Kotanopan yang diharapkan menjadi benchmark (standar baku dan kayu ukur) bagi sekolah-sekolah lain di Madina.

Pemuka adat H. Pandapotan Nasution menulis 'Renungan tentang Mandailing' dan 'Tata Cara Perlaksanaan Perkahwinan di Mandailing' topik keahliannya yang sudah dibukukan. Budayawan Z. Pangaduan Lubis mengungkapkan 'Willem Iskander dan Kita Orang Mandailing' selain artikelnya tentang pra-sejarah di Mandailing. P. Dolok Lubis pula membicarakan tentang pembentukan huta di Mandailing termasuk asal-usulnya dan pendirinya.

Buat orang Mandailing marga Rangkuti edisi perdana cukup bererti kerana adanya artikel berjudul, 'Rangkuti, Marga Ksatria dari Mandailing' tentang asal-usul marga mereka. Manakala tulisan Jasinaloan mengkisahkan tentang asal-usul pohon aren menurut legenda di Mandailing.

Artikel Sri Mulyani Nasution, satu-satunya penulis wanita coba menepis stigma bahawa orang Mandailing itu pelit, yang juga dikenali dengan istilah Manipol (kedekut, bakhil atau kikir). Semoga orang Mandailing jauh dari sikap tersebut kerana 'Orang kikir jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari manusia, sebaliknya orang yang pemurah dekat dengan Allah, dekat dengan syura, dekat dengan manusia dan jauh dari neraka.' (H. R. Tarmizi).

Alamat Sidang Pengarang
Sinondang Mandailing
Jl. Beringin No. 9
Komplek Wartawan Medan
Tel: (061) 6621 300

Tuesday, June 19, 2007

Bebas Bunga, Tak Berarti Bebas Riba

Wawancara
Zaim Saidi:
Bebas Bunga, Tak Berarti Bebas Riba
22/12/2003

Ada keyakinan dikalangan umat Islam bahwa bank syariah tidak menjalankan sistem ribawi. Selain karena berpedoman pada tata cara syariah Islam, bank syariah juga dianggap tidak memberikan bunga, tapi bagi hasil. Hal ini berbeda dengan bank konvensional pada umumnya. Apalagi diperkuat oleh fatwa MUI yang mengatakan bahwa bunga bank adalah riba, setelah Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (Rakornas MUI) di Jakarta, Selasa kemarin (16/12/2003).

Nah, keyakinan dan pendapat itu dibantah oleh Zaim Saidi, Direktur PIRAC (Public Interest Riset and Advocacy Center), sebuah lembaga penelitian dan advokasi untuk kepentingan publik. Menurut Zaim yang juga penulis buku-buku: Tidak Islaminya Bank Islam dana Melawan Dollar dengan Dinar, bank syariah mungkin bebas dari sistem bunga, tapi hampir mustahil terbebas dari sistem ribawi. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang pemikirannya tersebut, Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu mewawancarainya Kamis (11/12/03). Berikut petikannya:

NONG DAROL MAHMAD (NONG): Mas Zaim, menurut Anda, apa yang melatarbelakangi munculnya unit-unit perbankan syariah?

ZAIM SAIDI (ZAIM): Penjelasannya bisa dengan cara yang sederhana. Di masyarakat Islam, memang ada keinginan yang kuat untuk mendapatkan institusi perbankan yang dirasa aman secara spiritual, sebab selama ini perbankan konvensional dikenal sebagai lembaga ribawi. Lantas, bermunculanlah unit-unit perbankan syariah yang masih menginduk ke bank-bank konvensional. Hanya saja, dalam perkembangannya kemunculan unit-unit syariah itu dimanfaatkan juga oleh institusi perbankan biasa untuk mendongkrak sentimen nasabah. Jadi menurut saya, ini hanya trik marketing saja. Kalau kita lihat secara substansial, antara perbankan konvensional dan perbankan syariah memang tidak seratus persen sama. Tapi, 99,9 % sama saja.

NONG: Lantas, di mana letak perbedaan substansial antara bank konvensional dengan bank syariah selain label syariahnya?


ZAIM: Mungkin, problem yang mendasar adalah sistem atau lembaga finansial yang ada sekarang ini (bank-bank konvensional) dianggap sebagai lembaga ribawi. Uang yang ada di perbankan saat ini dianggap bercampur-campur dan tidak jelas stasus halal-haramnya. Uang itu bisa saja digunakan untuk kegiatan yang menurut kaum muslim dibolehkan atau tidak dibolehkan. Kita tidak tahu, apakah misalnya uang di situ dipakai untuk kegiatan judi, beternak babi, atau memproduksi minuman keras, dan lain sebagainya. Karena itu, tesis yang dikonseptualisasi di perbankan syariah adalah bagaimana membersihkan sistem perbankan dari dua unsur yang diharamkan itu.


NONG: Nah, apakah bank syariah berhasil menghilangkan dua unsur tersebut?


ZAIM: Dalam kenyataannya, tidak. Karena pada akhirnya, apa yang dikemukakan para konseptor bank syariah itu secara simpel akan berujung begini: bank syariah adalah bank yang bebas bunga, tapi tidak bebas dari riba. Jadi, pengertian riba ini yang tidak dimengerti secara benar. Kekeliruan pertama adalah mereduksi pengertian riba itu pada soal bunga saja. Dengan logika ini, kalau perbankan dikembangkan tanpa sistem bunga, pasti dia juga tanpa riba.
Padahal, riba dalam konteks sekarang ini sudah menjadi sebuah sistem kokoh yang menghasilkan sesuatu dari sesuatu yang tidak ada. Dalam konteks perbankan artinya uang beranak uang. Secara tradisional, riba terjadi kalau orang meminjamkan seribu rupiah misalnya, lalu minta kembalian menjadi seribu seratus. Nah, kalau itu dihilangkan, meminjam seribu tidak kembali seribu seratus, maka dianggap bebas riba. Padahal, kalau kita telaah secara mendalam, sebenarnya bunga yang dari seribu menjadi seribu seratus itu hanya jalan masuk ke dalam sistem ribawi.


NONG: Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan sistem riba itu?


ZAIM: Bagi saya, sistem riba itu sama seperti segitiga sama kaki, yang unsurnya terdiri dari tiga hal. Pertama, bunga. Kedua, uang kertas atau paper money. Dan ketiga, kredit. Dengan tiga unsur ini, sebetulnya kredit inilah yang memungkinkan terciptanya uang yang sebetulnya tadi tidak ada. Dulu sebelum ada sistem bank, orang meminjam seratus akan kembali seratus, kecuali ditambahkan riba. Tapi sekarang, kalau seseorang mempunyai uang seratus milyar, dengan adanya bank, dia akan cenderung menaruhnya di bank. Dengan begitu, bank yang tadinya tidak punya apa-apa, tiba-tiba mempunyai uang seratus milyar. Dan biasanya, bank mempunyai liability karena dia harus membayar bunga kepada si penyimpan. Maka, masuk akal kalau dia pasti akan meminjamkan uang tersebut kepada orang lain.


Menurut aturannya, yang boleh dikeluarkan dari uang tadi hanya sembilan puluh persen saja, karena sebagian harus ditahan sebagian cadangan. Maka yang dipinjamkan ke pihak ketiga adalah 90 % saja. Nah, dari satu kali perjalanan uang ini saja, tiba-tiba dalam catatan buku terdapat uang sejumlah seratus tambah seratus tambah sembilan puluh atau sama dengan 290. Padahal, uang yang sebenarnya kan cuma 100. Sementara, yang 190 itu sebenarnya hanya ada di buku catatan; buku tabungan orang yang menyimpankan uangnya di bank tadi, dan ketika pihak ketiga meminjamnya dari bank.


Nah, dari 100 menjadi 290 itu, sebetulnya sudah merupakan suatu tambahan dari sesuatu yang tidak ada. Itu adalah riba. Dan perlu diingat, sistem pinjam-meminjam hanya bisa dilakukan karena adanya bunga. Memang, persoalan ini agak complicated. Tapi intinya, sistem banking yang ada ini, menciptakan uang karena adanya pinjam meminjam. Atau sistem operasionalnya kalau disederhanakan, pada dasarnya adalah sistim sewa-menyewa uang. Jadi, kita yang punya uang, menyewakan kepada suatu institusi yang bernama bank, dengan uang sebesar 10 %. Itulah yang kita kenal selama ini sebagai bunga.


NONG: Di dalam sistem perbankan kan tidak hanya menjalankan sistem sewa menyewa uang saja. Bagaimana dengan sistem transaksi yang lainnya?


ZAIM: Ini yang dicampuradukkan. Kalau di bank syariah ada pembedaan dua bentuk transaksi. Pertama, ada yang namanya mudharabah atau profit-lost sharing, yakni sistem bagi hasil. Kedua, sistem yang disebut mur槆ahah atau sistem jual beli. Mereka mengklaim tidak mengenal sistem kredit, tidak mengenal sistem pinjam meminjam. Jadi, mereka hanya mengenal sistem bagi hasil dan jual beli. Tetapi kalau kita lihat ke dalam, secara de facto yang terjadi adalah kredit dengan bunga fix. Jadi seperti fix rate.


Jadi, kalau ada nasabah yang ingin beli motor, karena tidak punya uang, bank akan membelikan lebih dulu. Jadi, pihak bank yang membelinya lebih dulu, katakanlah seharga 10 juta. Lantas, harga motor itu bisa menjadi 15 juta dari pihak bank nantinya. Maka, kalau si nasabah oke, dia harus membayar 15 juga atas dasar kesepakatan. Kuncinya kan bersepakat. Nah, di situ yang menjadi soal adalah: kenapa harga motor yang 10 juta dijual seharga 15 juta? Jawabannya, karena pembayarannya dengan cara cicilan. Pertanyaaan berikutnya: kenapa kalau mencicil, harganya membengkak dari 10 juta menjadi 15 juta? Jawabannya, karena cicilannya memakan tempo 5 atau 10 tahun.


Jadi, di situ waktu menjadi satu-satunya faktor yang membuat harga jadi berubah. Dan sebetulnya, waktu yang dihargakan dengan uang, atau time value of money itulah yang bisa disebut riba.


NONG: Kalau mengikut logika Anda, bank syariah yang mengklaim diri luput dari unsur praktek ribawi, sebenarnya pada saat pelaksanaan terjebak dalam praktek ribawi juga?


ZAIM: Betul, karena penciptaan uang tidak berhenti pada titik itu saja. Memang, secara de jure di dalam akad, mereka mengatakan hanya menyelenggarakan proses jual-beli (mur槆ahah) atau sistem bagi hasil (mudarabah) tadi. Tapi secara de facto, itu juga menciptakan sebentuk kredit atau hutang. Orang akhirnya berhutang, lalu menyicil, dan ketika menyicil itu terjadi beban tambahan. Dan itu sesungguhnya persis dengan praktek riba. Memang, mereka mengatakan bahwa mereka membeli dulu dan lantas dijual kepada nasabah dengan harga yang dibengkakkan, di-mark-up. Tapi tadi sudah saya katakan, satu-satunya dasar yang dipakai untuk mark-up itu adalah waktu; karena nasabah menyicil selama 5 atau sepuluh tahun. Dan ketika menghitung nilai tambahannya itu, sama saja dengan cost of money, bunga tambahan seperti bank biasa. Jadi, dasarnya adalah riba-riba juga.


Kedua. Yang sesungguhnya terjadi juga dalam sistem perbankan adalah praktek mencampuradukkan antara uang titipan dengan uang pinjaman. Pada dasarnya, sistem syariah memang tidak mengenal praktek pinjam meminjam. Nah, kalau kita menyimpan sesuatu seperti menitipkan sepatu di masjid, ketika sepatu itu harus diambil, dia kan harus ada. Jadi, sepatu tadi tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain karena statusnya adalah barang titipan.


Nah, dalam sistem perbankan dicampuradukkan saja antara uang yang dititipkan dengan uang yang dipinjamkan. Kalau uang itu statusnya dipinjamkan, memang si peminjam berhak memakainya untuk keperluan apapun, termasuk untuk dipinjamkan kepada orang lain. Tapi dalam sistem perbankan, status itu menjadi tidak jelas; siapa yang menitip dan siapa yang meminjam. Akhirnya, praktiknya berujung juga pada sewa menyewa uang dan menjadi kredit.

Di sini juga masih terdapat persoalan mendasar. Dalam prinsip bagi hasil, antara orang yang punya uang dengan yang memakai uang kan ada arrangement yang jelas: saya punya uang, anda punya tenaga, maka kita bekerja sama dalam prinsip bagi hasil. Nah, sekarang kita lihat apa yang diakui sebagai prinsip mudl漷abah dalam sistem perbankan syariah. Ketika bank berhadapan dengan orang yang punya uang, dia mengaku sebagai pihak yang punya tenaga. Anda sebagai nasabah atau orang yang berpunya uang, maka mari kita bekerjasama. Nanti kalau ada hasilnya akan berbagi. Namun begitu kita pergi, lalu datang orang lain yang butuh uang. Maka bank bilang, saya adalah pemilik uang. Anda butuh uang, dan mari kita berbagi hasil. Atau, bank menawarkan untuk membelikan sesuatu yang sudah di-mark-up. Anda lalu mesti membayar kembali kepada bank. Pertanyaannya adalah, uang siapa yang diberikan bank syariah kepada orang lain itu?


NONG: Apakah riba itu diharamkan karena prosedur transaksinya atau karena bunganya?


ZAIM: Karena alasan menindasnya. Sebab, riba itu sebagaimana yang kita terangkan tadi. Kalau Anda mula-mula meminjam seribu, dalam jangka satu tahun bisa menjadi seribu seratus. Dua tahun bisa menjadi seribu dua ratus. Tiga tahun seribu tiga ratus, dan seterusnya. Di situ ada unsur menindas orang yang meminjam. Orang meminjam pertamanya seribu, tapi dalam dua tahun bisa menjadi dua ribu.


NONG: Tapi Bung Zaim, apakah bisa dikatakan adil jika kini saya punya hutang dengan orang lain seribu rupiah untuk tempo setahun, tapi dalam kondisi moneter yang tidak stabil saya kembali membayar seribu rupiah dalam tempo setahun itu?


ZAIM: Di situ sebetulnya terkandung problem sistemiknya. Ini disebabkan kita menggunakan uang kertas yang kemudian secara integral masuk ke dalam sistem banking. Konsekuensinya, nilai uang itu bisa merosot. Sebab, kertas adalah kertas, karena tidak tidak punya nilai intrinstik, atau nilai pada dirinya sendiri. Mau Anda tulis angka satu juta, seratus ribu, pada ujungnya dia akan menjadi zero, nol. Karena itu, dalam tradisi Islam, mata uang yang digunakan adalah emas dan perak yang tidak pernah merosot nilai intrinstiknya.


NONG: Ada sebuah cerita yang biasanya menjadi rujukan dalam pinjam meminjam. Konon pernah Nabi Muhammad berhutang onta berumur dua tahun. Lalu, ketika mengembalikan hutang tersebut, beliau memberikan onta berumur empat tahun. Sahabat lalu bertanya, ho, kok dibayar pakai unta empat tahun??Nabi menjawab, hiy漷ukum ahsanukum qadl滱.?/i> Sebaik-baiknya penghutang adalah yang terbaik dalam pengembalian hutangnya. Nah, bagaimana posisi sikap Nabi ini dalam konsep perbankan modern?


ZAIM: Itu bisa diterjemahkan bahwa orang yang meminjam yang harus tahu diri. Orang yang dipinjamkan sesuatu, boleh menetapkan berapa dia harus mengembalikan pinjamannya dan menambahkan dari yang dia pinjam. Orang yang meminjam sebaiknya memberikan bonus atas pinjamannya. Nah, dalam konteks perbankan, itu tidak diterjemahkan seperti perilaku Nabi tadi. Lantas, diterjemahkan menjadi penetapan persenan yang harus dibayar oleh pihak yang meminjam. Itu yang saya maksud menindas.


Selama ini, yang sering diperdebatkan juga adalah seberapa besar kecilnya persentase bunga itu. Jadi, riba dipahami sebagai konsep yang relatif. Satu persen misalnya, dianggap bukan riba, kalau sepuluh persen baru terhitung riba. Tapi orang lupa bahwa dalam sistem banking sekarang, satu persen itu dalam hitungan sekian tahun akan beranak menjadi menjadi seratus persen.


NONG: Pandangan Anda radikal sekali, tapi nyaris utopis untuk kondisi sekarang. Soalnya, apakah mungkin kita keluar dari jebakan sistem perbankan yang ada? Sebab, jika mengikut jalan pikiran Anda, nyaris tidak ada sistem perbankan yang bisa dibenarkan dalam Islam.


ZAIM: Kita kan tidak bisa mengatakan bahwa meski babi haram, karena banyak orang yang memakan, maka babi tidak haram. Analogi ini sama saja dengan dunia perbankan. Meski bunga bank haram dan banyak orang yang memanfaatkannya, dia menjadi tidak haram. Jadi, posisi itu yang mesti dijelaskan betul. Sebetulnya, kalau menurut syariah betul, maka kita tidak butuh institusi perbankan. Sebab, mekanisme bagi hasil yang diklaim murni bersyariat itu, hakikatnya tidak membutuhkan dunia perbankan. Sebab esensinya, ketika ada seorang yang punya uang bertemu dengan orang yang tidak punya uang tapi punya tenaga, mereka bisa secara personal bekerja sama dan berbagi hasil. Hubungannya bisa bersifat personal saja, tidak institusional.


NONG: Artinya Anda ingin mengatakan bahwa pembicaraan tentang bank tidak absah dengan menggunakan embel-embel syariah?


ZAIM: Betul. Sebab, implikasinya cukup luas. Ketika kita menggunakan sistem banking, baik uang yang di bawah bantal, dari kampung-kampung dan kecamatan sekalipun akan terbawa ke Jakarta. Lalu di tarik ke atas lagi; ke Paris, London dan lain sebagainya. Dan dalam ekonomi Islam, uang bersifat lokal dan seharusnya tertahan di lokasi tertentu.


Nah, kalau bentuknya produk bank syariah itu adalah bagi hasil, maka uangnya tidak perlu berputar melalui bank, tapi di sektor ekonomi riil. Jadi, inti pembicaraan kita ini adalah: sistem banking adalah apa yang dikenal sebagai financial economy, ekonomi uang. Jadi, permainan kertas dan angka-angka. Sementara, sistem bagi hasil adalah ekonomi yang riil, mungkin dagang. Karena itu, dalam Al-Quran ditegaskan bahwa riba diharamkan sementara perdagangan dihalalkan. Kira-kira, zaman sekarang ayat itu bisa berbunyi: diharamkan atas kamu bank dan dihalalkan mekanisme bagi hasil? Menurut saya, ketika MUI mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank adalah riba, sebetulnya itu juga kurang jelas dan kurang radikal. Yang jelas adalah semua bank termasuk bank syariah adalah sistem ribawi.


Henry Barlow on Kinta Valley: Pioneering Malaysia's Modern Development

The authors presenting a copy of the Kinta Valley book to the Regent of Perak, Raja Dr. Nazrin Shah, who launched the book.
Kedua pengarang mempersembahkan buku Kinta Valley kepada Raja Muda Perak, Raja Dr. Nazrin Shah, yang melancarkan karya tersebut.
Foto Syaharin Abidin


JMBRAS Vol: 78 Part 2 2005

KINTA VALLEY:
PIONEERING MALAYSIA'S MODERN DEVELOPMENT
by KH00 SALMA NASUTION AND ABDUR-RAZZAQ LUBIS

With a preface by WANG GUNGWU

Published by the Perak Academy, 2005. i-viii + 384 pp.
Extensive black & white photos,
327 colour plates. ISBN 983-42113-0-9 (hardback), RM180

This handsomely produced book provides the fullest account ever written, or likely to be written, on the history of the Kinta Valley. The earliest history, which is covered in little more than two pages, relates the Hindu and Buddhist influences on the area, revealed in the discovery of religious artefacts in the course of later mining activities.

The first written records emerge around AD 1500 when Portuguese and later Dutch influence began to be exercised in the area. By the eighteenth century, tin had emerged as the crucial resource of the state, promoting political machinations between the Dutch East India Company and successive Sultans.

The authors skate relatively lightly over the years of British intervention in the state. The story in any case is relatively well known, and much of the action took place outside the Kinta district, to the north and west.

Having comparatively briefly established the early history leading to the opening of the Kinta Valley, the central portion of the book examines, thematically at first, the devel­opment of different aspects of life in the valley: rivers, roads, railways, fire prevention and health, and, briefly, agriculture. A more detailed analysis of the agricultural development of the area would have been welcome. From the handsome coloured map of 1912 on pp. xxiv-xxv at the end of the book, it is clear that agriculture was, in the early years at least, a significant feature in the economy of the valley. The authors have been particularly well served by the Perak Government Gazette which they have mined very extensively for material. They have also not disregarded contemporary accounts, and more modern publications, such as the comparatively recent account of Charles Alma Baker, an early pioneer of rubber in the area.

Kinta is of course best known for its massive tin production in the late nineteenth and early twentieth centuries. Sections on tin and the potted histories of towns in the valley, whose fortunes were so closely tied to this metal, form an important and central feature of the book. Indeed the accounts of the different techniques used by the Malays, Chinese, and Europeans, frequently and vividly illustrated by old black and white photo­graphs, bring the industry to life in a way which other, more austere and scholarly works have singularly failed to do. This section of the book at least, drawing on a wide range of sources from the early French mining engineers to academic works of the second half of the twentieth century, provides as good a summary as can be found of the fortunes of the Perak tin industry.

Significant coverage is given to the histories of the individual villages in the area. Most of them sprang up as tin rush towns on discovery of rich lodes of tin, and many subsequently became little more than ghost towns, like Papan. The accounts chronicle the building of mosques and temples, and mention the leading citizens.
Ipoh of course was the pre-eminent, and most durable, of the towns, and the book traces in some detail its beginnings from the end of the nineteenth century up to the end of the Emergency. Special chapters are devoted to the Japanese Occupation and the Emergency. However, surprisingly no account is given of the reasons for the collapse of the tin industry in the 1980s.

These are comparatively minor quibbles compared to the breadth and scope of the book overall. This scope has been enriched by the Mandailing perspective of Abdur­Razzaq Lubis, who has studied in detail from his own rich family sources the contribution of the Mandailings in the nineteenth and twentieth centuries to the development of Perak. The last two chapters deal with the environment and the Orang Ash. The limestone outcrops which are such a striking feature of the area support a highly specialized vegetation, adapted to the harsh, often dry conditions. Many of these species are endemic, found nowhere else in the world, and in some cases restricted to a single outcrop. It is important that they be conserved. The final and substantial chapter on the Orang Ash traces their associations in the valley from precolonial times, when they were often enslaved by the Malays, through the colonial period. They assumed strategic importance during the Emergency when the communist terrorists and the government competed to enlist their support.

The book concludes with a 32-page colour supplement which shows primarily modern photographs of surviving buildings (many threatened, alas, and at-least one destroyed since the book was written) and views of the area.

There is a comprehensive if at times idiosyncratic bibliography: T. J. Danaraj under T. rather than D. and an index. The book is excellently produced and generally well edited, p. 204 `internecine' for `interwar' being a notable exception.
Lucky the district to have its history so comprehensively and excellently catalogued as has been done for Kinta.

Malaysian Branch of the H. S. BARLOW
Royal Asiatic Society

Monday, June 18, 2007

Local history, national interest



Review by BARBARA WATSON ANDAYA
KINTA VALLEY Pioneering Malaysia’s Modern Development
By Khoo Salma Nasution and Abdur-Razzaq Lubis
Publisher: Perak Academy, 384 pages(ISBN: 9-834-21130-9)


OVER the last century the Kinta River Valley has played a central role not only in the history of Perak but also in the evolution of modern Malaysia. While never losing sight of broader developments, Kinta Valley demonstrates that the appeal of “local history” ultimately rests on its ability to provide intimate details about places and people that do not appear in more general works.

One must also applaud the commitment of two independent scholars who tracked down and consulted restricted and rare material in archival records, scholarly publications and local sources.

This handsome volume is well written and organised, and supported by copious illustrations and maps. “Side bars” interspersed through the book present interesting vignettes, legends, and other information; the bibliography is exhaustive, and the index comprehensive.

The introduction by Professor Wang Gungwu, himself a Kinta product, offers insightful guidance to the book’s significance. Overall, Kinta Valley has established a bench-mark for the writing of local history in Malaysia and the Perak Academy should be congratulated for its part in the production.

The first chapter gives an overview of the early history of Perak and Kinta itself, ending with the Perak War and the initiation of British colonialism. Descriptions of Kinta as it was in the 1850s are a reminder of the amazing changes that have occurred since then.

Some readers may find it difficult to imagine that a hundred years ago elephants were a primary means of inland transport.

The authors then turn to the departure point of modern Kinta history: the development of the tin mining industry in the last quarter of the 19th century. This period witnessed the growth of several towns, notably Ipoh, which expanded from a “straggling uninteresting village” to the state capital we know today.

However, such development did not come without cost. Robbery and violent crime were not uncommon in a population of largely poor male Chinese, and fighting between secret societies was frequent. A sidebar of newspaper reports provides intriguing examples of the type of offences that came before the new court system introduced by the British.

Crimes by migrants could be partially solved by repatriation of “undesirables”, but it was far more difficult to control other persistent problems, notably fires (usually accidental), and health issues exacerbated by poor diet and the unsanitary conditions of mining settlements.

It is important to note that in many cases, Chinese leaders themselves attempted to deal with these problems, calling for a professional police force, organising their own fire patrols, donating to urban development, and working with the government to support hospitals and medical services.

In their detailed description of the expanding communication system, the authors show how the spread of rivers, roads and railways created new opportunities for the development of “agricultural colonization”. This turns attention away from Chinese migrants to the effects of economic growth on the Malay population, and the demographic changes brought about by the numbers of “foreign Malays” who now flocked to Kinta. Often from Sumatra, especially Mandailing, they were engaged in both padi farming and mining, and were among the earliest to take up land for cash crops such as coffee and pepper.

Although Europeans were now opening up rubber plantations with Tamil labourers, the tin mines remained the mainstay of Kinta’s economy. In a separate section, the authors discuss the history of mining, describing the techniques used by orang asli, Malays, and Mandailing, before turning to Chinese innovation and the final dominance of European dredging and hydraulic companies.

Huge open-cast mines certainly contributed greatly to Kinta’s prosperity, but the photographs in Kinta Valley provide sobering evidence of environmental degradation: one chapter tracks the damaging effects of tin mining, European game hunting, water pollution and deforestation.
Anyone interested in Perak history will gain much from two chapters that supply vignettes of the origin and development of Kinta’s tin mining towns. While Ipoh receives particular attention, the authors do not neglect the numerous smaller settlements which all have their own distinctive past.

Indeed, it is in the latter descriptions – truly “local history” – that the strength of their research is most evident. These chapters also document the radical shift in Kinta’s demography, notably in the larger towns. Despite strong representation from other races, who are all given due consideration, the urban population was dominated by Chinese dialect groups, especially Cantonese and Hakka.

The vibrancy of Ipoh’s social life – where entertainment ranged from Chinese drama and Malay bangsawan to European racecourses – survived the stagnation of World War One and even the depression, so that in the late 1930s Ipoh was still known as a town of “fabulous wealth”. Nonetheless, economic retrenchment could not fail to have an effect on Kinta’s expansion, and increasing poverty laid the ground for labour unrest and recruitment into the communist party.
Against this background, the book turns to the Japanese conquest of Malaya in 1942, with one particularly graphic illustration showing the “human bridges” over which the invading forces crossed small streams. Using historical records and personal accounts to great effect, the authors offer a vivid picture of the impact of the Japanese Occupation on the daily life of ordinary people. Kinta became a centre for anti-Japanese resistance, memorably recorded in the history of Papan, one of the oldest towns in the Kinta Valley.

Kinta’s prominence as a focus for post-war communist insurgency is hardly surprising, given the difficult economic climate, the heritage of Chinese organisations, the numbers of Chinese squatters, and the extent of European capitalist enterprise. In an undeclared war – the “Emergency” – the largely Chinese residents in Kinta’s 600 “new villages” lived in what was tantamount to a police state. The measures taken during this period, the authors argue, were part of a process by which residential segregation “enhanced the conditions for racial polarization and racial politics in Malaya.”

Although the narrative then moves on to the communal politics of the 1950s, when Ipoh became a focus of political activity, it is fitting that the final chapter should be devoted to the orang asli, whose way of life has been most drastically affected by the economic, political and social changes in Kinta over the last century.

Kinta’s story is central to that of modern Malaysia, and this “local history” is thus a contribution to national history as well. Undoubtedly, some readers would have liked to see the volume brought up to the present, and would have welcomed a conclusion that summarised the book’s major findings. In the end, though, the most appreciative audience will be the people of Kinta itself, for whom “local”, state, family and personal histories are intertwined.

Barbara Andaya is Professor of Asian History at University of Hawaii.